Dari sekian banyak yang pernah saya mainkan, seingat saya hanya ada tiga game yang ”merasuk secara sempurna” dalam benak ataupun pikiran saya. Saya sebut dengan merasuk karena begitu dalam membekas sehingga, pernah selama berhari-hari, selalu terbayang-bayang setiap saat dalam pikiran. Ketiga game tersebut adalah Tetris, Transport Tycoon, dan Football Manager.
Tatkala booming Tetris pada awal 90-an, bahkan ketika berdiri dalam salat pun, saya melihat bayangan balok-balok dalam berbagai bentuk itu seolah-olah berjatuhan di depan mata! Lalu, saat saya sedang keranjingan memainkan Transport Tycoon, yang menjadi rutinitas menjelang tidur adalah memutar otak memikirkan strategi bagaimana agar puluhan rangkaian kereta api yang saya miliki dapat beroperasi dengan lancar jaya.
Kemudian, datanglah salah satu game strategi yang paling populer di jagat raya ini (semoga tak seorang pun alien yang membantahnya).
* * *
Pada tahun 1999, saya berkenalan dengan Championship Manager, sebuah game tentang bagaimana rumitnya menjadi manajer klub sepakbola, yang menjadi cikal-bakal game Football Manager. Saya jatuh cinta pada ”klik” pertama dan menghabiskan malam itu dengan memainkannya.
Saat itu saya memilih UC Sampdoria sebagai klub tempat saya memulai ”karir” di belantara sepakbola Eropa. Saya bertugas menyiapkan tim agar siap bertanding dalam setiap ajang yang diikuti. Saya diberi target oleh dewan direksi, digelontor dana untuk membeli pemain dan membayar gaji mereka, namun juga terancam dipecat sewaktu-waktu jika performa tim tak bagus.
Sebagai seorang amatiran, saya menjalankan tugas saya di klub Serie A itu dengan ugal-ugalan. Saya membeli seorang pemain asal Indonesia dan rupanya hal itu tidak banyak membantu klub baik secara prestasi maupun kualitas permainan. Singkat cerita, saya mundur dari jabatan manajer sebelum diamuk oleh separo penduduk Genoa.
Tertular kelakuan beberapa oknum politisi, maka saya pun tanpa malu-malu berubah dari manajer pecundang menjadi manajer kutu loncat. Saya ”pulang” ke Indonesia untuk ”menangani” PSIS Semarang. Dengan kecurangan yang luar biasa jahatnya, saya berhasil membawa bond Kota Lunpia itu menjuarai liga domestik sekaligus kompetisi di Asia dalam setiap musimnya. Bahkan saking bosannya melihat Mahesa Jenar FC jadi pemenang tiap tahun, AFC akhirnya mengusir kami dari Asia dan menyarankan kami agar berkompetisi di Eropa saja. Untuk yang kedua kalinya kembali saya meletakkan jabatan saya, yang bergelimang kejayaan.
Tapi ada yang lucu, unik, dan cukup mengherankan saya ketika ”kembali” ke benua biru. Menangani Cardiff City yang pada tahun 2005 bukanlah siapa-siapa, dua musim berikutnya saya membawa klub Wales tersebut menjadi raja baru di Eropa, menyapu bersih setiap kompetisi dan turnamen, tentu saja tetap penuh dengan keculasan. Eh, siapa sangka, di alam nyata, Cardiff City benar-benar menjelma menjadi tim kuat di level dua Liga Inggris dan bahkan beberapa kali lolos ke final di Wembley!
* * *
Bicara tentang kecurangan dalam Championship Manager dan Football Manager, ketahuilah bahwa tanpa mengadakan survei pun, saya berani memastikan bahwa hampir setiap orang yang memainkan game tersebut pasti pernah melakukannya. Bentuknya antara lain dengan mengulang-ulang pertandingan jika tim yang dimanajerinya kalah atau seri, merampok tim kaya seperti Chelsea dan Real Madrid untuk mendapatkan dana segar dalam jumlah sangat banyak, membajak pemain-pemain bagus, dan ngerjain tim-tim yang dibencinya.
Saya pernah mengulang sebuah partai Liga Champions Asia mungkin lebih dari 30 kali, menjual pemain cadangan saya ke Chelsea seharga 100 juta pounds, membujuk Cristiano Ronaldo agar bersedia pindah, dan memasang Wayne Rooney sebagai kiper agar Manchester Merah kalah 11 gol tanpa balas ketika saya berkantor di Old Trafford.
Berkat keahlian saya dalam mencurangi permainan, maka dengan prestasi saya ketika menangani beberapa klub di Eropa, saya telah menjelma jadi sosok manajer yang kecerdasannya 100 kali lipat dari gabungan Pep Guardiola dan Jose Mourinho. Fergie van Manchester hanyalah setitik debu. Saya menjadi ”tuhan” dalam permainan ini. Ya, saya menipu diri saya sendiri, namun saya sungguh menikmatinya.
Oh ya, sebelum lupa, saya hanya ingin mengatakan bahwa tulisan ini khusus saya persembahkan kepada siapapun, sekali lagi, siapapun, yang mengaku mencintai sepakbola Indonesia, namun pada hakikatnya ia atau mereka telah menipu diri sendiri, karena yang dilakukannya sejatinya malah menjerumuskan sepakbola Indonesia ke dalam jurang kehancuran.