Di kota besar, seperti Jakarta misalnya, kala malam mulai menjelang, trotoar jalan akan mulai disesaki tenda-tenda bertuliskan sedia pecel lele. Mereka, adalah para pengidang pecel lele yang siap menghentikan bunyi perut keroncongan warga kota. Para penjual pecel lele ini, tak hanya menyerbu ibukota. Tapi, juga sudah merangsek ke kota-kota lain. Bahkan sampai ke kota-kota kecil di pelosok negeri. Kebanyakan, mereka para penjual pecel lele, berasal dari Lamongan. Dari Lamongan, pecel lele kini telah mengindonesiakan, sebab sudah bisa ditemui di kota yang berjarak ribuan kilometer dari Pulau Jawa, seperti di Papua misalnya.
Pecel lele, memang identik dengan menu makanan rakyat kecil. Pecel lele juga identik dengan penjual bertenda di pinggir jalan yang berdiri dadakan di atas trotoar, menjelang malam tiba. Tapi, siapa bilang pecel lele tak bisa naik kelas. Kini, pecel lele, mulai menggeliat menjadi menu makan orang berdasi.
Restoran pecel lele Lela ini, tak lagi berbentuk tenda, yang didirikan dadakan di atas trotoar. Tapi sudah rapi jali, berwujud sebuah rumah makan mungil, dengan aroma trendy dan gaul dengan warna hijau cerahnya. Dengan wujud seperti itu, pecel lele Lela, berhasil menarik minat pelanggan yang membutuhkan tempat makan yang nyaman. Pelanggan bermobil dan wangi pun, tak lagi malu bertandang untuk mencicipi menu rakyat tersebut. Pecel lele pun naik kelas. Bahkan, kini pecel lele Lela, sudah diwaralabakan. Sebuah terobosan bisnis yang cerdas dan kreatif.
Adalah, Rangga Umara, anak muda yang berhasil menaikan kelas pecel lele, dari menu trotoar, menjadi menu sekelas restoran. Padahal, saat memulai bisnisnya, modal Rangga tak seberapa, hanya 3 juta rupiah saja. Di rintis, pada 2006, kini pecel lele Lela, sudah jadi brand tersendiri, setelah Rangga memutuskan untuk mewaralabakannya. Lewat sistem franchise, omzet pecel lela Lela, melesat. Tercatat outlet franchise pecel lele Lela, sudah mencapai tiga puluhan gerai. Omzet pun membumbung, mencapai kurang lebih 3 miliar setiap bulannya.
Rangga adalah anak muda yang cerdas membaca peluang, lalu merebutnya. Ia pun, bisa dikatakan sebagai pionir yang berhasil menaikan kelas pecel lele, dari menu rakyat jelata, menjadi menu bagi lidah semua strata. Tak terkecuali bagi mereka yang berdasi dan terbiasa dengan menu sekelas restoran.
Terobosan bisnis seperti yang dilakukan Rangga itulah, yang diperlukan dalam menghadapi pasar bebas Asean atau Asean Free Trade Area (AFTA). Sebab, begitu AFTA tiba, persaingan tak lagi antar anak negeri. Tapi, juga dengan mereka yang datang dari negeri tetangga. Pun dalam persaingan bisnis kuliner. Makanan rakyat khas Indonesia, tentu harus diselamatkan. Jangan sampai, kemudian menu rakyat dikalahkan menu dari negara tetangga. Jangan sampai, pecel lele dikalahkan tom yam Thailand.
Tampilan dan kemasan, sangat penting dalam memenangi ketatnya bisnis kuliner. Mereka, para pebisnis kuliner domestik, mesti menyadari itu, bisa menampilkan daya tarik bagi pembeli. Sehingga, mereka tak ditinggalkan pelanggan. Inovasi harus terus dicari, agar pembeli setia datang bertandang. Rasa dan kualitas makanan, menjadi prasyarat penting dalam bisnis kuliner. Pun, pelayanan yang prima.
Apalagi, bisnis kuliner, tak bisa lepas dari bisnis pariwisata. Kuliner dan dunia perpelancongan, menjadi satu kesatuan. Karena itu, yang harus dipikirkan para pemangku kebijakan dan para pebisnis di sektor pariwisata, termasuk usahawan di bidang kuliner, adalah tak hanya bisa mendatangkan turis untuk datang ke Indonesia, tapi juga merebut lidahnya. Sebab itu, promosi pariwisata, tak sekedar menonjolkan destinasi wisata, tapi juga mengenalkan menu kuliner nusantara. Bahkan sangat perlu, promosi khusus untuk kuliner nusantara di tingkat internasional. Sehingga, kuliner nusantara tak hanya jadi raja di negeri sendiri, tapi bisa mendunia.
Pebisnis kuliner pun, harus pula lebih kreatif dan inovatif. Mesti mampu membuat kuliner nusantara itu, bisa masuk ke lidah warga dunia. Inovasi rasa jelas wajib dilakukan. Sebab, acapkali lidah orang bule, tak sesuai dengan rasa kuliner Indonesia. Inovasi rasa itu yang harus dipikirkan para usahawan di bidang kuliner. Sehingga, menu-menu rakyat bisa naik kelas, menjadi menu internasional. Pemerintah pun, tentu tak boleh berpangku tangan. Mereka, harus memberi dukungan kepada anak-anak muda negeri ini yang kreatif dan cerdas seperti Rangga. Akses modal harus dibuka lebar, bagi usahawan muda. Jangan sampai, mereka berjuang sendirian, tanpa dukungan dari pemerintah.
Restoran Pecel lele Lela, setidaknya sudah memberi bukti. Mereka sukses menaikan kelas pecel lele. Bahkan bukan tak mungkin, bila dikemudian hari pecel lele bisa hadir di Metro Manila, atau terhidang di meja makan Raja, Thailand Bhumibol Adulyadej. Tidak lagi jadi hidangan yang disantap di trotoar jalan.