Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Menyalakan Obor Toleransi

30 November 2014   15:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:28 114 0
Bicara tentang toleransi, bukan perkara prioritas tapi menyangkut keselamatan dan masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Betapa tidak, angka kekerasan dan intoleransi, sebagaimana merujuk pada laporan  Laporan Tengah Tahun (Januari – Juni 2014) yang dilakukan oleh Setara Institute, dari 60 pelanggaran yang terjadi di seluruh Indonesia, 19 di antaranya terjadi di Propinsi Jawa Barat. Jumlah itu terbilang tinggi bila dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Di peringkat kedua ada Propinsi Jawa Tengah dengan 10 kasus dan Jawa Timur (8 kasus).  Dari 81 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 34 tindakan Negara yang melibatkan para penyelenggara Negara sebagai aktor, Dari ke-34 tindakan Negara tersebut, 30 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission), sementara 4 tindakan merupakan tindakan pembiaran (by omission). Pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadiya kekerasan (condoning), merupakan bagian dari tindakan aktif Negara.  Bentuk-bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut adalah  antara lain diskiriminasi, intimidasi, pelarangan ibadah, pelarangan mendirikan tempat ibadah,  pemaksaan menjalankan ibadah, pembatalan ijin tempat ibadah, pembiaran, pembubaran ibadah, intoleransi dan intimidasi.

Sesuatu yang ironis dan bikin miris. Bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang cinta damai, toleran dan menghargai pluralitas. Bahkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah menjadi prinsip kebangsaan yang kuat sejak masa kegemilangan silam dengan tradisi dan kemajemukan masyarakat Nusantara hingga terbentuknya negara bangsa bernama Indonesia saat ini. Sebuah konsesus bersama disepakati dalam bentuk konstitusi. Bernegara itu berkonstitusi. Yang di dalamnya melingkupi penyelenggaraan negara yang memberi rasa aman dan kesejahteraan kepada segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Konstitusi juga mengamanatkan komitmen penegakan HAM yang tidak terbatas soal pemulihan hak politik, melainkan juga pemenuhan hak ekonomi, dan budaya.

Beragama Yang Toleran

Salah satu dimensi kehidupan paling vital di Indonesia adalah dimensi agama. Hal ini kiranya bisa dimaklumi karena rakyat Indonesia begitu patuh akan ajaran agama; Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan berbagai aliran kepercayaan lainnya. Keberagamaan dan keyakinan seperti demikian tidaklah bermasalah, selama agama dan kepercayaan yang dianut atas dasar ketukan nurani, bukan karena paksaan dan apalagi intimidasi. Sikap toleransi yang benar dan sehat mendorong semua orang untuk saling menghargai, saling mencintai dan bekerjasama. Jika semua orang menjalankan agamanya masing-masing dengan sebenar-benarnya, maka sudah pasti akan melahirkan kedamaian, ketentraman hidup dan kerjasama sosial yang sehat. Sikap beragama yang berlapang dada, terbuka dan damai akan melahirkan toleransi. Sebaliknya, sikap ketertutupan(eksklusivisme) dalam beragama tidak akan pernah melahirkan toleransi dan justru melegitimasi radikalisme dan segala bentuk kekerasan beragama.



Agama harus menjadi spirit bagi tumbuh suburnya nilai kesucian, kasih sayang dan pelayanan terhadap kemanusiaan bukan justru memantulkan kebencian, keputus-asaan, permusuhan, terorisme dan intoleransi. Nilai ketuhanan yang diyakini dan dihayati bangsa Indonesia harus bersifat membebaskan, memuliakan keadilan dan menjadi dasar, mengutip Bung Hatta, ke arah jalan persaudaraan. Sikap ini yang akan memperkuat pembentukan karakter bangsa  serta mewujudkan kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Kasus unjuk rasa dan kekerasan hanya karena ogah menyetujui Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta tidak perlu terjadi bila hanya karena Ahok seorang pemimpin non-Muslim. Ormas sekaliber Nahdlatul Ulama (NU) pun tak pernah memberikan fatwa keharaman seorang non-Muslim menjadi pemimpin. Tentu sangat mudah mengidentifikasi seseorang atau kelompok berislam atau tidak.  Islam merupakan agama toleran sejak dari penamaan. Islam berarti kepasrahan, kedamaian, dan keselamatan. Maka sikap seorang muslim atau kelompok Islam senantiasa mengedepankan pendekatan dan sikap yang damai, toleran, dan memberi rasa aman.

Padahal, semua agama dan aliran kepercayaan ada adalah tidak lain untuk mengemban misi kedamaian dan harmoni. Termasuk Islam, ia ‘turun’ semata-mata untuk menjadi inspirasi dan gerbong dalam menyongsong kehidupan yang toleran bagi semesta alam (lihat QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Islam yang ditampilkan dengan wajah yang ramah, santun, dan menyejukkan. Islam yang mengakomordir semua manusia apapun agama dan identitas sosial lainnya. "Sejak kapan kalian memperbudak manusia, sementara mereka dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka/bebas", (Mata ista'badtum al-Nasa, wa qad waladathum ummahatuhum ahrara), begitu kutipan kalimat bernada tegas yang pernah dilontarkan Umar bin al-Khathab. Lontaran tegas ini dijadikan rujukan oleh Syekh Muhammad Thahir Ibnu 'Asyur sebagai argumen bahwa kemerdekaan atau kebebasan merupakan salah satu ajaran utama Islam berkenaan dengan toleransi. Kebebasan juga menjadi bagian penting dari tujuan universal syariat Islam (maqashid al-Syari'ah) selain egaliter/persamaan derajat (al-Musawa), merawat agama (hifdz al-Din), merawat akal (hifdz al-'Aql), merawat keturunan (hifdz al-Nasl), merawat kehidupan (hifdz al-Nafs) dan merawat harta (hifdz al-Mal).

Kita berharap juga kepada pemerintahan Jokowi-JK melalui Lukman Hakim Saifuddin yang dipilih sebagai Menteri Agama RI untuk berkomitmen untuk senantiasa memperkokoh jalinan toleransi bangsa dengan menghadirkan nilai agama yang mengakomodir tradisi dan budaya Indonesia, tidak menutup akses kepada semua penganut agama dan kepercayaan lain untuk  melakukan "dakwahnya" masing-masing.

Hari Toleransi Dunia

Sejak tahun 1995 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 16 November adalah peringatan hari toleransi dunia. Peringatan Hari Tolernasi dunia merupakan sarana bagi seluruh bangsa untuk mengakui adanya perbedaan yang ada di setiap sudut bumi. Hari toleransi dunia merupakan sarana bagi setiap manusia untuk melakukan perenungan bahwa kehidupan dunia ini dibangun oleh peradaban yang beragam, termasuk pengakuan keberagaman itu diakui oleh bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika.

Hari toleransi bagi bangsa Indonesia pada 16 November 2014 merupakan moment yang tepat untuk mengajak seluruh elemen bangsa menyadari  serta mengakui dan menghargai hak dan keyakinan orang kemudian  menyadari betapa ketidakadilan, penindasan, rasisme, diskriminasi, kebenciaan berbasis agama, kekerasan mempunyai dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bersama. Untuk Indonesia terkini peringatan hari toleransi dunia merupakan sarana untuk terus megingatkan Negara agar memberikan jaminan dan hak-hak warga Negara yang selama ini tercerabut dari akarnya. Sehingga jaminan konstitusi 1945 dapat  dijalankan sebagaimana mestinya. Sehingga tujuan hidup bangsa Indonesia dapat tercapai.

Melihat toleransi merupakan penghormatan, penerimaan, dan penghargaan atas keanekaragaman budaya, ekspresi, dan cara pandang setiap insan manusia. Maka sikap toleransi dapat memupuk keterbukaan, pengetahuan, kebebasan, sehingga  harmoni dalam keragaman dapat tercipta. Toleransi harus menjadi sikap politik serta  hukum seperti penciptaan dunia damai tanpa perang dan perlindungan hak-hak kelompok minoritas. Sehingga toleransi dapat diartikan kewajiban setiap individu, kelompok dan Negara. Bukan berdasarkan belas kasihan dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas. Dapat diartikan toleransi merupakan tanggung jawab untuk menegakkan hak asasi manusia, demokrasi dan pluralisme.

PENUTUP

Mengukur toleransi atau intoleransi semata hanya angka, tapi gejala sosial seperti menguatnya konservatisme agama, kecenderungan segregasi sosial berdasarkan identitas agama, merosotnya penghargaan pandangan individu dan kelompok terhadap individu dan kelompok yang berbeda keyakinan. Untuk mengukur toleransi atau intoleransi tidak hanya angka yang hanya akan menjerumuskan kita kepada kegagalan  memahami perkembangan sosial. Hingga kini penyebab-penyebab terjadinya pelanggaran kebebasan/berkeyakinan belum diatasi oleh aktor Negara seperti pembiaran produk hukum yang diskriminatif, diskriminasi korban pelanggaran, pembiaran pelaku kekerasan menikmati impunitas dan immunitas karena tidak diadili secara fair, juga pembiaran berbagai provokasi yang terus menebar kebencian terhadap kelompok-kelompok agama atau keyakinan rentan lainnya.

Kita perlu melihat toleransi di Indonesia bukan juga dari berapa banyak jumlah rumah ibadah yang ertambah tiap tahun, bukan pula pada meriahnya pertemuan-pertemuan lintas agama  yang dihadiri oleh para tokoh agama. Tidak juga hanya melihat pada deklarasi-deklarasi perdamaian yang hanya disorot media, tetapi masih menyimpan sekam. Tidak hanya seremonial bagi kehidupan beragama. Tidak sebatas selesai pada meja-meja perundingan dan rapat-rapat elitis.

Karenanya, tepat pada hari Toleransi Internasional 16 November 2014 Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), sebuah aliansi keberagaman kebudayaan dan kepercayaan untuk mempertahankan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa yang beragam dan menjunjung konstitusi, menggelar Obor Perdamaian 2014 " Damai Dalam Kebhinekaan". Acara dengan agenda Pawai Budaya yang akan diikuti ribuan peserta dari penjuru Nusantara, Orasi Budaya oleh Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa, Pentas Tari Bali Sri Kamelawi, Puisi Perdamaian oleh Lurah Lenteng Agung, Susan Jasmin, Tarian Saman, Sape dan Papua serta Tribute untuk Frangky Sahilatua oleh Eva Sundari dan menyanyikan lagu-lagu almarhum Frangky bersama Lea Simanjuntak, Ivan, Takeda dengan iringan Musik Band Georgy.  Ini merupakan sebuah ikhtiar untuk Menghidupkan kembali nilai-nilai toleransi ditengah situasi ancaman kebhinnekaan yang terus tergerus. Perubahan dan perbaikan dalam ranah kehidupan beragaman, berbangsa dan bernegara adalah sebuah keniscayaan.

Toleransi adalah obor yang harus terus dinyalakan agar, mengutip Nurcholis Madjid,   “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of civility)" tetap terjaga dalam prilaku kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan toleransi adalah  juga sebagai suatu keharusan bagi masa depan dan keselamatan bangsa Indonesia. Negara harus hadir dalam setiap persoalan bangsa, ia mewujud dalam keputusan politik dan aturan yang memberikan jaminan terhadap setiap invidu dan kelompok masyarakat. Jangan biarkan intoleransi kembali menggerus kebhinnekaan.

Penulis adalah Majelis Nasional ANBTI (Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika), Anggota DPR RI 2014-2019. e-Mail: mamanimanulhaq_48@yahoo.com. Twitter @Kang_Maman72

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun