Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sebuah Cerpen tentang Seorang Kawan

28 Oktober 2020   14:04 Diperbarui: 28 Oktober 2020   14:12 242 8
(Setelah lama tak bikin cerita pendek yang sangat pendek)

***

Jadi saya tak ingat tanggal berapa saya terakhir kali bertemu dengannya. Namun saya ingat kapan terakhir kali dia mampir berkunjung ke rumah saya. Oleh-oleh makanan manis yang dia bawa itu seperti masih terasa manisnya.

Sudah malam waktu itu, dan apakah saya mengantuk? Saya bahkan tak ingat apa yang dibicarakan. Banyak hal yang terjadi seperti baru kemarin saja, ternyata sudah dua tahun lebih tidak ketemu. Rumah saya mungkin sudah cocok disebut gua, dimana orang menjelma pertapa hingga lupa waktu. Lupa keluar rumah.

Dan meskipun jarang sekali bertemu, masih teringat jelas siapa-siapa saja dulu, dengan kisah lucu mereka yang pernah menemani waktu walaupun sebentar. Apalah yang paling bisa diingat jika bukan euforia dan tawa juga canda? Jika dia pernah menjelaskan kepada saya tentang suatu hal yang berbau ilmiah, saya mungkin sudah lupa. Atau saya yang menjawab pertanyaan konyol, saya juga sedikit lupa. Lalu apa cerita hari ini?

Semua kawan memiliki keunikan masing-masing yang mampu menjadi pengingat lupa. Si A mungkin diingat karena selalu terlambat hadir sekolah. Si B mungkin diingat sebab selalu dihukum berdiri di kelas. Si C mungkin diingat karena jika dia bercerita, maka kisahnya akan bikin orang satu benua terpingkal-pingkal. Sementara dia, saya ingat mungkin karena keluguannya, dan kalau mandi dia cepat sekali dulu. Oh iya, tentu saja dia jagoan makan di komunitas kami. Tak ada porsi yang berlebihan, sebab satu nampan raksasa bisa dihabiskan.

Rasanya baru kemarin saja, bersalaman dan berkenalan. Saya sudah salah persepsi, dibalik tubuhnya yang gempal nan tinggi besar, dia menyembunyikan usia super belia. Rasanya mungkin jadi seperti tersaingi bila ada yang ternyata lebih muda dari saya. Tapi tentunya kita tak bicara siapa yang lebih tampan...

Rasanya baru kemarin saja saat saya mencoba tidur dan ada tubuh besar kekar yang mendadak mengacaukan segalanya. Tempat sebesar lapangan jadi sempit rasanya, bukan karena ada pembangunan. Tapi ada pemain baru yang masuk. Namun meskipun begitu, dialah yang sedikit banyak menjadikan tanah tak bertuan jadi ramai. Mengingat tawanya, walaupun aslinya sedikit garing.

Sudah hampir sepuluh tahun, dan jam dinding masih seperti dulu. Jangan-jangan ini masih seminggu yang lalu? Tapi kenyataan selalu menyadarkan kita bahwa takdir tentang masa depan mana yang bisa kita tebak? Misalnya tentang pertanyaan siapakah yang akan menikah lebih dulu...

Jika saya tahu dia yang lebih dulu punya cucu, mungkin dulu waktu masih sering bertemu saya akan menjabat tangannya lebih keras. Jabatan tangan itu tak akan saya lepas sebelum pertanyaan saya terjawab olehnya, saya dengar dari mulutnya; apakah tipsnya? Bagaimana kamu bisa melakukannya?

Saya hampir tak percaya waktu mendengar kabar gembira itu. Secepat itukah? Sayangnya saya tak sempat mengucapkan selamat secara langsung. Bukan sebab korona, karena virus itu mungkin berkeliaran di jalan dan banyak orang telah menginjaknya mereka. Manusia tak hanya pakai desinfektan, tapi mereka menyerukan perlawanan dengan sepatu. Apaan sih?

Jika saya bisa membungkus sebuah hadiah, mungkin saya akan bikinkan sambal teri dan ayam goreng saja. Dia pasti sudah punya banyak bantal dan selimut. Saya juga tak ingat apa yang dia sukai, tapi saya pernah makan bersama dengan menu itu pada zaman dahulu kala...

Di sebuah momen yang tak pas, mungkin kita bisa bernostalgia. Atau setidaknya jika saya jadi tamu maka istrinya yang akan memasak untuk saya. Hitung-hitung mencicipi menu hariannya. Kalau saya bisa menebak, sebab saya masih terhitung masak-masak sendiri dan beli sayur-beli sayur sendiri. Jadi tak akan ada kejutan dalam menu makanan, kecuali bila saya pergi ke warteg.

Dan mungkin kebahagiaan itu akan makin lengkap, saat tiba-tiba saya dengar kabar lagi kalau dia sudah punya momongan. Berarti waktu sudah kian berlalu. Mungkin saya ingin memegang pipi bayi itu suatu saat. Sambil menebak, apakah dia mirip ayahnya? Ataukah mirip ibunya? Apakah dia akan tumbuh jadi humoris seperti kakeknya? Siapa tahu...

Yah... Kenapa cerita pendek ini tidak jadi cerpen yang pendek sekali? Saya juga tidak yakin apakah tulisan ini dibaca semua. Pokoknya asalkan kamu bahagia...

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun