Kira-kira begitulah maksud dari sebuah wejangan yang pernah disampaikan oleh kakek nenek moyang kita dahulu kala itu. Bagi mereka yang berasal dari daerah Jawa, saya yakin, tentu sudah mafhum dengan maksud dari pesan itu.
Dengan mengambil hikmah yang terkandung dalam wejangan ini, kita pun kiranya dapat memahami bahwa sepatutnya kita mencintai segala hal yang kita senangi itu dengan sikap yang proporsional atau sewajarnya saja. Sebab, tidak menutup kemungkinan hal yang kita senangi saat ini kelak akan berubah menjadi perkara yang kita benci.
Dan sebaliknya. Sebaiknya kita pun membenci perkara yang tidak kita senangi itu dengan sewajarnya saja. Sebab belum tentu, esok hari ia masih akan menjadi perkara yang kita benci.
Dengan adanya kemungkinan perubahan atas sikap kita ini, mungkin saja kita akan dianggap seperti menjilat ludah sendiri akibat menarik perkataan yang dulu pernah kita sampaikan.
Akan tetapi, kita pastinya menyadari bahwa setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk berubah. Dalam waktu yang cepat maupun lambat. Entah perubahan itu dilatarbelakangi oleh faktor berubahnya pendirian, bertambahnya pengetahuan maupun berkembangnya pengalaman yang mereka miliki. Sehingga seiring bergantinya waktu, selera maupun cara pandang mereka terhadap suatu hal pun bisa saja akan berganti.
Dahulu, mungkin saja mereka membenci sebuah perkara karena belum paham benar dengan nilai manfaat yang terkandung di dalamnya. Dan begitu mereka telah semakin paham dengan nilai manfaat dan kebaikan dari perkara yang mereka benci itu, maka pandangan dan seleranya pun lekas berubah. Demikian pula sebaliknya.
Hal itu bisa saja berlaku bagi hampir seluruh manusia untuk banyak hal, sehingga menjadi wajar jika kemudian muncul sebuah idiom, di dunia ini tidak ada yang tidak berubah kecuali Sang Pencipta perubahan itu sendiri.
Menanggapi adanya potensi perubahan pada sikap manusia ini, maka Tuhan pun telah mengingatkan kita melalui penjelasan dalam QS Al-Baqarah 216 tentang sikap kebencian kita terhadap suatu hal padahal itu sebenarnya baik bagi kita.
Demikian pula sebaliknya, Tuhan pun telah mengingatkan kita bahwa mungkin saja kita mencintai suatu perkara padahal sebetulnya di balik yang kita cintai itu ternyata menyimpan keburukan bagi diri kita. Dan sesungguhnya Dialah Yang Maha Mengetahui apa saja yang tidak kita ketahui.
Oleh karena kita tak selalu paham dengan nilai manfaat maupun keburukan yang terkandung dalam perkara yang kita senangi dan kita benci ini, maka sebagai bentuk langkah kewaspadaan dan antisipasi dari kita adalah dengan cara tidak tergesa-gesa untuk mencintai dan membenci perkara tersebut dengan sepenuhnya.
Dengan demikian, akan terbuka ruang-ruang sekaligus peluang bagi kita untuk terus mempelajari dan meneliti apa saja yang kita senangi dan kita benci itu, sehingga kita pun menjadi semakin paham dengan hakikat keberadaan dari perkara itu berikut dampaknya bagi kehidupan kita.
Dan barulah, setelah kita semakin paham dari hasil pengamatan kita itu, maka kita pun kiranya akan dapat memutuskan apakah kita akan tetap bersikap pada pendirian yang semula atau harus berubah haluan dari cara pandang yang sebelumnya.
Di satu sisi, mungkin saja hal ini akan dinilai baik oleh lingkungan kita, sebab kita dianggap peka terhadap perubahan. Namun di sisi yang lain, bisa jadi kita juga akan dicap sebagai seorang yang plin-plan alias tak berpendirian lantaran sikap kita yang mudah berubah itu.
Namun, apapun reaksi yang akan timbul dari mereka nanti, sepatutnya kita semakin memantapkan hati dan keyakinan kita bahwa perubahan sikap yang kita alami itu tujuannya adalah bagian dari berproses untuk menuju pada keadaan yang lebih baik. Sehingga kebaikan yang kita jadikan sandaran saat ini bukan berarti sebuah kebaikan final yang tak mungkin disempurnakan lagi di kemudian hari.
Dan tentunya perubahan menuju arah kebaikan ini sebaiknya juga kita landasi dengan ketulusan dan kesadaran yang sepenuhnya bahwa barang siapa yang keadaannya saat ini lebih baik daripada keadaannya di masa lalu, maka ia termasuk golongan orang yang beruntung.
Sementara itu, jika keadaan seseorang itu stagnan alias masih sama pencapaiannya dengan hari kemarin, maka ia pun harus bersiap akan berada pada keadaan yang merugi.
Dan apalagi jika seseorang itu berada pada kondisi yang lebih buruk dibandingkan waktu sebelumnya, sudah pasti ia pun harus menyiapkan diri untuk terjerembap dalam duka penderitaan dan penyesalan.
Jika memang alasan kita untuk berubah itu adalah karena harapan untuk menjadikan keadaan kita semakin baik dari waktu ke waktu, dengan disertai ketulusan sekaligus kesabaran untuk menjalaninya, besar kemungkinan perubahan-perubahan itu akan semakin mengantar kita pada tangga-tangga perbaikan.
Dengan demikian, sekali lagi, marilah kita mencintai dan membenci sebuah perkara itu dengan sikap yang sewajarnya saja demi menghindari rasa kecewa dan rasa malu ketika kita harus mengalami perubahan di kemudian hari. (*)