Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Kenangan dari Belakang TN Batang Gadis

15 Agustus 2012   18:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:42 1217 13

Beberapa hari lalu saya mendapat telepon dari seorang pejabat Kabupaten Mandailing Natal, ia ternyata menanyakan titik koordinat rencana pembangunan pelabuhan Teluk Ilalang yang katanya akan segera dibangun dan mau disusun AMDALnya dulu. Saya memang terlibat dalam penentuan titik lokasi pelabuhan tersebut dan setelah menjawab telepon tersebut pikiran sayapun segera melayang kesana.

Juni 2011 lalu saya mendapatkan kesempatan mengunjungi Kecamatan Natal, salah satu pemukiman yang terdiri dari tiga kecamatan yang berada tersembunyi di balik Taman Nasional Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara.

Menurut penduduk setempat, Natal dalam bahasa daerah mereka berarti sembunyi. Informasi pendek itu cukup menjelaskan kepada saya yang sebelumnya menyimpan tanya, mengapa tempat bernama Natal tetapi penduduknya lebih dari 90% beragama Islam. Dalam benak saya sebelum pergi, Natal adalah hari raya Umat Kristen, sehingga adanya populasi penduduk Islam yang sangat dominan menimbulkan keheranan tersendiri. Sehari sebelum berangkat saya menulis status di Facebook : “Mandailing Natal saja penduduknya 93% Islam, apalagi Mandailing Lebaran..?” Mandailing Natal adalah "Serambi Mekah" nya Sumatera Utara, yang ditandai dengan pondok-pondok pesantren. Kota yang secara visual sangat Islami,

Hari pertama, saya hanya ngobrol bercengkrama dengan pada pegawai Pelabuhan Sikara-kara yang lokasinya ada disitu. Ternyata daerah itu sedikit-demi sedikit mulai ramai menjadi daerah tujuan wisata karena keberadaan perkebunan kelapa sawit yang ada disekitar situ yang luas rencana keseluruhannya mencapai 100 ribu hektar. Menurut informasi masyarakat, pabrik CPO yang sudah berdiri ada 4 unit. Beberapa penginapan, kafe dan rumah makan mulai berdiri untuk menyambut peluang ramainya Kecamatan natal di Kemudian hari.

Daerah itu memang memiliki pantai yang cukup bagus dan bersih, meskipun berada di pantai barat Pulau Sumatera tetapi ombaknya tidak besar. Itu karena ada beberapa pulau kecil yang melindungi pulau besar Sumatera dari gelombang samudera. Karena keberadaanya di pantai barat, maka saya dapat menikmati secara penuh suasana tenggelam matahari.

Hari kedua, saya mengunjungi Pulau Tamang, yaitu sebuah desa dengan penduduk 100 KK yang dihuni oleh Etnis Minang. Sayapun sempat jum’atan di pulau itu. Dari bentuk-bentuk rumahnya, dahulunya pulau itu seperti pernah dihuni oleh bangsawan karena banyak rumah adat yang besar tapi sudah dalam kondisi rusak. Seorang tukang warung tempat saya istirahat makan siang membenarkan hal itu, bahkan dulu pulau itu mendapatkan julukan Singapurnya Sumatera karena potensi cengkehnya yang sangat besar. Ia juga menunjukkan kalau ada mantan gubernur yang pernah tinggal di pulau yang berjarak hanya 2 mil dari Pulau Sumatera itu.

Malam hari kedua, saya mendapat jamuan beberapa durian dari Pegawai Pelabuhan dan sajian makan malam dengan menu kepiting laut yang satu ekornya hampir 2 kg. Saya terpaksa melupakan kondisi perut yang kemungkinan bermasalah setelah melahap kedua jenis makanan berbeda itu. Namun Alhamdulillah, hanya kekenyangan dan membuat ngantuk datang lebih awal. Rupanya harga durian di tempat itu sangat murah, tidak lebih dari Rp. 5.000 untuk kualitas yang paling baik.

Hari ketiga, saya mengunjungi sebelahnya yaitu Batang Batahan. Dengan menggunakan sepeda motor menyusuri jalan setapak sejauh 18 km dengan 4 jembatan kayu, saya sempat hampir terpeleset di sekitar lokasi perkebunan kelapa sawit yang baru tumbuh. Dalam perjalanan tersebut, saya menemukan perkampungan seperti di Jawa berupa rumah-rumah tembok yang di halamannya terdapat beberapa pohon mangga tetapi lokasinya hampir berdekatan dengan garis pantai. Sungguh kampung yang menyejukkan bagi saya yang setiap hari bekerja di suasana panas dan debu Jakarta.

Tapi semoga saja tidak....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun