Salah satu figur paling menarik dalam episode perang dunia kedua mungkin adalah marsekal Erwin Rommel. Rommel sang Dessert Fox. Atau bahasa Jermannya Wstenfuchs (rubah gurun). Rommel si rubah gurun yang licin. Pribadi yang katanya suka menyendiri. Jenderal yang memimpin melalui intuisi. Tidak ragu mengambil risiko, meskipun agresif. Pahlawan yang dipuja, karena selalu tampil meraih kemenangan dengan kekuatannya yang lebih inferior. Entah karena memang cerdik, atau merupakan tokoh yang bersahaja dan mudah bergaul, dia disukai oleh para anak buahnya.
Dia ini gak segan untuk membantu mendorong sebuah mobil yang mogok di tengah medan perang. Padahal perwira lain agak menghindari hal begituan karena mungkin menjaga reputasi. Singkatnya Rommel begitu mudah bergaul.
Saya gak ingin membahas karir militernya. Atau bahkan fitnah keterlibatannya dalam plot 20 Juli. Itu terlalu "menyakitkan" untuk diceritakan. Rasanya bagi saya tak sebanding dengan sikap ksatria, jasa, dan nama besarnya. Kisah karir militernya sejak di palagan Polandia, atau saat mulai memimpin divisi panser ke V dalam Fall-Gelb sudah sangat terkenal. Banyak dikisahkan. Tapi saya coba menulis beberapa hal yang mungkin tak banyak orang tahu. Ini hanya beberapa. Masih banyak untold story tentang Rommel. Silahkan jika ingin menambahkan.
Rommel begitu menjujung tinggi nilai-nilai kstaria dalam peperangan. Dia ingin pertempuran yang adil dan fair. Jauh sekali dari kesan yang kita dapatkan, ketika membaca kisah pasukan khusus Waffen-SS. Konon setelah perang usai, Rommel ingin alih profesi sebagai insinyur hidrolik. Yang membangun pembangkit listrik tenaga air di seluruh Eropa. Ini mirip dengan Eisenhower. Setelah perang usai, Eisenhower juga punya program membangun negeri yang luar biasa. Setelah Eisenhower jadi presiden. Sayangnya nasib Rommel lebih malang. Dia dipaksa bunuh diri sebelum perang berakhir.
Salah satu watak Rommel mungkin adalah pribadi yang tidak sabaran. Tapi penuh perhitungan tentunya. Tidak seperti kawan seperjuangannya, Heinz Guderian. Yang karena wataknya yang suka buru-buru, meskipun jenius dan berpikir maju, tapi dipandang tidak cocok memimpin sebuah divisi besar. Guderian lebih cocok sebagai penyusun strategi. Sementara yang lain sebagai eksekutor di lapangan. Entahlah... Bagaimana menurut anda?
Sejarawan Martin Blumenson menulis tentang Rommel, "la menuntut banyak dari anak buahnya, tetapi ia juga menuntut banyak dari dirinya sendiri, Ia pekerja keras, pejuang keras, hidup sederhana, mudah bercakap-cakap dengan anak buah, dan mengabdikan diri pada istri dan anak lakinya."
Itu tercermin saat Rommel menerima perintah tidak masuk akal dari Berlin. Pengalaman militer mengharuskan dirinya dan pasukannya mundur, tapi atasannya melarang. Dia akhirnya tunduk. Mungkin menyadari karma karena dia juga sering menuntut anak buahnya dengan keras. Saat dia dituntut atasannya, walaupun dengan perintah tak logis, dia tetap menurut.
Saya ingat kisah yang dikutip PK. Ojong. Dalam sebuah ofensif, Rommel melihat ada sebuah kompi yang berhenti tanpa sebuah alasan yang nyata. Mengetahui hal itu, Rommel mengirim pesan dari pesawat, "kalau kau tidak segera meneruskan serangan, saya akan mendarat." Itu menunjukkan sisi pribadinya yang "menuntut banyak" pada anak buahnya.
Theodor Werner, salah satu kepala peleton di bawah Rommel, mengenang, "Waktu pertama kali saya melihatnya (pada 1915), dia tidak
tinggi, tampak seperti anak sekolah, dan bersemangat tinggi. Selalu ingin dan tidak sabar untuk melakukan sesuatu. Sejak semula, jiwa itu merembes pada seluruh resimen dalam berbagai cara yang kadang-kadang aneh, hampir tidak dimengerti bagi kebanyakan orang. Tetapi kemudian semakin besar, sampai akhirnya semua orang terinspirasi semangat yang timbul dari inisiatifnya, keberaniannya, dari perilaku terdidiknya yang mengagumkan anak buahnya, kepercayaan mereka kepadanya tidak kenal batas".
Kalau saya katakan, Rommel menginspirasi pasukannya dengan perilaku.
Setahu saya Rommel merupakan jenderal termuda di seluruh Werchmart yang naik pangkat menjadi jenderal bintang lima, Generalfieldmarschall pada 22 Juni 1942 M. Pangkat yang katanya secara resmi gak ada pensiunnya. Usia Rommel waktu itu baru sekitar 50 tahun. Atas jasanya di pertempuran Gazala di Tobruk di kancah Perang Afrika. Pertempuran itu membuat Inggris terusir dari Libya. Itu adalah salah satu prestasi luar biasa Rommel. Itu makin membuat Inggris ketar-ketir. Karena seolah kejatuhan Mesir sudah diambang mata. Dan impian Hitler agar dua pasukan Eropa dan Afrika bisa bertemu di wilayah Kaukasus bisa segera jadi nyata.
Adolf Hitler sendiri katanya baru "sempat" menghadiahkan Feldmarschallstab (tongkat komando Marsekal) kepada Erwin Rommel, bersama dengan Interimstabnya (tongkat inspeksi), pada tanggal 1 Oktober 1942 - versi lain menyebutkan tanggal 30 September 1942 - di Reichskanzlei, Berlin.
Banyak yang mencoba mengenang historia sejarah dalam kisah antara Rommel dan Bernard Law Montgomery. Dua orang itu kisahnya sangat menarik di padang tandus Afrika.
Tapi Rommel yang berbakat sebagai pemimpin ini tak hanya menghadapi jenderal Monty. Dia juga bertanggung jawab atas Atlantic Wall. Bersama Rundsteds, dia berhadapan juga dengan jenderal Ike. Jenderal Eisenhower.
Melihat kisah Eisenhower dan Rommel ada banyak kesamaan di masa lalu. Usia mereka hanya beda satu tahun. Dididik di lingkungan yang keras oleh ayah mereka. Sama-sama hobi olahraga. Saat jadi kadet di sekolah militer sama-sama tidak menonjol, tapi punya dua hal unik yang sama dalam penilaian sejarawan Stephen E. Amborse. Yaitu mereka berdua suka melanggar. Dengan pelanggaran yang berbeda. Kalau Eisenhower merokok, maka Rommel memakai kacamata satu lensa. Keduanya juga sama-sama nampak gagah ketika mengenakan seragam mereka. Dan juga sama-sama pandai merebut hati perempuan yang jadi primadona. Lucu juga.
Katanya selain sebagai komandan perang, di waktu senggangnya Rommel juga mempunyau hobi fotografi. Anda percaya itu?
Tapi seingat saya, Eisenhower tidak terjun langsung ke medan perang seperti Rommel yang memimpin di garda depan, pada awal-awal sebelum perang dunia kedua pecah. Eisenhower di awal-awal banyak belajar dari teori. Sedangkan Rommel sudah dapat pengalaman terjun ke lapangan. Tapi keduanya sama-sama dapat respect dari atasan. Tahun 1934, kedua atasan mereka memuji mereka. Rommel dianggap punya kemampuan diatas rata-rata saat itu. Sementara Eisenhower, menurut jenderal Douglas MacArthur yang saat itu merupakan atasannya, menilai sebagai "perwira angkatan darat terbaik".
Keduanya baru bertemu di Medan Afrika pada 1943 M. Catat pertempuran itu, Kasserine Pass. Rommel yang sudah sering terjun ke medan tempur, menghadapi Eisenhower dan tentaranya yang hanya pernah tahu bentuk peperangan dari teori di buku-buku, dan latihan di akademi militer. Awalnya Eisenhower karena belum pernah mengalami pengalaman langsung sering membuat kesalahan, tapi ia segera belajar.
Rommel adalah orang yang serius dalam bekerja. Dia katanya hanya tidur paling lama empat jam sehari. Bahkan konon bukan rahasia lagi jika pertempuran sedang dahsyat-dahsyatnya berkecamuk, Rommel hanya tidur kurang dari 2 jam seharinya. Rommel juga biasanya sudah ada di jalan pukul enam pagi untuk inspeksi. Dan baru pulang saat hari sudah gelap. Makan bisa sambil berlari. Rommel benar-benar disiplin. Sikap tersebut mirip seperti kepribadian Eisenhower. Satu perbedaan yang mencolok dari Rommel dan Ike, katanya kalau Jenderal Ike merokok hingga empat batang sehari. Sementara Rommel tidak.
Mungkin satu yang membuat kisah kepemimpinan Rommel melawan Eisenhower di Eropa, tidak semenarik seperti ketika berhadapan dengan Montgomery di Afrika, adalah buruknya garis kordinasi yang dimiliki Jerman. Bagi Rommel, seperti tidak jelas siapa yang memimpin, apakah dirinya atau Rundsteds.
Rommel juga tidak punya garis komando untuk memerintah Luftwaffe dan Kriegsmarine. Apalagi Waffen-SS dan para gubernur daerah pendudukan Perancis. Padahal semua sumberdaya itu ia butuhkan untuk menghadang Operation Overload. Kalau semua sampai bekerja sendiri-sendiri demi meraih popularitas masing-masing, bukannya kemenangan, justru kehancuran yang menanti.
Padahal saya pernah baca bahwa Rommel begitu "menantikan" invasi di Normandia karena disitulah dia bisa bertempur secara adil dengan Sekutu. Di Afrika, Rommel banyak "dicurangi" karena kapal-kapal logistik nya terus menerus dikaramkan angkatan laut sekutu. Mungkin kalau boleh saya katakan, dia kalah menghadapi Montgomery di Afrika bukan karena kemampuannya. Tapi karena tak lagi punya amunisi dan tentara.
Seperti halnya Eisenhower, Rommel adalah orang yang "bersahaja". Ketika Rommel berangkat ke Paris pada awal Januari 1944 untuk bertemu dengan Rundstedt (yang tinggal dengan penuh kemewahan di Hotel George V), kota itu tampak bagi Rommel, seperti Babel, terlalu hiruk-pikuk. Ia ingin tempat lain sebagai lokasi markas besarnya. Ia ingin mengamankan Atlantik wall dari tempat yang tenang.
Ajudannya dari Angkatan Laut, Laksamana Muda Friedrich Ruge, mengatakan ia punya tempat yang cocok. Dalam perjalanan kembali ke Paris dari wilayah pantai, Ruge berhenti di Chatau La Roche-Guyon, yang terletak di Sungai Seine, di desa berpenduduk 543 orang, sekitar 60 kilometer di hilir Seine dari Paris. Chateau (istana) itu sudah berabad-abad menjadi tempat tinggal keluarga pangeran La Rochefoucaud.
Saya sepertinya pernah lihat kastil ini di scene film Rommel (2012). Tapi saya waktu itu belum tahu kalau itu kastil La Roche-Guyon. Saya cuma tahu markas besar Rommel di Normandia ya itu. Waktu seorang mata-mata Inggris George Lane tertangkap, Rommel sepertinya juga menemuinya disana. Kastilnya demikian sejuk. Dan tenang. Sebagai markas besar, tempat itu bagi saya sangat cocok untuk Rommel yang katanya penyendiri itu.
Thomas Jefferson pernah menginap sebagai tamu di situ menjelang akhir abad ke-18, ketika ia menjabat dutabesar Amerika untuk Perancis, dan teman pangeran yang paling terkenal, Franois, seorang penulis.
Ruge penggemar tulisan-tulisan La Rochefoucauld dan pernah bertemu dengan wanita bangsawan itu untuk menyampaikan rasa hormatnya. Laksamana Ruge menyampaikan kepada Rommel lokasi itu sempurna. Tempatnya di luar kota Paris, jaraknya sama ke markas besar Angkatan Darat Ke-7 dan Angkatan Darat Ke-15, dan kastil itu cukup besar untuk menampung semua anggota staf.
Saya bayangkan para anggota staf mungkin merasa jengkel harus meninggalkan kemewahan Paris dan membangun markas besar di desa sepi, La Roche-Guyon. Tapi mau gak mau ya harus.
Rommel itu orangnya cerdik. Beberapa saat setelah tiba di Afrika, konon ada satu kisah unik, supaya menimbulkan kesan bahwa pasukan Jerman yang datang berjumlah lebih banyak dari yang sebenarnya, Rommel memerintahkan agar panzer-panzer Jerman berputar kembali setelah berparade untuk menapaki rute yang sama. Intelijen Sekutu yang turut hadir menyaksikan parade katanya tertipu mentah-mentah. Seperti yang diharapkan Rommel, intelijen melaporkan berita yang "berlebih-lebihan" kepada markasnya.
Terkait kisah-kisah di Afrika Korps. Dikutip dari buku Stephen E. Amborse, "satu-satunya" kemenangan Inggris dalam perang itu, yakni di El-Alamein pada November 1942, diperoleh dalam pertempuran melawan Afrika Korps, yang kekurangan bekal, kekurangan senjata, dan kekurangan orang. Ketika memburu Afrika Korps yang sudah kalah itu sampai ke Tunisia, seperti halnya pertempuran berikutnya di Sisilia dan Italia, Angkatan Darat Ke-8 Inggris tidak banyak memperlihatkan naluri membunuh.
Tentara Jerman yang bertempur melawan tentara Inggris sering mengungkapkan rasa heran, betapa tentara Inggris melakukan hanya apa yang mereka perkirakan, tidak lebih dari itu. Bagi mereka mengherankan bahwa tentara Inggris berhenti mengejar musuh untuk membuat teh, dan lebih
mengherankan lagi, tentara Inggris menyerah bila amunisi mereka habis, bila bahan bakar mereka habis, atau bila mereka terkepung.
Jenderal Bernard Law Montgomery, komandan Angkatan Darat Ke-8, nampak jengkel saat menulis kepada atasannya, Kepala Staf Umum Kerajaan Field Marshal Alan Brooke: "Masalah dengan prajurit kita adalah mereka tidak memiliki naluri membunuh, "
Padahal pasukan Rommel di korps Afrika sangat sedikit. Dalam pertempuran sebelum sampai ke El-Alamein (kalau perang El-Alamein bulan Oktober-November 1942) dimana Rommel terus menerus menang, pasukannya tanggal 30 Juni 1942 sekitar kawasan Libya-Mesir menurut data di buku PK. Ojong hanyalah 44 tank. Padahal jarak logistik di pelabuhan Beghazi dengan medan tempur mencapai ratusan mil. Ditambah lagi pesawat pemburu Jerman yang bertugas melindungi dari udara katanya gak begitu bisa mengimbangi laju infanteri dan kavaleri.
Situasi Rommel makin genting. Mendekati El-Alamein, di Matruh Rommel katanya hanya punya 26 tank saja. Dan bisa dikatakan tak dilindungi kekuatan udara sama sekali. Lalu tanggal 24 Juni 1942 M, ketika Rommel benar-benar melintasi perbatasan Mesir, konon sisa tank miliknya hanya 12 atau 13 buah. Luar biasa. Kekuatan sekecil itu bisa memojokkan Inggris sampai El-Alamein. Silahkan cek kembali jilid pertama buku Perang Eropa PK. Ojong kalau kesimpulan saya salah.
Ancaman terbesar Inggris adalah jika sampai Rommel sampai ke ujung Mesir dan menguasai terusan Suez. Bisa kita bayangkan nasib jalur logistik laut sekutu mungkin akan terputus menuju Asia. Tapi entahlah.
Kita tahu Rommel sulit mendapatkan logistik dari Jerman. Karena konvoi laut yang mengangkut suplai banyak yang dikaramkan angkatan laut dan udara sekutu. Waktu itu Inggris menguasai Malta. Artinya wilayah menuju pelabuhan Beghazi dan Tripoli tidak aman bagi jalur suplai logistik Jerman. Terlebih mulai bulan Juli 1941 intelijen Inggris diam-diam berhasil membobol Enigma. Inggris bisa sewaktu-waktu mencegat pesan dari Berlin jika ada kapal suplai yang hendak dikirim untuk Rommel.
Lebih gawat lagi, kita tahu di Mesir ada lapangan udara Inggris. Katanya, diam-diam Rommel juga menjalin kerjasama dengan kaum bawah tanah di Mesir. Gerakan kemerdekaan Mesir yang gak suka dengan Inggris menjalin hubungan dengan Rommel. Inilah detil peristiwa yang saya suka dari kisah Afrika Korps pimpinan Rommel. Hebat sekali Rommel selalu menang. Kejeniusan itulah mungkin yang membuat namanya harum, dan pangkatnya cepat naik tajam.
Kita tahu kisah selanjutnya. Mencapai El-Alamein, Rommel akhirnya kalah. Entahlah disamping satu sisi sumberdaya miliknya sudah hampir habis, Inggris mengangkat Jenderal baru. Auchinleck yang oleh Churchill disebut "gak becus" akhirnya dipecat. Digantikan jenderal Harold Alexander. Jenderal Alexander bekerjasama dengan Montgomery. Musuh yang sepadan kalau boleh saya bilang.
Inggris di Afrika nampak sangat kewalahan menghadapi Rommel seorang diri. Aslinya gak seorang diri. Rommel bersama Italia. Tapi kok saya melihat kurang solid kerjasama Jerman-Italia di palagan Afrika. Gosipnya, sudah menjadi rahasia umum kalau Rommel dan panglima pasukan Italia di Afrika, Marsekal Ugo Cavallero, tidak saling menyukai satu sama lain. Meskipun begitu, Rommel diketahui mempunyai hubungan yang dekat dengan para komandan Italia di level lebih bawah yang berjuang langsung bersama dirinya di medan pertempuran.
Entahlah. Bagaimana menurut anda?
Dalam sebuah sumber dikatakan, memang peralatan Italia di front Afrika sangat buruk. Meriam-meriam artileri hasil rampasan dari pasukan Austria dalam Perang Dunia Pertama. ketika menghadapi mesin perang sekutu, jelas gak berdaya. Saat seorang perwira Italia mencoba membela diri dengan mengatakan anak buah mereka bukan pengecut, Rommel justru menyalahkan pemerintah mereka. Konon Rommel bilang, "Siapa yang mengatakan anak buahmu pengecut? Atasanmu di Roma lah yang harusnya dipersalahkan. Mengirim kalian ke medan pertempuran dengan peralatan perang yang begitu buruk."
Menghadapi Rommel, Inggris sampai mengganti jenderal beberapa kali. Mohon dikoreksi kalau saya salah. Pertama ada jenderal Alan Cunningham. Dipecat, diganti Jenderal Neil Ritchie. Atasan mereka berdua juga bernasib sama. Pertama Archibald Wavel. Diganti Auchinleck. Auchinleck juga dipecat. Dan diganti lagi dengan jenderal Harold Alexander. Sementara Ritchie diganti dengan Montgomery. Artinya Montgomery masih bawahan Harold Alexander. Tapi lebih harum namanya. Jenderal Alexander sebagai komandan seluruh Middle-East. Sementara Montgomery sebagai komandan tentara ke 8.
Montgomery ini kalau saya ibaratkan sesuai penilaian jenderal Von Thoma, adalah satu-satunya marsekal dalam perang dunia yang belum pernah kalah. Kalau di dunia UFC mungkin dia adalah umpamanya Khabib Nurmagomedov yang punya rekor tak terkalahkan. Bayangkan sendiri lah seperti apa.
Ada yang bilang kalau jenderal Alexander ini ahli strategi Inggris paling handal. Sedangkan Monty adalah jenderal Inggris yang paling gak kaku. Unconvetional seperti Rommel. Tapi pandai dan mengerti baik sifat serta masalah pertempuran mekanis. Kedua orang ini katanya benar-benar pandai mengobarkan semangat pasukan. Artinya Rommel benar-benar menemukan lawan yang sepadan, justru saat kekuatan tempurnya makin melemah. Bahkan mencapai masa krisis.
Pada saat itulah sangat masuk akal jika Rommel kalah. Selain karena banyak tak tik cerdik Montgomery, seperti menjebak dengan peta palsu, hingga membuat pasukan Rommel tersesat, Rommel dihajar pula dengan serangan udara. Tanpa adanya banyak bantuan Luftwaffe. Singkat kata, Montgomery benar-benar cerdik, dan berani mengubah beberapa konsep perang pendahulunya.
Keadaan makin buruk karena Rommel sempat sakit. Rommel pulang beberapa saat. Ketika kembali lagi, pasukan Afrika Korps tanpa dirinya sudah makin diambang kekalahan.
Dalam ofensif Operation Supercharge (pertempuran El-Alamein kedua) dibawah Inggris, kekuatan tempur tak sepadan. Data yang saya temukan di buku PK Ojong, kekuatan Inggris ada 1000an tank. Sementara Jerman-Italia hanya 230an buah. Itupun sebagian besar tank Italia yang gak begitu hebat teknologinya. Sementara data lain menyebutkan jumlah kekuatan sekutu 220ribu orang dengan 1.100 tank. Melawan 116ribu serdadu blok poros dengan kekuatan 559 tank. Ditambah lagi sekutu memiliki kekuatan artileri yang kuat.
Lagi-lagi saya menyayangkan sikap Hitler. Di saat genting seperti itu seharusnya jenderal dibebaskan bertindak. Tapi Hitler melarang Rommel mundur. Padahal itu saat yang tepat untuk mundur teratur dan menyusun rencana. Sebelum Hitler mengirimkan kawat, Rommel memerintahkan anak buahnya mundur. Tapi saat pasukan mulai mundur kawat Hitler datang. Rommel bilang, "oleh karena saya selalu menuntut sikap demikian dari prajurit saya, dan saya hendak laksanakan juga prinsip itu untuk diri saya sendiri." Seperti dikutip PK. Ojong. Rommel mencabut perintah mundurnya.
Mungkin Rommel memandang itu sebuah karma. Karena selalu menuntut prajuritnya patuh, maka dia juga patuh pada atasannya. Meskipun itu juga berarti bunuh diri.
Situasi begitu tragis, dalam sebuah sumber digambarkan bahwa bawahan Rommel yang terlibat langsung di lapangan, Jenderal Von Thoma sebagai komandan tetap bertahan hingga panser terakhir terbakar. Rommel akhirnya bertindak logis untuk memerintahkan mundur meskipun melawan titah Hitler.
Menghindari pengepungan, Rommel menarik pasukannya tanpa menunggu izin Hitler. Esok harinya, Hitler mengirimkan kawat. "Saya setuju penarikan mundur tentara tuan ke posisi di Fuka." Tapi tentu saja posisi itu sudah lebih dulu direbut tank-tank Montgomery.
Jengkel sekali rasanya dalam hati saya membaca fakta sejarah itu. Tapi bukan berarti saya pro atau kontra dengan blok poros. Saya mencoba netral.
Bulan November 1942, kondisi semakin buruk. Di timur ada Montgomery. Di barat pasukan Eisenhower mulai mendarat. Praktis Rommel terjepit dari dua sisi. Kekalahan sudah di ambang mata.
Palagan Afrika otomatis hampir selesai.
Rommel itu jenderal yang unik. Dia akrab dan mudah bergaul dengan anak buahnya. Dia sering "blusukan" ke medan perang. Alih-alih diam di markas komando. Dalam perang di Afrika, dia katanya ada "dimana saja" kecuali di markasnya sendiri. Itulah mungkin sebabnya saat terjadi percobaan pembunuhan terhadap dirinya pada malam 17 November 1941, musuh gagal menemukannya. 30 pasukan khusus yang dikirim hampir semua mati, setahu saya karena buruknya informasi intelijen. Hanya dua yang selamat.
Saya ingat kisahnya dalam tulisan mas Gunawan Wibisono. Informasinya, Rommel waktu itu akan berakhir pekan di sebuah vila. Tim dilepas dari kapal selam dan diberi sandi Operasi Flipper. Rommel, ternyata tidak ada di tempat, dan situasi vila yang besar malah membuat pasukan ada yang gugur karena tembakan teman sendiri.
Rommel segera pulang ke vila dan memerintahkan semua pasukan gugur yang akan membunuhnya dimakamkan dengan penghormatan penuh secara militer. Ia sendiri yang memimpin. "Sama seperti kita, mereka juga tentara yang bertugas demi bangsa dan negara, kita harus menaruh hormat"
Luar biasa.
Karena seringnya "blusukan" Â ke front depan yang sangat berbahaya, katanya biasanya Rommel berangkat dengan sebuah Kampfgruppe (Grup tempur) kecil yang selalu siap-sedia manakala terjadi kontak senjata dengan pihak musuh. Dan meskipun konon pernah terjadi kontak senjata sampai beberapa kali, Rommel tak juga kapok.
Dengan terang-terangan di sebuah foto dia bahkan nampak memberikan perintah dari tempat terbuka di front depan. Orang ini apa gak peduli sama sniper musuh ya?
Rommel adalah orang yang menerapkan perang tanpa benci. Bukan semata mengobarkan perang suci. Musuh yang dihadapinya bukanlah orang yang dibencinya.
Boleh saya katakan, kalau Rommel itu berperang demi negara. Dia mendedikasikan sumpah setianya untuk Jerman. Dia tidak berperang untuk partai Nazi, ataupun Adolf Hitler.
Ini nampak dari penghormatan sekutu sendiri. Beberapa saat setelah perang berakhir, tahun 1951, Amerika segera membuat film tentang dirinya berjudul The Desert Fox. Bisa anda bayangkan itu? Hanya enam tahun setelah perang berakhir. Yang membuat film tentang Rommel pula bukanlah orang Jerman. Tapi orang Amerika sendiri yang dulu pernah berperang dengannya.
Setahu saya, seberapapun sikap respect dari sekutu, tak pernah ada sejarahnya sampai pemimpin negara memuji lawannya seperti mereka memuji Rommel. Betapa hebat dan salutnya Amerika pada jenderal Jepang Tadamichi Kuribayashi di pertempuran Iwo Jima misalnya. Tak pernah sampai Presiden Roosevelt memujinya di hadapan kongres. Karena itu mungkin akan membawa dampak buruk juga pada mental pasukan. Tapi Churchill konon pernah memuji Rommel di depan kongres tahun 1942. "Kami berhadapan dengan seorang lawan yang bukan main berani dan pandainya. Dan izinkan saya mengatakan ini dengan melewati suara gemuruh peperangan. Dia adalah seorang jenderal yang besar. Yaitu Erwin Rommel."
Tindakan Churchill tentu saja menuai protes. Dia dapat kritik. Tapi dalam buku memoar yang ditulisnya, Memoires, dia katakan dia tidak menyesal. "Saya tidak menyesal karena telah memberi salut itu kepada Rommel."
Tidak hanya Churchill. Saya pernah baca kalau marsekal Inggris sir Claude Auchinleck menganggap bahwa Rommel punya arti "magis" bagi serdadu Inggris sendiri. "Saya memberi salut kepada dia sebagai seorang militer dan sebagai manusia. Dan saya sesalkan cara dia harus menemui ajalnya."
Padahal saya berandai-andai, jika Rommel masih hidup setelah perang berakhir, dia bisa seperti Marsekal Erich Von Manstein yang jadi penasihat militer. Atau bahkan seperti Eisenhower, yang bisa membangun kembali bangsa Jerman. Tapi sudahlah.
Dari buku Rommel kita bisa melihat "keharmonisan" diantara dua negara yang berperang. Sebab mereka menjunjung tinggi nilai-nilai ksatria. Buku Rommel tentang perang di Afrika ini menarik, judulnya "Krieg Ohne Hass" atau "Perang Tanpa Benci". Orang Inggris juga ada yang menulis buku tentang dia, namanya Brigadir Desmond Young. Judulnya Rommel. Katanya isinya mengungkapkan tentang sifat fair di perang Afrika.
Kita juga perlu memperhatikan fakta-fakta sejarah dibawah ini. Agar jangan lagi memvonis kalau perang dunia kedua itu melulu identik dengan kekejaman Jerman. Sebab banyak tentara Jerman yang hebat, berjiwa ksatria, dan layak kita berikan penghormatan. Mereka bertempur demi memperjuangkan negara. Bukan semata-mata karena Adolf Hitler. Atau sekedar ambisi menguasai dunia yang banyak orang salah pahami.
Ini hanya kisah yang terkait dengan Erwin Rommel. Kisah jenderal dan perwira lain jauh lebih banyak. Begitu banyak sebenarnya jenderal Jerman yang dihormati sekutu setelah perang berakhir. Seperti mungkin jika anda ingat film The Pianist, ada perwira Jerman bernama Wilhelm Adalbert Hosenfeld. Dia menyelamatkan Wladyslaw Szpilman, seorang pianis Yahudi dari Orkestra Radio Polandia yang bersembunyi.
Kepada tentara Sekutu yang Rommel tawan, Rommel konon tetap memberikan jatah ransum dan pelayanan medis sama seperti yang dia dan prajuritnya terima. Dia juga tidak mengindahkan perintah Hitler untuk mengeksekusi unit Komando dan tentara Yahudi Inggris yang tertangkap. Tidak hanya itu, diceritakan bahwa dalam sebuah pertempuran melawan pasukan Legiun Asing Prancis yang mempertahankan sebuah benteng di Libya, Rommel memilih untuk tidak menembak mati tentara musuhnya yang tertawan, yang ternyata adalah orang-orang bangsa Jerman juga.
Dalam sebuah sumber, konon dikisahkan bahwa Rommel pernah merobek-robek surat perintah Hitler yang memerintahkannya untuk mengeksekusi pasukan komando Inggris yang ditangkapnya dan setelah itu dengan tenang mengumumkan pada orang-orang di sekitarnya bahwa isi dari surat perintah tersebut tidak terlalu jelas.
Di front Afrika, tepatnya di Libya, prajurit Jerman dan Inggris sama-sama mendapat penghormatan dengan dikuburkan secara berdampingan. Pihak Poros dan Sekutu bertempur secara sportif dan memperlakukan para tawanan mereka dengan penuh perikemanusiaan sehingga medan pertempuran di Afrika dijuluki sebagai "War Without Hate" (Perang Tanpa Kebencian).
Hans Von Luck yang merupakan bawahan Rommel di Afrika juga menjujung perang yang beradab. Dengan "musuhnya" Inggris, setiap hari jam lima sore pertempuran berhenti. Saat itulah katanya pihak Inggris akan sibuk memanaskan air untuk teh mereka sementara Jerman membuat kopi. Seperempat jam kemudian Von Luck dan komandan Inggris akan saling berkomunikasi melalui radio.
Konon pernah suatu ketika ada perwira yang merebut sebuah truk suplai. Truk musuh itu dipenuhi oleh daging kalengan dan makanan mewah. Tapi  kemudian Von Luck melihat jam tangannya. Ini sudah lewat jam enam sore. Percaya gak percaya, Von Luck bilang pada si perwira, bahwa mau tidak mau truk itu harus dikembalikan karena dia merebutnya selepas jam lima sore. Si perwira ya tentu saja protes sambil berdalih bahwa ini adalah perang. Dan pasukannya sudah dari tadi mengambil makanan yang diperlukan dari truk tersebut.
Peristiwa lain. Suatu ketika, Von Luck mengetahui bahwa pihak Inggris menerima kiriman jatah rokok untuk satu bulan. Dia lalu menawarkan untuk menukarkan seorang perwira Inggris yang ditawan dengan satu juta batang rokok.
Mungkin karena terlalu banyak, pihak Inggris menawarnya menjadi 600.000. Mungkin setelah tawar menawar, Von Luck setuju. Anda boleh percaya kisah ini boleh tidak. Ternyata perwira yang ditawan tadi adalah ahli waris dari pemilik perusahaan rokok tersebut. Lucu sekali, bukannya seneng mau dibebaskan, malah perwira itu marah-marah. Pokoknya dia gak mau ditukar dengan hanya 600.000 rokok. Harus sejuta rokok. 600.000 rokok itu dibawah standar. Katanya kisah ini ada di buku Pegassus Bridge nya Stephen Amborse.
Memang sih, tidak bisa dipungkiri kejahatan perang tetap ada. Tapi setidaknya tidak di semua tempat. Selalu ada orang baik di tempat paling buruk sekalipun. Jadi berhentilah memukul rata. Tetap ada hal baik yang bisa selalu kita nilai. Jangan hanya lihat sisi negatifnya saja.
Apalagi jika melihat norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam struktur militer Heer (satuan darat Werchmart) yang merupakan suatu angkatan yang masih memegang teguh norma-norma perang secara ksatria (chivalrous warfare). Meskipun hal ini tidak menutup kemungkinan anggota-anggota Wehrmacht juga terlibat dalam kejahatan perang. Bukannya berburuk sangka, tapi faktanya saat perang sedang dalam kondisi tak terkendali, dapat dikatakan hampir semua negara juga pernah melakukan kejahatan perang. Hanya saja ada yang terekspos dan ada yang berhasil disembunyikan.
Dan citra dari Wehrmacht tidak seburuk dengan citra Waffen-SS di mata sekutu. Yang identik dengan kejahatan perang itu ya garda Waffen-SS. Tapi juga gak semuanya begitu. Yang baik juga banyak.
Memang ada wacana yang mengatakan kalau Waffen-SS tidak dianggap oleh para musuhnya sebagai suatu formasi tempur yang terhormat. Kabarnya, para tahanan perang Waffen-SS sering dihajar oleh musuh-musuhnya, dan diperlakukan lebih kasar jika dibandingkan dengan tahanan angkatan bersenjata lainnya. Ditambah lagi para mantan anggota SS tidak berhak mendapatkan dana pensiun dan keuntungan-keuntungan lain seperti yang didapat anggota Heer.
Kita juga seyogyanya melihat fakta bahwa Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman secara umum, baik Heer, Luftwaffe, ataupun Kriegsmarine) mampu menempatkan dirinya setara dengan legiun Caesar dan Grande Arme Napoleon sebagai suatu formasi tempur teratas sepanjang sejarah, yang bukan saja ditakuti karena memiliki prestasi direkam dari kemampuan tempurnya yang baik, tapi juga dihormati jika dilihat dari jiwa prajurit yang ksatria.
Kabarnya, seusai perang, tahanan perang Wehrmacht lebih bersahabat dan lebih mudah diajak berkompromi. Itu merupakan suatu hal yang lebih disukai pihak sekutu, sehingga mereka diperlakukan dengan lebih baik. Kita bisa kok melihat detil peristiwa itu, gambarannya dalam karya film yang realistis seperti bikinan sutradara Stephen Spielberg. Bukan film lain yang terlalu banyak adegan dramatisir nya.
Terakhir, memang saya sendiri mengakui bahwa satuan SS andil besar dalam pembersihan etnis dan kisah-kisah kelam dibalik tahanan perang. Dapat kita lihat, di mana pasukan SS beroperasi, hampir selalu ada rekaman kejahatan perang yang mengikuti. Perbedaan yang begitu mencolok adalah saat kita lihat medan tempur Afrika. Seperti yang saya bahas diatas. Setahu saya tidak ada kejahatan perang yang sampai bersifat massal terjadi di sana, seperti kita temukan dalam kisah di palagan Eropa. Salah satu alasan realistis yang dapat diambil mungkin adalah karena tidak ada pasukan SS yang disebar di medan Afrika untuk fungsi tempur.
Katanya berkali-kali Heinrich Himmler mau mengirimkan satuan SS ke Afrika untuk membantu Rommel. Tapi Rommel menolak. Konon kabarnya Rommel memang gak suka dari dulu dengan Waffen-SS.
Memang katanya ada kantor keamanan SS yang dibuka, namun hanya berfungsi untuk tugas garis belakang dan fungsi non-tempur. Ditambah lagi, antara Jerman-Italia dan Inggris juga saling menghormati satu sama lain di medan tempur. Terlebih lagi Jerman yang dipimpin oleh Rommel, dan Inggris yang akhirnya dipimpin Montgomery, dua jenderal terhormat yang menjunjung tinggi 'the rules of chivalrous warfare'.
27 April 2020 M.
Sekian dulu... Kapan-kapan bisa disambung lagi.
In frame: Rommel dengan berbagai foto. Salah satu yang paling terkenal adalah foto dengan "topi" berkacamata plastik. Foto itu ikonik sekali. Di topi schirmmtze-nya itu ada kacamata plastik penahan debu terkenal yang ternyata bukanlah kacamata produksi Jerman (schutzbrille). Katanya itu justru merupakan rampasan dari pihak Inggris. Rommel begitu menyukai kacamata satu ini sehingga dia selalu memakainya kemana-mana dan seakan-akan identik dengan dirinya.
Majalah TIME volume XL terbitan 13 Juli 1942 pernah memuat edisi tentang Rommel: Generalfeldmarschall Erwin Rommel dengan latar belakang Terusan Suez. "Takdir Mesir adalah juga takdir Timur Tengah".