Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Perjuangan Hidup "Si Roda Tiga" Di Ibukota

4 Maret 2012   22:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:30 462 0
Suara mesinnya bising dan memekakan telinga. Lajunya kadang jig jag membelah jalanan. Warna merah menjadi ciri khasnya, itulah bajaj, si roda tiga, salah satu moda transportasi yang bisa dikatakan sejenis angkutan purba, saking lamanya malang melintang di ibukota. Bahkan soal bajaj, ada sebuah seloroh, bahwa kemana bajaj akan belok, itu hanya Tuhan dan si supir bajaj yang tahu.

Bajaj memang bukan primadona moda transportasi. Kehadirannya kian terdesak, atau terus dipaksa didesak. Makin ke pinggiran. Bajaj tak boleh lagi bisa hilir mudik di jalur utama. Mungkin bisingnya mesin, asap tebal knalpotnya, dan ringkih tuanya penampilan bodi, membuat bajaj dianggap merusak pemandangan transportasi ibukota.

Dipinggiran ibukota, di jalan kelas dua,  bajaj masih dibolehkan beroperasi. Tapi walau bagaimanapun, banyak orang di ibukota yang menggantungkan harapan nafkahnya  pada si roda tiga itu. Salah satunya adalah Toidin.

Ia pernah menuturkan kisah hidupnya berjuang bertahan di ibukota dengan si roda tiga, saat mengobrol dengan saya. Umurnya, sudah 48 tahun. Jejak usia memang banyak tergurat di wajahnya. Kisahnya dengan si roda tiga, dimulai pada 1991. Di tahun itu, ia mulai menjadi supir bajaj, dan menggantungkan periuk nasinya dari si roda tiga.

“Dari 91, saya jadi supir bajaj. Sekarang sudah 2011, udah lama berarti yah,”katanya sambil menghembuskan asap rokok yang di isapnya.

Dulu, saat ia datang ke ibukota, selepas ia gagal melanjutkan sekolah. Sekolahnya hanya SD, dulu. Karena tak ada uang, ia merantau ke Jakarta, berharap nasib bisa berubah. Awal mula, ia jadi pekerja bangunan di proyek-proyek. Lalu berlanjut menjadi tukang becak. Selanjutnya, menjadi kenek angkutan, hingga ia bisa menyetir mobil. Pernah, menjadi supir angkot, hingga ia pada 1991, menjadi supir bajaj.

Saat ditanya, berapa penghasilan sehari? Ia tersenyum getir. Tarikan nafasnya mengisyaratkan beban keluhan.

“ Tak seberapa mas,”ujar Toidin.

Kalau lagi sepi, ia kantungi 60 ribu. Namun bila ramai, 100 ribu bisa masuk kantongnya. Itu pun kotor, karena di potong untuk bensin sebesar 35 ribu. Maka, kalau lagi sepi, ia merasa beban hidup begitu berat. Karena 60 ribu, dipotong 35 ribu, artinya hanya 30 ribuan ia bisa setor ke rumah.

Untungnya ia tak harus menyetor sewa bajaj secara harian. Ia memilih setor bulanan ke majikan, pemilik bajaj.

“Sebulan 400 ribu,”kata dia, menyebut angka sewa bajaj bulanannya.

Satu saat bajajnya rusak, kaca depannya copot dan catnya mengelupas. Ia pun terpaksa pontang panting cari pinjaman, sebab bajaj adalah andalannya mencari nafkah.

“ Kalau di hitung-hitung habis satu juta enam ratus ribuan, itu cat belum bisa rapih semuanya,” keluhnya.

Belum lagi, bila kontrakannya jatuh tempo, pusingnya bertambah. Oleh karena itu, ia benar-benar berhemat. “Makan ada telor saja sudah bersyukur mas,”katanya.

Untungnya, sang istri ikut membantu mencari nafkah, dengan berjualan sayur dekat kontrakannya. Kata dia, walau hasilnya tak seberapa, tapi lumayan membantu dapur tetap ngebul. Anaknya ada tiga. Yang pertama bisa ia sekolahkan hingga SMA, itu pun harus jungkir balik, katanya. Ia pun tak ada keinginan anaknya bisa masuk perguruan tinggi. Mimpi, kata Toidin bila anaknya bisa ke perguruan tinggi.

“Ya lulus bekerja ikut bantu-bantu cari duit," ujarnya. Sementara anak keduanya dibangku SMP, si bungsu, masih SD. "Berat mas, apalagi ngandalin bajaj. Saya harus narik dari sore hingga pagi, siangnya istirahat, malamnya narik lagi. Tapi mau gimana lagi, ini mungkin nasib saya,” ujarnya dengan pasrah.

Harapannya sangat sederhana, bajaj masih dibolehkan berkeliaran di ibukota. Karena ia katanya pernah dengan bajaj bakal dihapus di ibukota. Makanya ia was-was. “Ya kalau boleh sih, janganlah bajaj ini dihapuskan, mau cari duit pakai apa saya,”ucapnya lirih.

Di kampung asalnya, Purwokerto, ia tak punya lahan. Orang tuanya dulu juga hanyalah petani buruh. Lahan yang dipunya pun hanya sepetakan, itu pun sudah habis sebagai warisan yang dibagi-bagi dengan saudaranya. Maka, harapannya hanya satu, bajaj tak lekas di hapus dari ibukota.

“ Ya sampai anak saya semuanya bekerja dan kawin, he..he..he..” Kata Toidin, sambil tertawa parau.

Beratnya hidup sebagai penarik bajaj, juga dituturkan Maman, kolega Toidin, sesama penarik si roda tiga. Maman bercerita, narik bajaj, tak asal mangkal dan sembarangan ngetem. Tempat basah penumpang seperti dekat mall, atau pasar tradisional, tak gratis.

”Disana kan ada timernya,” kata Maman.

Timer yang dimaksudkan Maman, lelaki yang mengaku dari daerah Jawa Tengah itu, adalah orang yang mengatur antrean bajaj di tempat ngetem yang basah penumpang. Agar bisa ngetem, penarik bajaj harus mengeluarkan biaya.

”Ya kita ditarik bayaran, dua ribu sehari,” katanya.

Padahal yang ngetem, ditempat basah itu, puluhan penarik bajaj. Belum lagi ada kewajiban tak tertulis membeli sebotol air mineral pada si timer, maka tambah lagi rupiah yang harus dirogoh dari kantong. Tapi demi bisa mendapat penumpang, berkorban sedikit rupiah, kata Maman, tidak apa-apa. ”Belum lagi, kalau ada polisi yang minta uang rokok, ya kita patungan lagi duit. Biasanya 1500 sampai 2000 per orang. Nanti, timer yang ngatur pada polisi yang minta jatah,” kata dia.

Polisi yang dimaksud Maman, adalah oknum yang kerap memang menyalahgunakan kewenangan. Kata Maman, daripada menjadi masalah, lebih baik cari aman.

Dari data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta,  jumlah bajaj di ibukota cukup banyak. Jumlahnya mencapai, 14.424 unit. Artinya ada 14 ribuan orang yang menggantungkan hidupnya pada si roda tiga. Belum lagi bila menghitung bajaj yang dipakai narik bergiliran, atau ada supir tembak, jumlah pencari nafkah lewat roda tiga bisa membengkak lagi.  Diantaranya adalah Toidin dan Maman, yang masih menggantungkan nafkahnya pada deru si roda tiga. Entah sampai kapan, yang pasti Toidin berharap, bajaj tak dihapuskan, hingga ia tak kuat lagi narik si roda tiga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun