Suatu sore, saya diminta kantor tempat saya bekerja, sebuah media cetak yang terbit di Jakarta, untuk meliput acara buka bersama kantor PBNU, di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Dalam acara itu, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, sedikit menyentil tentang sejarah yang dicatat dan dituliskan para sejarawan dalam buku-bukunya. Menurutnya, sejarawan Unpad, Ahmad Mansur Suryanegara, jika bicara tentang peran para tokoh kemerdekaan, kadang sedikit melupakan peran kyai, santri dan kaum sarungan.
" Selalu Natsir dan Natsir," katanya.
Padalah sumbangsih para nahdliyin pada negeri ini, pun di jaman kemerdekaan begitu besar. Mau apalagi, peran itu tak terlalu dicatat tebal-tebal oleh para sejarawan. Andaipun dicatatkan, hanya selintas lintas.
" Terpaksa orang NU dan NU yang harus menuliskan itu," ujarnya.
Tulisan ini, terinspirasi dari pernyataan KH Said. Jika memang tak ada yang mencatatkan, baiknya kita yang coba menuliskan, sumbangsih rakyat kecil pada negeri ini.
Pukul 2.00 pagi kemarin, ketika hendak pulang ke rumah setelah selesai bekerja sempat menangkap sebuah pemandangan. Pemandangan itu, saya tangkap di sebuah tanjakan di Jalan Raya Sawangan-Parung.
Pemandangan rakyat kecil, yang sedang menggali tanah di pinggiran jalan. Mereka yang sedang mengerjakan proyek galian kabel PLN. Sebagian besar dari mereka adalah lelaki paruh baya.
Kala yang lain mungkin sedang lelap, atau bersiap untuk sahur, mereka justru berpeluh di tengah udara pagi, menggali dan menggali, agar aliran listrik tak dinikmati rakyat dengan byar pet.
Mereka memang sedang mencari nafkah untuk keluarganya. Tapi apa yang dikerjakan mereka adalah sebuah sumbangsih yang akan terasa manfaatnya oleh khalayak banyak. Namun mereka tak akan pernah dicatat oleh buku-buku sejarah. Mereka jelas bukan seperti Natsir, Hatta atau Bung Karno. Mereka adalah rakyat kecil, karena keadaannya tetap bekerja hingga pagi hari.
Sekarang hiruk pikuk menyambut hari kemerdekaan sudah nampak dimana-mana. Dikantor-kantor pemerintahan, di pinggiran jalan, spanduk ucapan Dirgahayu HUT RI Ke -66 marak di pasang. Bagi mereka jelas tak ada artinya. Bahkan mungkin, diantara mereka yang berpeluh menggali di pagi itu, sudah berpuluh-puluh kali melewati HUT RI. Tapi nasib tetap saja tak berubah, menggali hingga pagi.
Merdeka dari kemiskinan, atau kesulitan hidup, memang belum terasakan oleh mereka. Pun, ketika negeri ini usia kemerdekannya memasuki 66 tahun, mereka tetap masih menggali. Tapi bagi saya, jasa mereka tak ternilai.
" Mereka adalah orang-orang yang tak dicatat dalam sejarah, mungkin dibenak para pemangku kebijakan pun, mereka tak benar-benar dicatat sepenuh hati. Di bicarakan, lalu di lupakan,"
Dirgahayu Indonesiaku...