Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humor

Rendang Babi di Restoran Padang

2 Juli 2011   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 383 4
Sejak diangkat menjadi petugas inspeksi internal di instansi yang memiliki kantor cabang di seluruh provinsi di Indonesia ini setahun lalu, Badar sudah mengunjungi lebih dari separuh wilayah Indonesia. Tetapi, baru kali ini dia mendapat tugas berkunjung ke kota yang penduduknya mayoritas non-muslim. Berdasarkan referensi dari seniornya, mencari restoran yang menyajikan menu halal bagi kaum muslim di kota tersebut bukan persolan mudah.

“Carilah restoran yang ada tulisan restoran muslim, kalau pun tidak ada tulisan, semua restoran Padang pasti menyajikan menu halal” demikian seniornya memberi petunjuk.

Sosok Badar
Meskipun berdasarkan prestasi ibadahnya (sholat dan puasa khususnya) tidak layak disebut sebagai muslim taat, tetapi untuk urusan halal–haram dia sangat idealis. Dia paling benci orang yang tidak disiplin, malas, sering bolos kerja, apalagi maling dan koruptor. Poligami saja yang dihalalkan dalam Islam ditentangnya, apalagi perselingkuhan dan melonte. Soal makanan haram juga seperti itu, dia memang perokok, tetapi anti alcohol dan narkoba, apalagi daging babi.

Badar mendarat di bandara kota tujuan tepat pukul 14.00 waktu setempat. Setengah jam kemudian dia sudah check in di sebuah hotel melati di kota tersebut. Meskipun uang saku dan akomodasinya cukup untuk menginap di hotel berbintang, tapi seperti kebanyakan pegawai Indonesia yang gajinya relatif kecil demi alasan “ngirit” dia pilih hotel yang murah.

Sebenarnya dia bisa saja menggunakan fungsi jabatannya untuk meminta fasilitas akomodasi kepada kepala kantor yang akan diinspesksi. Tetapi ya itu tadi, Badar orangnya idealis dia pantang menyelewengkan jabatan, itu sebabnya dia tidak memberi tahukan kedatangannya. Dia ingin melakukan inspeksi secara kejutan.

Sekitar sejam setelah rebahan, Badar merasa lapar karena hidangan yang diterimanya di pesawat dirasakannya tidak cukup mengganjal perutnya yang biasa nambah jika makan. Dia lalu memtuskan untuk cari makan ke luar, sekalian lihat-lihat suasana kota yang baru pertama dikunjunginya itu.

Badar merasa lapar
Belum terlalu jauh dia berjalan tiba-tiba dia menemukan sebuah restoran yang menurut dia tergolong sederhana yang pada papan namanya tertulis “RESTORAN PADANG…”.

“Pucuk dicinta ulam pun tiba” begitu pikir Badar dengan suka cita. “Ternyata untuk menemukan restoran halal tidak sesulit yang diceritakan Pak Anto (seniornya)” katanya dalam hati.

“Selamat sore Pak, mau pesan apa?” sapa pelayan restoran dengan ramah pada Badar.
“Rendang anda?” tanya Badar. “Oh, ada Pak, ada..” jawab pelayan.

Badar pun makan dengan lahapnya. Selesai menyantap hampir dua porsi nasi rendang (ingat badar selalu nambah bila makan), Badar pun memesan kopi susu sebagai hidangan pnutup yang akan dinikmatinya bersama sedikitnya 3 batang rokok.

Saat menunggu kopi susu itu, Badar terkesan dengan lezatnya santapan yang baru saja dihabiskannya tadi. “Baru kali ini seumur hidup ku merasakan rendang yang luar bisa lezatnya” puji Badar pada rendang yang sudah di dalam perutnya itu.

Badar Kaget
Saat pelayan menghidangkan kopi susu, si pelayan ditanya oleh Badar. “Rendang tadi itu daging sapi dari mana ya Mas, apa daging sapi impor dari Australia?” tanya Badar.

“Kenapa pak, apa ada yang salah?” tanya pelayan.

“Bukan begitu Mas, rasanya luar biasa lezatanya jika dibandingkan dengan rendang yang biasa saya jumpai di berbagai restoran di Indonesia ini” kata Badar.

“Oh, syukurlah kalo anda puas, itu kehomata bagi kami” kata pelayan. “Itu tadi bukan daging sapi Pak, sapi terlalu mahal buat orang sini, tapi daging babi” kata pelayan tadi menjelaskan.

“Haah.. bab..!” Badar kaget. Saking kagetnya saat mulutnya menyebut ‘bab’ itu tusuk gigi yang sedang dimain-mainkannya dengan bibir seketika melesat bak anak panah keluar dari mulutnya.

Tetapi, Badar langsung bisa mengendalikan dirinya dia tidak mau membuat gaduh dengan protes.
“Lho,bukannya ini restoran Padang” tanya Badar heran, kok restoran Padang menyediakan rendang daging babi.

“Betul Bapak, restoran ini namanya RESTORAN PADANG DATAR, di ambil dari nama kampung pemilik restoran ini, yaitu Kampung Padang Datar” kata pelayan menjelaskan.

“Jadi bukan restoran Padang yang dimiliki orang Minang?” tanya Badar.

“Bukan, Bapak. Restoran Padang yang Bapak maksudkan itu di kota ini hanya ada 4 buah. Yang terdekat dari sini harus ditempuh dengan dua kali naik angkot” kata pelayan sambil menunjukkan arahnya.

Sadarlah Badar bahwa dia tidak teliti membaca nama RESTORAN PADANG DATAR akibat sudah terlalu lapar. Ada rasa menyesal dalam hati Badar karena telah mengkonsumsi makanan yang diharamkan agamanya.

“Ahh, gak perlu kupikirkan lagi yang sudah terjadi” bisik hati Badar menenangkan diri. Dia ingat ceramah Ustad Sodik pada satu acara pengajian, bahwa memakan barang haram yang (terlanjur) tidak diketahui sebelumnya atau untuk tujuan penyelamatan nyawa bukanlah suatu dosa.

Namun demikian, Badar tetap terpikir tentang restoran halal yang terlalu jauh dari tempatnya menginap dan belum tentu dapat ditemukan dengan mudah. Tapi di sisi lain dia tidak dapat memungkiri kelezatan rendang tadi sebagai masakan terlezat (khsusnya untuk jenis rendang daging) yang pernah dia rasakan.

Sehingga…
“Mas Pelayan, tolong bungkuskan dua porsi nasi rendang seperti tadi ya, jangan lupa lalapnya” pesan Badar pada Pelayan untuk persiapan makan malamnya di kamar hotel.

2 Juli 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun