Setelah terduduk sebentar, Hio berjalan gontai menuju kamar mandi sambil memperhatikan suasana rumahnya. Neneknya yang baru saja sembuh dari penyakit di kakinya ternyata sudah kelihatan berjemur kembali di halaman rumah, sementara suara bising alat memasak tadi ternyata ibu yang sedang sibuk berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan untuk seluruh penghuni rumah.
Setelah Hio mencuci wajahnya sampai jadi benar-benar segar, langkah kakinya kemudian menuntunnya pergi ke dapur untuk membantu ibu melakukan apapun semampunya agar pekerjaan ibu terasa lebih mudah. Setidaknya begitu pikir Hio. Namun, sesampainya di dapur Hio malah hanya diam saja karena ibu belum meminta bantuan atau memberinya perintah. Sebelum Hio hendak beranjak kembali ke kamar, suara lembut Ibu buatnya berhenti seketika sambil menoleh ke arah Ibu.
"Anak perempuan itu semakin bagus kalau bangun lebih pagi lagi. Sudah sana tolong sapu rumah ya, Hio."
Hio kira ia akan dimarahi karena tidak melakukan apa apa, ternyata dugaannya salah. Walau hubungan komunikasi antara ibu dan Hio tidak sedekat itu, Hio juga pernah sesekali berharap ibu mau memarahinya karena melakukan kesalahan yang menunjukkan kalau Ibu benar-benar peduli padanya. Sebaliknya, kalau Hio melakukan kesalahan, Ibu biasanya hanya memberinya nasihat nasihat baik bahkan terkadang hanya diam saja tanpa terdengar nada marah di setiap kalimatnya.
Sapu sudah dipegang Hio di tangan kanannya. Dengan cekatan, ia mulai membesihkan tiap sudut ruangan yang ada. Setelah selesai dengan kegiatan menyapunya, Hio kembali ke kamar tidurnya, membuka ponselnya untuk melihat berbagai rentetan pesan yang masuk.
Kemudian sebuah suara tak asing terdengar di telinga Hio "Lihat anak perempuanmu itu. Masih pagi sudah membuka gadget. Bukannya membantu ibunya yang sibuk." Nenek berkata tiba-tiba buat Hio merasa tidak nyaman. Di pagi hari yang cerah seharusnya diisi dengan penuh senyum. Namun karna satu kalimat itu, rasanya hari Hio hari ini tidak akan berjalan lancar.
Hio pura pura tak mendengar apa yang ia dengar barusan. Jarinya tetap menelusuri berita yang ada di ponselnya. Dalam hati tetap merasa was-was karena rasanya ia akan disindir terus menerus. Detik itu Hio tak sadar waktu habis berlalu sampai satu jam ia hanya bolak balik membuka aplikasi pesan di ponselnya.
Ketika ia tersadar waktu sudah berlalu, ternyata ibunya sedang pergi untuk membeli sesuatu. Suasana rumah sangat tenang dan sepi karna hanya ada Nenek dan Adik.
"Hio, tolong ambilkan air panas di dapur lalu masukkan ke ember di kamar mandi." Sedari pagi tadi, Â Hio sudah mulai malas menanggapi perkataan Nenek. Jadi ketika Nenek meminta bantuan, Hio hanya bermalas malasan sambil menggumam kesal namun tetap berjalan ke dapur untuk mengambil air panas tersebut lalu memasukkannya ke dalam ember. Sepanjang ia berjalan dari dapur ke kamar mandi, Suara Nenek yang menasihati Hio tentang kegiatan yang ia lakukan sedari tadi terdengar semakin membuat Hio semakin naik pitam.
Semuanya tiba tiba menjadi runyam ditambah suara bentakan terdengar dari dalam rumah ketika Hio tak sengaja tersandung sehingga menimbulkan suara panci jatuh ke lantai. Untung saja air panas yang ia bawa sudah ia tumpahkan ke dalam ember.
"Astaghfirullah. Hio, kalau kamu nggak mau diminta tolong lebih baik kamu menolak daripada terpaksa sambil marah-marah." Hio tahu neneknya punya sedikit masalah dengan amarahnya. Jadi diteriaki seperti ini baginya tidak membuat terkejut.
"Ya maaf, aku juga nggak tahu kalau bakal tersandung. Itu juga nggak sengaja" balas Hio sambil segera kembali masuk ke ruang tamu.
"Kamu ini bisanya apa? Di rumah juga nggak berguna. Daritadi hanya diam saja. Coba liat adikmu itu disana. Yang seperti dia baru akan sukses. Di sekolahnya juara satu. Suka bantu-bantu." Suara Nenek semakin meninggi seiring dengan melayangnya tongkat bantu jalan miliknya ke tubuh Hio beberapa kali. Hio hanya diam saja karena yang seperti ini sudah pernah terjadi beberapa kali di masa lalu jadi kalau sakit juga sudah tidak terasa. Yang sakit malah perkataan yang sedari tadi dilontarkan Nenek kepada Hio
"Kamu itu nggak bakal sukses kalau apa-apa nggak bisa. Sudah tidak bisa apa-apa, tidak cantik pula. Mau jadi apa kamu?"
Entah mengapa hari ini Nenek jadi lebih mudah naik pitam. Hio cuma diam membisu karena kalau ia bicara juga tidak akan merubah apa-apa.
"Nilai saja pas-pas an. Masih tidak mau belajar. Â Kamu itu nggak lebih baik dari adikmu. Sadar diri."
Tangannya mengepal, Hio mati-matian menahan air matanya agar tidak menangis di hadapan Nenek. Daripada mengeluarkan amarahnya, Hio memilih berlari ke dalam kamarnya. Ia tutup rapat-rapat pintu kamar agar isaknya tidak terdengar sampai keluar. Hari itu rasanya Hio hancur. Dimarahi seperti ini bukan hal baru baginya, tapi yang barusan benar-benar seperti menginjak nginjak hatinya.
Dari luar, sayup-sayup masih terdengar suara omelan Nenek tak henti hentinya.
Tak berapa lama, Ibu pun pulang ke rumah. Hio bisa dengar sedikit kalau Ibu sedang berbicara sambil berbisik bisik kepada adik Hio. Agaknya adik menceritakan kejadian yang terjadi sebelumnya kepada ibu.
Suara knop pintu dibuka buat Hio waspada. Ternyata itu ibu datang dengan membawa minuman rasa cokelat dalam botol. "Kak, kalau Nenek seperti begitu tadi, udah. Nggak apa. Jangan banyak dipikirkan, Nenek mu itu kan baru sembuh, kamu tahu sendiri. Ibu juga terkadang nggak nyaman tapi mau bagaimana lagi. Sudah, cukup dengar saja. Kamu jangan melawan balik, ya?."
Hio tak terbiasa berbicara dari hati ke hati bahkan sampai menangis di depan kedua orang tuanya. Jadi ia hanya mengangguk sambil menarik napas dalam-dalam, membenamkan diri dibalik bantalnya.
Hari itu berlalu tanpa Hio sadari. Setelah perselisihan itu, Hio melakukan kegiatan sehari harinya tanpa bertegur sapa dengan orang lain, terutama Neneknya. Apa yang Neneknya katakan benar-benar membuatnya berpikir satu juta kali, apakah ia benar benar tidak berguna? Apakah ia benar-benar seburuk itu? Hari demi hari berlalu hingga satu tahun setengahnya Hio tak berbicara lagi dengan Neneknya.
Selama waktu itu, Hio juga sering merasa kalau apa yang terjadi ini salah. Hio juga merasa bersalah namun canggung untuk membuka obrolan, begitu juga Neneknya. Hingga tiba waktu idul fitri, ketika ada kesempatan untuk meminta maaf akhirnya Hio pertama kali meminta maaf kepada Neneknya.Â