Dikutip dari pengantar buku, Mochtar Lubis menurut cerita pernah mengatakan, bahwa ia menulis jurnalistik karena itu adalah kewajiban, sedangkan saat menulis karya sastra ia melakukannya karena memang atas dasar kecintaan. Sayang kita tak bisa melacak, untuk sekedar tahu, karya-karya jurnalistiknya yang dibukukan. Kebanyakan yang kita tahu adalah karya sastra.
Perang Korea sendiri, seperti kita tahu, adalah salah satu bagian pentas perang dingin. Indonesia sebenarnya netral, dan pada waktu buku ini ditulis (1950), bahkan kemerdekaan Indonesia baru seumur jagung. Indonesia sama sekali belum bergabung dengan PBB.
Yah, kita tahu, Belanda baru mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949 M. Seperti rasanya memang 17 Agustus 1945 M bangsa kita melakukan proklamasi kemerdekaan, tapi kita seolah-olah baru benar-benar merdeka pada akhir tahun 1949 M.
Mochtar Lubis mendapatkan izin meliput perang Korea langsung dari markas besar jenderal MacArthur. Dikisahkan pula pengalaman menuju Korea, juga saat transit di Tokyo, sembari melengkapi berkas di markas besar jenderal MacArthur tersebut, yang lokasinya tak jauh dari istana kaisar Hirohito.
Menarik ketika banyak detil dikisahkan, mungkin sebagai selingan, seperti bagaimana orang Korea dulu bisa menanam sayuran dengan pupuk kotoran manusia. Yang konon menurut kepercayaan mereka merupakan pupuk terbaik. Bahkan sampai ada pasar yang memperjualbelikannya.
Orang asing katanya sampai tak berani makan sayur dan buah-buahan Korea. Geli mungkin, membayangkan semua hasil bumi itu pernah disiram dengan "pestisida alami".
Atau bagaimana suasana pendudukan Amerika di Jepang, saat akhirnya para wanita Jepang kebanyakan tidak lagi memakai kimononya.
Dalam bukunya, Mochtar Lubis mengatakan, kalau menurutnya justru perhatian pada tragedi perang Korea lebih banyak dicurahkan kepada jalannya peperangan. Sedikit yang mengangkat sisi kehidupan masyarakat Korea itu sendiri, mereka yang terdampak bencana kemanusiaan itu.
Surat kabar pada waktu itu lebih sering memberitakan bagaimana kemajuan tentara Amerika. Alih-alih bagaimana penderitaan warga Korea, harapan, juga perasaan mereka. "Rakyat ini tidak pernah ditanya. Mereka tidak tahu untuk apa ini semua." Tulis Mochtar Lubis.
Orang Korea Selatan begitu takut pada orang Korea Utara, yang menembaki mereka. Tapi mereka juga takut pada tentara Amerika yang ikut membakar desa-desa mereka, demi alasan strategi.
Dan menjadi pewarta dalam kecamuk peperangan tentu penuh risiko. Meski sudah memakai tanda khusus agar mudah dikenali sebagai wartawan, tapi artileri atau bom dari serangan udara tak akan pilih-pilih korban. Siapa saja bisa terkena pecahan mortir atau peluru nyasar jika nekat sampai ke garis depan.