Bahkan saat orang membaca dua buku setiap minggunya, atau seratus buku setiap tahun, belum tentu dia ingat. Belum tentu dia dapat "sesuatu".
Paling-paling yang mampu diingat secara wajar adalah beberapa bagian kecil. Atau beberapa dialog yang memang ada kaitan dengan hidupnya. Sedang sedih, lalu tiba-tiba membaca cerita yang sama dengan yang terjadi dalam hidupnya. Secara kebetulan. Rasanya jadi sedikit termotivasi. Biasanya begitu.
Kecuali anda adalah Annemarie Schimmel. Atau anda adalah orang yang dianugerahi kecerdasan luar biasa, seperti Imam Syafi'i. Yang konon punya apa yang disebut sekarang sebagai ingatan fotografis. Ada literatur yang menyebutkan, kalau beliau membaca buku harus ditutup halaman sebelahnya. Jika tidak, maka akan ikut terhafal tanpa sengaja.
Jangankan buku, kita makan apa kemarin sore saja kadang lupa. Kita naruh kunci motor yang sebenarnya luar biasa penting, udah hampir ketinggalan acara, malah lupa dimana. Kemarin beli apa saja di supermarket. Password akun media sosial saja kadang lupa. Yang nggak lupa itu password WiFi tetangga. Siapa yang bisa ingat dengan detil apa yang terjadi dalam hidup? Kecuali anda sangat briliant.
Ada ingatan jangka pendek, ada ingatan jangka panjang. Sialnya, otak kita kadang "keliru" memasukkan file ke dalam ingatan jangka pendek. Padahal sedang butuh-butuhnya informasi itu. Seperti akan dipakai menghadapi ujian nasional mungkin. Mau bagaimana lagi, dasar sudah gak suka. Menghafalnya juga karena terpaksa. Akhirnya, tak sampai seminggu sudah lupa.
Sederhananya, kita tentunya tak bisa mengingat secara pasti apa saja yang sudah dibaca. Atau dipelajari. Jangankan pelajaran. Film The Shape of Water yang jadi juara Oscar tahun kemarinnya itu plotnya gimana. Detil adegan demi adegannya gimana. Ya saya gak ingat lah... Seingat saya itu film tentang cinta dua dunia. Ya pokoknya begitulah alurnya. Intinya seperti itulah. Garis besarnya saya ingat. Tapi menit sekian ada apa, menit sekian ada apa, apalah pentingnya buat saya? Kalau disuruh menjelaskan dengan rinci, tak cuma saya, orang lain juga gelagapan.
Ide itu sendiri, kalau gak segera ditulis juga bisa-bisa lupa. Kadang saya suka nulis gak jelas. Yah, sebenarnya kadang saya sedang mencatat apa yang baru saya baca.
Tentukan tujuan membaca. Jika hanya belajar, bahkan kita bisa mendapatkan banyak pelajaran dari media lain. Kita bisa mendengarkan podcast. Kita bisa menonton video dokumenter. Kajian online. Atau bahkan audio book. Dari situs audio book seperti ...
Ah, saya gak ingat nama situsnya.
Tentukan tujuan belajar. Jika hanya nilai, secara kasar bahkan kita bisa nyontek teman yang lebih pintar. Jika hanya mengisi waktu, lebih baik lakukan hal yang menyenangkan saja. Jika hanya ikut-ikutan, sayang sekali. Jika lulus nanti tak akan dapat banyak hal. Mengawali sesuatu, dengan keinginan dari hati. Tentu akan lebih ada hasilnya.
Sudahlah, itu tadi sekedar basa-basi. Saya teringat beberapa hari yang lalu adik saya bertanya. Dia ngaji fikih jawan. Sebuah gubahan syair tentang ilmu hukum dasar madzhab Syafi'i. Biasanya dikaji di surau-surau dan langgar-langgar. Dia bertanya apakah saya masih hafal? Iseng saya ingat, tiba-tiba saya masih bisa merapalkan beberapa bait. Padahal rasa-rasanya, sudah hampir lima belas tahun tak menyinggung nadzam itu.
Pancasila. Anda yang berusia tiga puluh, hidup dengan keseharian di kantor atau instansi. Rutinitas monoton yang bahkan tak ada hubungannya dengan kenegaraan. Kerja bertahun-tahun di luar negeri. Sadarkah? Semua kesibukan itu tidak lantas membuat kita lupa dengan lima pasal pancasila.
Karena apa? Mengulang. Iya kita sering mengulang-ulang kembali apa yang kita baca dengan sering. Kita jadi ingat dengan persis. Saya menjadi begitu kagum pada cara orang-orang dulu mengajar di langgar-langgar. Sedikit materi, tapi diulang terus menerus. Sebenarnya saat masih menjadi siswa, proses semacam ini sangat tidak menyenangkan.Â