Pagi ibu-ibu di komplek perumahan, atau di kampung-kampung sekitar ibukota, tukang sayur adalah kawan akrab kala menyambut pagi. Tanpa tukang sayur, ibu-ibu kesulitan menghidangkan sayur asem, sop, goreng ikan, tempe dan tahu.
Dengan tukang sayur keliling, tak perlu lagi repot mengeluarkan ongkos ekstra untuk pergi ke pasar atau supermarket. Cukup menunggu depan rumah, kala pagi, tukang sayur akan datang, dan tak telat jadwal. Jadi pemandangan rutin, bila pagi, ada gerobak yang didorong, di penuhi sayuran, cabe, tempe dan bahan dapur di kerubuti ibu-ibu. Tawa menyelip saat tawar menawar harga. Si tukang sayur telaten, menangkis atau mengalah atas tawaran pelanggannya.
Namun kini, tukang sayur dengan gerobak dorong, kian jarang. Sekarang tukang sayur makin memodernkan diri. Alat pengangkut sayur jualannya, bukan lagi gerobak beroda sepeda, yang didorong mengandalkan tenaga. Kini, tukang sayur makin praktis, sayuran di bawa oleh motor roda dua.
Tinggal, membuat bok pengangkut sayur yang digantungkan di sadel belakang motor, si tukang sayur tak perlu lagi, terengah mengeluarkan tenaga mendorong gerobak. Tinggal tarik gas dan menginjak rem, ia sudah bisa menyambangi pelanggan, lebih cepat dan tak berpeluh keringat.
Di Sawangan, Depok, Jawa Barat, tempat saya tinggal, fenomena gerobak dagangan di pensiun dini-kan, sudah mulai di jumpai. Di komplek perumahan, tempat saya tinggal, kala pagi menyambut, motor-motor dengan bok kayu berisi sayur, keluar masuk komplek.
Pengemudinya, tak berhenti menyuarakan panggilan khasnya memanggil
para pelanggan. “ Sayur-sayur, yur sayur, yur sayur,” teriaknya, sambil melaju motor sayurnya dengan pelan-pelan.
Bila dari dalam rumah, ada yang menyahut. “ Sayur,”. Ia pun menghentikan laju motornya. Berhenti dan menyandarkan motor. Tak lama pelanggan datang. Yang menyahut dalam rumah, menghampiri. Tetangga sebelahnya, ikut datang menyambangi. Beberapa ibu-ibu juga tampak tergopoh datang ikut mengerubungi. Jadilah, si tukang sayur bermotor di kerubuti. Tawar menawar, dan pesan memesan sayuran pun terjadi.
Saya sempat ngobrol-ngobrol dengan salah seorang penarik motor sayur, kala sang istri tercinta berbelanja sayuran padanya. Namanya, Rohman. si penjual sayur bermotor itu. Pada saya menuturkan kenapa mengganti alat angkut sayur jualannya Awalnya, ia juga sebelum menunggang motor, berjualan mengandalkan gerobak sayurnya. Tapi kini, gerobaknya telah dipensiunkan. Sudah setengah tahun, ia menggunakan motor, setelah dapat kredit motor dari sebuah leasing di Depok.
“ Dulu juga pakai gerobak saya mas. Tapi setelah dapat kredit motor, saya pakai motor. Gerobaknya ya nganggur sekarang,” kata dia.
Ia mengaku dengan motor, tenaganya tak lagi terkuras. Belanja sayur jualannya pun lebih gampang dan cepat memakai motor. Jika dulu ketika memakai gerobak, tenaga yang ia keluarkan ekstra. Tapi kini dengan motor, beban cicilan kredit yang mesti ia tanggung.
“ Saya kredit motor 34 bulan mas, 300 lebih per bulannya,” katanya.
Dengan motor, ia lebih menikmati profesinya. Datang ke pelanggan bisa tepat waktu. Ia pun, tak hanya mengandalkan motor untuk mempercepat jasanya. Namun juga mengandalkan alat modern lainnya, yakni telepon seluler. Pada ibu-ibu pelanggannya, ia memberikan nomor telepon selulernya, biar pelanggan bisa mengirim pesan pendek, kala ingin memesan sayurannya.
“ Ya misalnya tolong minta disediakan tetelan, ya tinggal sms, mau di anterin kapan,” ujarnya, menceritakan fungsi dan manfaat dari telepon selulernya dalam berdagang sayur.
Dengan telepon seluler, Rohman bisa melayani pelanggannya lebih maksimal. Serta dengan motor, ia bisa mengantar pesanan pelanggan lebih cepat. Memang, hidup di kota besar, inovasi dan kreavititas adalah keharusan. Rohman memahami itu dengan caranya, mengganti gerobak dengan motor dan melengkapi layanan lewat telepon seluler.
Tak hanya Rohman yang bergelut dengan profesinya sebagai tukang sayur yang memodernisasikan dirinya. Tapi pedagang lainnya, seperti pedagang khusus tahu dan tempe, atau ayam siap goreng. Masih di komplek yang sama, para pedagang tahu tempe dan ayam siap goreng pun, sudah berseliweran menggunakan motor. Bahkan para pedagang yang masuk ke komplek perumahan itu, makin jarang yang menggunakan gerobak.
Saya juga pernah mendapati tukang baso Malang, yang awalnya menggunakan gerobak, tapi kini sudah berjualan memakai motor roda dua. Mereka sama seperti Rohman, ingin melayani pelanggan lebih cepat. Bahkan di bok tempat menyimpan baso jualannya, di tempeli nomor telepon selulernya. Tujuannya, pelanggan bisa memesan basonya via telepon selulernya.
“ Lumayan, kadang ada yang sedang arisan keluarga, sms ke saya, buruan ke sini, mau pesen baso,” kata Suyatno, tukang baso bermotor itu pada saya, saat , menceritakan manfaat yang ia rasakan dari nomor telepon genggamnya yang ia tempel di bok basonya.
Kecepatan melayani pelanggan, memang rumus bisnis modern. Para pedagang kecil pun tak mau ketinggalan, menerapkan itu, dengan caranya masing-masing. Namun, kadang ada kerinduan pada bunyi roda gerobak yang berderit-derit menyusuri jalanan. Kini gerobak-gerobak itu mulai dipensiunkan para pemiliknya. Teknologi dan alat transportasi modern kian mendesaknya. Alhasil, kini banyak gerobak yang terpaksa di pensiunkan dini. Jika pemerintah baru sebatas wacana akan memberlakukan pensiun dini bagi PNS, pedagang kecil sudah lebih dahulu, mempensiunkan gerobaknya.