Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

puisi dan kematian

8 Maret 2014   19:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 44 0
Kematian menemuiku

ketika secangkir kopi pekat dan kental disajikan

saat itu musim kemarau panjang sedang menggila

hingga dinding gedung berkeringat deras

ia menepuk bahuku,

lalu duduk di sampingku,

"Apa kabar, Teman?" katanya.

aku meliriknya--sebentar saja dengan ujung mataku

tetap asyik mencoret-coret kertas

tanpa kata dan tanpa gambar: abstrak!

"Apa kabar, Teman?" sekali lagi tanyanya.

"Baik," jawabku.

"Kemarau masih panjang.

Masih berairkah sumurmu?"

"Apa maksudmu?" tanyaku.

"Tidak apa-apa, ku pikir engkau sudah bosan dengan lukisan abstrak itu."

"Maaf, ini bukan lukisan," kataku, "Tapi, sebuah puisi."

"Tanpa kata-kata?"

"Ah, engkau tidak akan mengerti, engkau bukan penyair."

lalu, aku robek-robek kertas itu

menjadi serpihan-serpihan angin, lalu aku taburkan

hingga beterbangan dihembus angin.

Kematian menemuiku

pada sebuah malam ketika rembulan muram

saat satu embun yang disayangi menetes jatuh ke bumi

dia tak bertanya apa-apa

langsung memegang tanganku, lalu mengajakku pergi

di satu tempat--entah di mana

ditunjukkannya padaku selembar kertas

yang dulu kurobek-robek itu

sekarang dibingkai bertuliskan sebuah puisi

"Maaf, ternyata engkau betul, ini sebuah puisi," katanya

Kematian meninggalkanku

sambil terus membaca puisiku

meskipun ia tak akan pernah mengerti.

---------------------------mampang prapatan, 8 maret 2014

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun