Suatu hari di bulan puasa beberapa tahun yang lalu, saya naik kapal air dari Kota Melak ke Samarinda. Kapal yang berkapasitas hampir200 orang tetapi hanya terisi kurang dari setengahnyaitu berangkat pukul 4 sore dengan jadwal tiba di Samarinda jam 7 pagi. Meskipun sudah ada jalur darat yang lebih cepat dan lebih murah, jika saya ke Kutai Barat pulangnya saya lebih senang menggunakan moda sungai tersebut karena santai serasa perjalanan wisata.
Karena wilayah Kabupaten Kutai Barat mayoritas non-muslim, sayapun maklum jika orang yang makan-minum dan merokokterlihat hampir di seluruh sudut kapal. Sambil menikmati pemandangan sepanjang sungai saya menghabiskan waktu ngabuburit dengan nongkrong di lantai bawah kapal. Lantai bawah kapaladalah tempat penumpang kelas ekonomi yang hanya berupa gelaran karpet plastiktanpa tempat tidur dan tanpa dinding. Saya sendiri mengambil tempat di kelas 1 yang mendapat satu kasur matras di lantai atasdengan ruangan berdinding sehinggajika malam tiba tidak akan terkena hembusan angin malam.
Sambilmemandang alam pinggiran sungai, sesekali saya ngobrol dengan penumpang yang ada sekitar saya yaitu sepasang suami-istri dengan satu anak balita yang sama-sama naik dari Melak dan juga bertujuan ke Samarinda. Meskipun tampak sepertipenduduk lokal (Suku Dayak yang mayoritas beragama Kristen), tetapi mereka tidak makan-minum seperti yang lainnya. Dugaan saya adalah mereka Dayak Muslim.
Ketika waktu mendekati magrib, sayabergegas ke kantin kapal dan membeli tiga paket buka puasa untuk disantap bersama pasangan suami istri tersebut dan beberapa jajan anak untuk anaknya. Namun ketika makanan itu saya berikan dan mengajak berbuka bersama, mereka menolak dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim dan juga tidak sedang berpuasa.
Tanpa rasa menyesal telah membelikannya, saya mengatakan “Ya sudah, gak puasa juga ga apa-apa, sekarang kita makan sama-sama saja”. Akhirnya kamipun menyantap hidangan buka puasa bersama seperti sebuah rombongan perjalanan. Anak kecilnya tampak sangat bahagia dengan beberapa jajanan yang saya bawakan itu.
Setelah Maghrib, saya kembali menghampiri mereka dan sekalian mengajak makan malam di kantin kapal tersebut sambil melanjutkan obrolan yang makin hangat. Suasana di lantai bawah semakinmalam semakin dingin dan mesin kapal terasa sangat berisik. Karena itu saya menawarkanagar istri dan anaknya untuk tidur di tempat tidur saya di lantai atas. Meskipun awalnya ragu, akhirnya menerima juga tawaran itu karena memang suasana itu tidak nyaman untuk istirahat.
Saya sendiri akhirnya tetap di lantai bawah kapal itu dengan waktu lebih banyak dihabiskan untuk nongkrong –nongkrong setiap sisi kapal. Dengan balutan jaket dan sarung, sesekali saya pejamkan mata di kursi atau di samping bapak itu. Situasi di lantai bawah ternyata sangat tidak nyaman untuk beristirahat, untunglah ibu dan anak itu saya pindahkan ke tempat saya di atas sehingga tidak akan terganggu oleh tiupan angin malam dan gemuruhnya mesin kapal.
Sekitar jam 5 pagi ketika saya duduk-duduk di belakangkapal sehabis sahur dan shalat subuh, bapak dari anak kecil itu menghampiri saya dan ngobrol lagi. Selain mengucapkan terima kasih yang mendalam, ia menceritakan bahwa sebenarnya uang dia pas-pasan untuk ongkos perjalalanan saja. Ia terpaksa harus ke Samarinda karena mertuanya sakit. Itulah alasan yang ia sampaikan mengapa kemarin ia tampak seperti sedang berpuasa.
Jam 7 pagi, kapal kayu yang membawa kami dari Hulu Mahakam tiba di Samarinda. Saat kami akan berpisah, mereka menyuruh anaknya cium tangan saya ketika kami bersalaman. Saya tidak punya kata-kata perpisahan selain menggenggamkan selembar 50 ribu pada tangan anak itu dan mengatakan hati-hati di jalan……