Ealah gak ada yang lebih seru ya pembahasannya?
Lho, kenapa enggak? Kalimat tersebut sekarang bisa dikatakan "hampir punah" di kalangan anak kecil. Orang-orang yang bermain tak lagi mengatakan itu. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi, apakah masih ada anak kecil yang bermain hongpimpa? Padahal itu "warisan" nenek moyang kita.
Untungnya sudah ada yang meneliti dan melestarikan peninggalan nenek moyang tersebut. Saya pernah baca kini ada Komunitas Hong (pusat kajian dan permainan anak). Didirikan oleh mas Zaini Alif. Profilnya sudah masuk kok ke Google Scholar, bisa anda periksa. Ia adalah seorang Pakar Permainan Tradisional yang sudah meneliti berbagai macam permainan tradisional di Indonesia. Nama dari Komunitas Hong sendiri konon diambil dari kalimat hongpimpa alaihong.
Kalau ada waktu, lihat cuplikan video ini. Presentasi mas Zaini Alif yang diberi judul The Secret Meaning of Hongpimpa.
***
Kita generasi yang lahir sebelum tahun dua ribu setidaknya pasti tahu permainan yang ada hompimpa nya. Pernah memainkan, dan pernah ketawa-ketawi penuh keakraban bersama teman sekampung dulu.
Sungguh patut disayangkan. Padahal makna filosofis dibalik kalimat permainan tersebut bagus sekali. Sejujurnya saya terlalu terlambat mengetahui apa arti kalimat itu. Sekarang sudah gak bermain lagi.
"Hongpimpa alaihom, gambreng!"
Konon sejarahnya berasal dari bahasa Sansekerta. Iya, benar sekali. Bahasa Sansekerta yang sudah punah itu. Bhinneka tunggal ika itu juga kan bahasa Sansekerta. Bahasa resmi kerajaan Majapahit.
Artinya "dari Tuhan, kembali ke Tuhan." Saya gak bermaksud sama sekali membandingkan, tapi kita juga mengenal kalimat dalam bahasa Arab, "innalilahi wa innailaihi raji'un". Yang juga memiliki terjemahan kasar, dengan makna sekilas yang kurang lebih artinya sama.
Saya ingat dawuhnya Gus Bahak, beliau mengutip dawuh sufi, bahwa kehidupan adalah pemberian dari Allah untuk kembali kepada Allah... Demikian pula kematian.
Menurut pakar bahasa, "Hong","hom", atau "om" memiliki arti Tuhan. Itu mirip kita temukan dalam salam umat non muslim, "Om su asti astu". Om, berarti Tuhan. Su berarti baik. Asti berarti berada. Sedangkan Astu punya makna semoga. Jadi, kurang lebih jika diterjemahkan menjadi "Semoga selamat atas rahmat Tuhan". Itu yang saya baca dari sebuah sumber yang saya sudah lupa dimana.
Kenapa harus ada "gambreng" segala? Ya ini kan untuk anak-anak. Gambreng itu bisa diartikan kalau kita mengadakan baris berbaris, berarti sesudah mengucapkan aba-aba "siap", kemudian dipertegas dengan kata "grak!".
Orang dulu pandai sekali menanamkan nilai-nilai moral. Bahkan permainan anak kecil saja ada pelajarannya. Saya gak tahu, tapi dilihat secara eksplisit petuahnya bagus sekali. Sejak kecil sudah dibiasakan dengan hal semacam itu. Sekarang apakah kita bisa mentradisikan hal semacam itu? Mengajarkan kebudayaan secara halus dan diam-diam, dalam sebuah permainan yang dilakukan setiap anak kecil pada masa itu.
Kalau kita bermain hongpimpa, biasanya menggunakan tangan. Terserah pilih sisi yang putih atau hitam. Nha, ternyata di situ juga ada pelajaran. Saya pernah baca itu di sebuah forum diskusi. Jadi, saat bermain hongpimpa kita dituntut legowo dan nrimo ing pandum. Kita berani mengambil konsekuensi dari sisi tangan hitam atau putih yang kita pilih. Berarti kita sanggup untuk bertanggung jawab atas tindakan kita tersebut. Jika kita kalah. Apapun keputusan yang kita ambil, harus siap dengan segala akibatnya.
Hongpimpa juga mengajak kita bermusyawarah. Mengajarkan nilai-nilai kerukunan sejak dini. Menghargai dan menerima pendapat dari setiap orang yang ada di komunitas. Bukankah itu bagus?
Betapa orang dulu mengajar anak kecil dengan budi luhur. Lewat permainan, atau lagu-lagu Jawa kuno. Sekarang semua itu sudah hampir gak ada. Gak begitu kita lestarikan. Tergantikan oleh permainan gawai. Akankah gak sayang, jika nilai-nilai mulia itu juga akhirnya hilang. Dan anak cucu kita gak tahu?
Selamat pagi...
Selasa, 14 April 2020 M.
Terimakasih telah membaca. Jangan sungkan untuk mengoreksi dan berbagi pengalamannya...