Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Vandalisme, Penyakit Kambuhan Saat Demonstrasi

9 Oktober 2020   13:24 Diperbarui: 9 Oktober 2020   13:33 84 8


Berita televisi akhir-akhir ini lalu lalang tentang kabar demo besar-besaran di berbagai tempat di sudut-sudut negeri. Ribuan, atau entah puluhan ribu, entah pula ratusan ribu orang sangat kompak menyuarakan aspirasi dengan nada yang sama; tolak undang-undang cipta kerja.

Saya tak tahu apakah pemerintah telah memprediksi reaksi masyarakat yang luar biasa ini sebelum pengesahan Omnibus Law dulu. Tapi katanya, demo kali ini lebih besar massanya daripada undang-undang yang sebelum-sebelumnya. Seolah-olah orang tak peduli lagi tentang himbauan akan bahaya penularan virus covid-19. Padahal situasi pandemi tak akan libur hanya karena ada demonstrasi.

Tapi bukankah pengesahan undang-undang apapun biasanya juga selalu begini? Ada saja pihak yang merasa dirugikan, meskipun mungkin itu adalah undang-undang pornografi yang jelas-jelas secara kasat mata sangat sesuai dengan budaya ketimuran Indonesia. Biasanya akan selalu ada saja yang menyuarakan aspirasinya, menolak undang-undang yang baru disahkan. Tinggal intensitasnya yang seberapa, ramai atau tidak.

Pihak yang mendukung juga pasti ada. Jika kali ini para buruh katanya menolak (mahasiswa tidak saya hitung, sebab biasanya mereka yang sudah-sudah juga hampir selalu menolak pengesahan undang-undang apapun, ups, maaf bercanda...), maka pihak pengusaha kali ini yang akan mendukung undang-undangnya.

Sampai muncul guyonan di media sosial, "kalau kamu buruh dan tak suka dengan Omnibus Law, makanya jadilah pengusaha. Otomatis kamu tak perlu dirugikan tanpa harus demo lebih dulu." Candaan yang sebenarnya bermakna dalam bagi saya, diperuntukkan bagi para mentalitas pekerja yang malas berinovasi dan bikin usaha sendiri. Maunya ikut orang lain, dan digaji tinggi.

Saya juga bukan orang yang menolak adanya suara rakyat. Tidak pula mendukung. Sesungguhnya saya tak tahu apa yang mereka perjuangkan. Perihal Omnibus Law saya tak mengerti sama sekali. Apa kegunaannya, apa kerugiannya. Saya juga tak tertarik mempelajarinya.

Tapi yang jelas satu hal yang menjadi ketidaksetujuan saya adalah ingatan yang seperti dejavu. Dimana demonstrasi biasanya berujung aksi vandalisme dan anarkisme. Apa salah gedung dewan perwakilan? Apa salah bunga-bunga di trotoar? Apakah sebenarnya salah fasilitas umum? Mereka itu benda mati yang tak tahu menahu soal Omnibus Law, bahkan sekali-kali terlibat dalam perumusannya juga tidak. Tapi selalu mereka yang jadi korban.

Saya miris dengan berita pagi di televisi, dimana banyak halte bus Transjakarta rusak parah sebagai imbas dari aksi kekesalan warga. Perusahaan busway jadi harus menanggung kerugian hingga puluhan milyar, katanya.

Tentunya harus pintar dan selalu berkepala dingin. Mengatur emosi, saat menyuarakan aspirasi. Apalah untungnya aksi perusakan fasilitas umum? Tak akan menyelesaikan masalah sama sekali. Justru menciptakan kegaduhan baru.

Seperti halnya aparat polisi juga yang tak seharusnya memukul para demonstran. Semua pihak harus kooperatif. Lalu ada kemauan agar demo bisa berjalan tertib. Sebab emosi jika kian dituruti tak ada habisnya. Kita tak mau sampai penjarahan, perusakan, bahkan pelecehan seperti saat krisis reformasi sebelum pergantian millenium kembali terulang. Jika semua pihak tak berkenan menahan diri, takutnya hal semacam itu akan terjadi.

Tentunya kecewa itu boleh, sangat manusiawi. Tapi orang dewasa memiliki caranya sendiri untuk menyelesaikan masalah. Emosi biasanya tidak akan mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Apalagi dengan merusak properti.

Bila anda marah, dan membanting semua piring di rumah anda, itu sah-sah saja. Karena itu milik anda, ibarat kata anda tak punya piring sekalipun masyarakat tak akan rugi.

Tapi jika anda marah, dan mulai membanting piring-piring milik tetangga, tentu ini jadi masalah. Satu keluarga yang tak tahu apapun akan dirugikan. Terlebih jika anda marah, lalu mengebom jembatan desa (agak berlebihan ya?), anda hancurkan fasilitas umum seperti tiang listrik berikut kabel-kabelnya, maka semua orang yang tak tahu apapun, akan turut merasakan imbasnya. Desa akhirnya jadi gelap gulita. Apakah vandalisme saat demonstrasi tidak lebih mirip seperti cerita horor itu?

Jika anda peserta demo, dan mulai kecewa, lalu mulai marah, kemudian ingin sekali merusak sesuatu, sebaiknya anda segera pulang. Rusaklah barang di rumah anda sendiri. Jangan fasilitas umum!

***

Sekian...


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun