Menyebut kata drama, dengan banyak kepala seperti ini, maka rujukannya pun bermacam-macam. Saya masih ingat ketika Odi Shalahuddin menanyakan pada panitia tentang apa yang dimaksud dengan drama dalam FDR ini? Itu sama dengan kebingungan saya, ketika beberapa tulisan yang menurut saya berbentuk cerpen, tapi justru di-posting di kanal drama, dan anehnya--bagi saya--admin Kompasiana membiarkannya tidak memindahkan ke kanal yang seharusnya. Dari sana saja, saya sudah berpikir, "Ah, drama di kanal drama Kompasiana itu jangan-jangan bukan sebagai bentuk kesusastraan, melainkan genre pada cerpen/novel sebagaimana kita menjumpai istilah film drama, selain film action, misalnya saja."
Sebagaimana yang berkembang dalam khasanah literatur kita, ada tiga bentuk kesusastraan yang kita kenal, yaitu puisi, prosa, dan drama. Dan, prosa lalu dibedakan lagi dengan prosa fiksi (cerpen dan novel) dan prosa nonfiksi (kritik dan esai). Dari ketiga bentuk kesusastraan itu, yang paling sulit untuk ditulis--sekali lagi pandangan subjektif saya--adalah drama. Penulis drama bukan sekadar menghasilkan sebuah naskah (tulisan), tetapi ia pun harus memperhitungkan agar naskah itu secara potensial dapat dipentaskan. Kalau saja kemungkinan terakhir bukan sebagai tujuan yang disebabkan oleh adanya keterbatasan-keterbatasan, maka sejogianya naskah yang dihasilkan benar-benar naskah drama, bukan sebuah cerpen, anekdot (humor), atau bahkan curhatan dalam buku harian.
Apa ciri khas naskah drama dibandingkan dengan bentuk lainnya? Luxemburg, Bal, dan Weststeijn (1986) mengatakan bahwa "Yang dimaksud dengan teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang isinya membentangkan sebuah alur." Jadi, kata mereka, "Dalam sebuah drama, dialog merupakan situasi bahasa utama. Dialog-dialog mrupakan bagian terpenting dalam sebuah drama." Pun, jangan dilupakan bahwa di sana terdapat juga alur. Dalam anekdot (teks humor) atau curhatan dalam buku harian, plot atau alurnya tidak ada, yang ada hanya dialog, dengan tujuan menghasilkan efek tertawa bagi pembacanya (dalam teks humor/anekdot). Yang membedakan drama dengan cerpen/novel, misalnya, plot bisa terimplisitkan dalam dialog-dialog itu dalam drama, tetapi dalam cerpen/novel, plot justru dinarasikan.
Dalam teks drama, selain dialog, terdapat juga teks sampingan atau petunjuk tindakan. Teks sampingan itu semestinya porsinya sedikit saja dibandingkan dengan dialog. Sederhananya, menurut saya, kalau dipersentasekan teks dialog bisa mencapai 90%, sedangkan teks sampingan/petunjuk tindakan itu sekitar 10%. Perlu diingat "makin banyak petunjuk sampingan maka makin terikat sutradara dan para pemainnya". Dalam event FDR ini, saya menemukan justru banyak naskah drama yang justru teks sampingannya lebih banyak dibandingkan dengan dialognya. Asumsi saya, bahwa godaan untuk "to show" sebagaimana diharapkan dilakukan dalam cerpen/novel, masih terbawa-bawa dalam penulisan drama ini. Apakah itu masalah? Tak apalah, sekali lagi jika tujuan kita adalah mencoba belajar berbagai bentuk penulisan sastra.
Belum banyak naskah yang dalam event FDR ini yang saya baca sebab adanya keterbatasan-keterbatasan pada saya.Namun, secara umum, saya melihat sebagaimana dipaparkan di atas. Soal tema, tentu saja banyak tema yang menarik yang ditawarkan, dengan berbagai sudut pandangnya. Sudah mencoba menulis naskah drama, itu sebuah keberanian, sebuah keberanian yang tidak saya miliki. Makanya, saya hanya bisa "me-nganu" saja soal drama ini.
Wallahu'alam
tambun selatan, 28 juli 2013