[caption id="attachment_128429" align="aligncenter" width="300" caption="Andi Nurpat"][/caption]
Namanya, Andi Nurpati Baharuddin. Itu nama lengkapnya. Saya mengenalnya kala di tugaskan kantor untuk ngepos liputan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), kala menjelang pemilu 2009. Andi adalah salah seorang komisioner di lembaga itu, dari total tujuh anggota yang ada. Perempuan berjilbab kelahiran Macero Wajo Sulawesi Selatan, 2 Juli 1966 itu, termasuk komisioner yang banyak di buru para kuli tinta. Komentar dan tanggapannya, banyak di kutip media-media. Gambarnya pun hilir mudik tampil di layar kaca. Ia termasuk komisioner yang paling banyak tampil di media, diluar Ketua KPU, Hafiz Anshary dan anggota KPU lainnya, I Gusti Putu Artha. Karirnya, sebelum tercatat sebagai komisioner pemilihan, bisa dikatakan merangkak dari bawah. Karena jauh sebelum jadi pejabat negara, Andi hanya seorang guru madrasah, tepatnya seorang guru pembina di Madrasah Aliyah Negeri 1 Kota Bandar Lampung. Lalu aktif berkiprah di Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi atau Perludem, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergiat di bidang kepemiluan. Sempat menjadi anggota Panwaslu di Lampung, sebelum akhirnya lolos seleksi dan terpilih menjadi Anggota KPU pada 2008. Adalah Kongres Partai Demokrat, di Bandung, yang kemudian merubah nasib Andi Nurpati. Dalam kongres, Anas Urbaningrum terpilih sebagai ketua umum dari partai pemenang pemilu, mengalahkan kandidat lainnya Marzuki Alie dan Andi Mallarangeng. Saat kongres, saya juga ditugaskan kantor untuk meliput acara itu. Di arena kongres, saya sempat bertemu dengan Andi Nurpati, di tenda markas tim sukses Andi Mallarangeng yang dibangun tak jauh dari arena utama kongres. Kala itu malam mendekati larut. Saya juga agak kaget bisa bertemu dengannya. Karena sudah kenal di KPU, saya pun tak segan-segan untuk mengobrol dengannya. Sambil makan duren, saya masih ingat sempat mencandainya. " Wah, jangan-jangan mau masuk Demokrat ni bu," canda saya padanya. Andi hanya tersenyum, sebelum akhirnya menanggapi candaan saya. " Enggaklah saya datang mewakili ketua," katanya. Maksud Andi, ia datang mewakili Ketua KPU, Hafiz Anshary. Setelah obrolan diselingi bercanda dan makan duren, saya jarang ketemu dengannya. Sampai ketika saya menghadiri acara jumpa pers pengumuman struktur kepengurusan DPP Partai Demokrat, di kantor pusatnya, kala itu masih di Rawamangun, sebelum pindah ke daerah Kramat, Jakarta Pusat. Ternyata nama Andi tercatat sebagai salah satu pengurus di partai tersebut. Saya kaget, ternyata canda saya pada dia di arena kongres jadi kenyataan. Dalam struktur kepengurusan Demokrat, Andi mengisi pos sebagai Ketua DPP Bidang Informasi dan Komunikasi. Padahal Andi masih tercatat sebagai komisioner aktif. Ramailah kemudian pemberitaan setelah nama Andi masuk Demokrat. Tak sedikit yang menuding dan mengkaitkan kemenangan Demokrat di pemilu legislatif dan Pilpres ada hubungannya dengan masuknya Andi di partai tersebut. Polemik pun terjadi. Sampai kemudian KPU, lembaga tempat Andi bernaung, membentuk Dewan Kehormatan, yang diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie. Sidang DK, akhirnya memutuskan memberhentikan Andi. Usai sidang, dalam jumpa pers, Jimly mengatakan, Andi diberhentikan, karena melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Usai sidang itu, Andi memang keluar dari KPU. Andi lebih fokus di Demokrat. Posisi Andi kemudian digantikan oleh Saut Sirait. Sampai kemudian, panggung politik di gegerkan oleh kasus Nazaruddin, dimana salah satu yang memicunya adalah Ketua MK, Mahfud MD. Dalam kasus itu, Andi sebagai Ketua DPP Bidang Informasi dan Komunikasi salah satu dari sekian elit Demokrat yang getol memberi komentar. Bahkan pernah salah satu pernyataannya membuat berang elit Demokrat lainnya, Ruhut Sitompul. Ruhut, memang jika diwawancarai media, selalu menyebut diri sebagai juru bicara Demokrat. Sebutan juru bicara Demokrat itulah yang dikritik Andi, bahwa di partai tersebut tak ada juru bicara. Pernyataan Andi itulah yang membuat Ruhut jengkel. Saking jengkelnya pada Andi, Ruhut sampai mengatakan Andi adalah elit kemarin sore tapi bicaranya seolah-olah sudah lama ngendon di Demokrat. Bahkan, sempat saya mewawancarai Ruhut. Pada saya, Ruhut mengatakan, tidak akan pernah meminta maaf, atau mencabut pernyataan kerasnya pada Andi Nurpati. Sampai disitu, belum ada kisah yang kemudian menyeret-nyeret namanya. Adalah kembali Mahfud MD, Ketua MK, yang mengungkap tentang surat palsu MK, dalam kasus penetapan anggota dewan, atas nama Dewi Yasin Limpo, calon legislator dari Hanura, partai pimpinan Wiranto. Nama Andi ikut disebut. Dan di tuding ikut terlibat dalam dugaan pemalsuan surat MK itu. Kala itu Andi masih komisioner. Kasus surat palsu pun terus bergulir, dan kemudian DPR, lewat komisi II meresponnya, dengan membentuk Panja mafia pemilu. Satu persatu orang yang terlibat di panggil parlemen, termasuk Andi dan mantan supir dan stafnya kala ia masih sebagai komisioner. Kasus itu pula ditangani kepolisian. Bahkan kepolisian menetapkan juru panggil MK, Mashuri sebagai tersangka. Andi pun sempat diperiksa polisi meski masih sebagai saksi. Posisi Andi kian terpojok. Justru yang memojokannya adalah eks supir dan stafnya di KPU. Salah seorang staf pribadinya di KPU, Matsnur, justru yang memperjelas dugaan keterlibatan Andi dalam terbitnya surat palsu MK, yang sempat dipakai KPU sebagai rujukan untuk menetapan calon legislatif, meski kemudian dibatalkan, setelah mahkamah mengirimkan surat lanjutan, bahwa surat sebelumnya palsu. Saya juga kenal dengan Matsnur. Ia staf yang ramah. Tugasnya memang menerima dan mencatat tamu-tamu yang masuk ke ruangan Andi Nurpati. Bahkan meja kerjanya tepat di depan pintu masuk ruangan kerja Andi. Para wartawan, jika hendak menemui Andi untuk keperluan wawancara, selalu bertanya dulu pada Matsnur, apakah atasannya itu ada di ruangan. Baru setelah itu Matsnur yang menjadi juru hubung wartawan dengan Andi. Matsnur orangnya polos. Senang bercanda dan penuh humor. Saya dan wartawan lain, sering nongkrong bareng di kantin KPU. Ia senang dengan bakso yang dijual di kantin. Suatu waktu untuk keperluan berita, saya sempat mewawancarai Andi, meminta tanggapannya tentang kasus dugaan surat palsu yang menyeret-nyeret namanya. Lewat fasilitas blackberry messenger, Andi menjawab dan membantah, bahwa dirinya tak terlibat kasus itu. Bahkan kata dia, surat palsu itu sebenarnya sudah diselesaikan oleh KPU, dengan batalnya Dewi Yasin Limpo sebagai calon legislatif terpilih. Tapi sepertinya kasus dugaan surat palsu itu akan kian melilit Andi Nurpati. Andi pun coba melawan, bahkan sempat mengadukan panja mafia pemilu dan Ketua Komisi II DPR RI, Chairuman Harahap ke Badan Kehormatan DPR. Andi memang sampai sekarang masih tercatat sebagai pengurus teras di Demokrat. Tapi sekali saja, nanti status hukumnya dalam kasus surat palsu berubah, dari saksi menjadi tersangka, jelas itu mengancam posisi Andi di Demokrat. Apalagi setelah Rakornas Demokrat di Bogor, keluar rekomendasi agar dilakukan bersih-bersih terhadap kader Demokrat yang bermasalah. Akankah Andi bernasib sial? Akan bernasib sama dengan Nazaruddin, eks Bendahara Umum Demokrat, yang di copot dari posisinya karena terlibat kasus suap wisma Atlet? Memang belum terjawab, meski kemungkinan kearah sana memang cukup kuat. Tapi sampai titik ini, sebenarnya nasib mendung sedang merundung Andi. Andi tentunya tak lagi bisa duduk nyaman, karena namanya diseret-seret dalam kasus surat palsu itu. Perkiraan saya, jika status Andi berubah, dari saksi menjadi tersangka, Demokrat tentu tak mau kena getahnya lagi. Kasus Nazaruddin cukup jadi pelajaran politik bagi Demokrat. Satu kader kena masalah, rumah politik yang terguncang.
KEMBALI KE ARTIKEL