Pak SBY, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, telah memberi warna dalam dunia politik Indonesia. Ia adalah presiden pertama yang terpilih secara langsung. Pada Pemilihan Presiden 2004, Pak SBY yang kala itu berpasangan dengan Pak Jusuf Kalla atau Pak JK, bisa memenangi persaingan. Padahal yang jadi pesaing Pak SBY, adalah Ibu Mega, sang incumbent, sekaligus mantan atasan Pak SBY dan Pak JK di kabinet. Ya, Pak SBY dan Pak JK itu, sebelum memenangi Pilpres 2004, adalah menteri-menteri di kabinetnya Ibu Mega.
Pak SBY, menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, atau Menkopolkam. Sedangkan Pak JK, adalah Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat atau Menko Kesra. Dan, dieranya Ibu Mega, pemilihan presiden untuk pertama kalinya digelar. Sebagai incumben, tentu Ibu Mega diunggulkan. Sampai kemudian, muncul lontaran 'Jenderal Kekanak-kanakan' yang diucapkan almarhum Taufik Kiemas, suami tercinta Ibu Mega.
Lontaran Jenderal kekanak-kanakan itu ditujukan kepada Pak SBY, yang kala itu merasa sudah diacuhkan sebagai Menkopolkamnya Ibu Mega. Pak SBY pun kemudian menyatakan mundur dari kabinet. Sesaat setelah itu, ia mendeklarasikan berdirinya Partai Demokrat, partai yang kelak mengantarkannya ke kursi Presiden. Sebutan Jenderal kekanak-kanakan itu berhasil dikapitalisasi oleh Pak SBY. Ia pun memposisikan sebagai orang yang didzalimi. Simpatik pun mengalir deras kepada mantan Kepala Staf Sosial Politik TNI itu.
Pesta demokrasi pun digelar. Hasilnya, tak begitu menggembirakan bagi PDI-P, partainya Ibu Mega, yang melorot ke posisi dua. Padahal pada pemilu 1999, PDI-P, adalah partai peraih suara terbanyak. Tapi, di pemilu 2004, PDI-P disalip Golkar, partai yang pada pemilu 1999, berada di urutan dua. Sementara Partai Demokrat, menangguk sukses. Sebagai pendatang baru, dulangan suara Demokrat cukup lumayan, berhasil meraup 7 persen suara dari total suara yang sah.
Hasil yang diraih Demokrat pun kian membakar asa Pak SBY yang berambisi masuk Istana. Dengan dukungan partai-partai kecil, salah satunya adalah Partai Bulan Bintang (PBB), Pak SBY melenggang ke gelanggang Pilpres 2004. Ia pun merangkul Pak JK, sebagai kawan duetnya. Pak JK, sendiri adalah politisi Golkar. Ia bahkan sempat maju dalam konvensi penjaringan capres Golkar. Namun, ia kemudian mengundurkan diri, lalu merapat ke Pak SBY. Konvensi Golkar sendiri, dimenangi Pak Wiranto, mantan Panglima TNI yang juga eks bosnya Pak SBY di militer.
Persaingan menuju Istana pun dimulai. Pak SBY maju bersama Pak JK. Sementara Ibu Mega menggandeng Kyai Hasyim Muzadi, Ketua PBNU kala itu, sedangkan Pak Wiranto, berduet dengan Solahudin Wahid atau Gus Solah, adik kandung mantan Presiden RI, KH Abdurahman Wahid, yang digantikan Ibu Mega, setelah dilengserkan lewat sidang istimewa MPR. Kontestan lainnya, adalah duet Pak Amien Rais- Pak Siswono Yudhohusodo dan Pak Hamzah Haz-Pak Agum Gumelar. Pak Hamzah sendiri, kala maju sebagai capres, ia masih berstatus wapresnya Ibu Mega. Pak Hamzah juga adalah ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), partai yang sekarang dipimpin Pak Suryadharma Ali.
Sejarah pun kemudian mencatat, Pak SBY bersama Pak JK, keluar sebagai pemenang Pilpres 2004, setelah mengalahkan Ibu Mega dan Kyai Hasyim di putaran dua. Sementara pasangan calon lainnya, berguguran di putaran pertama. Naiklah Pak SBY bersama Pak JK ke tampuk kekuasaan. Tapi, sejak saat itulah, hubungan Pak SBY dengan mantan bosnya, Ibu Mega merenggang.
Ibu Mega kabarnya sudah ora sudi lagi berkomunikasi dengan Pak SBY, mantan anak buahnya. Padahal, setelah itu Pak Taufik Kiemas, mencoba mencairkan itu. Tapi tetap hubungan Pak SBY dengan Ibu Mega dingin. Sampai kemudian tiba lagi saatnya pesta demokrasi pada 2009. Pak SBY, kembali maju. Hasilnya, tak seperti Ibu Mega, Pak SBY sukses gilang gemilang, memenangi pemilihan legislatif dan Pilpres. Partainya, Demokrat, raihan suaranya naik berlipat-lipat, dari 7 persenan menjadi 20 persenan. Di arena Pilpres pun, Pak SBY juga menangguk sukses. Ia kembali jadi jawara Pilpres, dengan raihan suara signifikan, mencapai 60 persenan.
Sementara pil pahit kembali ditelan Ibu Mega. Maju bersama Pak Prabowo Subianto, mantan komandan jenderal Kopassus, Ibu Mega gagal mengimbangi duet Pak SBY-Pak Boediono. Kala itu yang bertanding, ada tiga pasangan. Pertama Pak SBY-Pak Boed, Ibu Mega-Pak Prabowo, lalu Pak JK dan Pak Wiranto.
Kemenangan Pak SBY dan kekalahan Ibu Mega, semakin membuat hubungan antar keduanya kian dingin saja. Almarhum Pak Taufik, kembali coba jadi penengah. Agak mencair, sebab dalam beberapa kesempatan Ibu Mega dan Pak SBY, bersalaman. Misalnya saat Presiden Amerika Serikat, Barack Obama datang ke Indonesia. Saat itu, Ibu Mega bersedia datang ke Istana untuk makan-makan bersama Obama. Pada acara di MPR pun, Pak SBY dan Ibu Mega saling salaman. Terakhir, saat Pak Taufik meninggal.
Tapi publik tetap melihat, hubungan Pak SBY dengan Ibu Mega, dingin. Mungkin, disaat Pak SBY sebentar lagi pensiun, ada baiknya hubungan yang dingin itu dicairkan. Tidak elok juga, bila diantara keduanya masih berjauhan. Mereka adalah tokoh nasional, yang harusnya memberi contoh, bagaimana komunikasi itu dibangun. Sebentar lagi Pak SBY statusnya sama dengan Ibu Mega, sama-sama mantan Presiden.
Sebaiknya, kebekuan itu diakhiri. Dan keduannya bisa kembali bertegur sapa, atau bahkan saling mengunjungi. Nah, Pak SBY ini, selain jago membuat lagu, dan memainkan gitar, juga piawai meracik bumbu nasi goreng. Kalau mereka baikan, laiknya kakak adik, mungkin Ibu Mega bisa bertandang ke rumah Pak SBY, di Cikeas. Pak SBY mungkin akan menyambutnya dengan hangat bersama Ibu Ani Yudhoyono lengkao ditemani putra dan menantunya di teras rumah. Lalu setelah cipika-cipiki, Pak SBY dan Ibu Ani, mengajak Ibu Mega ke ruang makan. Dengan sigap Pak SBY pun, menghidangkan menu nasi goreng hasil racikannya. Nasi goreng khusus untuk Ibu Mega.
Atau di lain waktunya lagi, giliran Pak SBY bersama Ibu Ani Yudhoyono yang berkunjung ke Teuku Umar, kediaman pribadinya Ibu Mega. Kunjungan itu sekedar menikmati makan malam. Ah, bila seperti itu, alangkah indahnya. Ibu Mega bisa mengajak Mas Jokowi, Presiden RI. Lho kok Presiden RI. Ya, itu pun kalau Mas Jokowi, terpilih sebagai Presiden. Jadi di meja makan nanti, ada dua mantan Presiden, dan satu Presiden aktif. Sekali lagi bila Mas Jokowi ini terpilih sebagai Presiden. Bila tak terpilih, baiknya Mas Jokowi tetap diajak. Makan malam pasti hangat semarak, ada dua mantan Presiden, dan Gubernur Jakarta. Nuwun sewu, itu bila Mas Jokowi gagal jadi Presiden.