Chris adalah tokoh utama dalam serial komedi “Everybody Hates Chris”. Serial ini berlatar belakang Brooklyn di awal tahun 1980-an. Chris berumur sekitar 13 tahun, bermata besar dengan tampilan culun abis. Ia rutin dipalak oleh seorang siswa yang berlagak seperti preman bernama Caruso. Layaknya “jagoan” pada umumnya, Caruso bertubuh gemuk besar dengan muka dingin tanpa expresi. Hobi Caruso adalah menonjok muka Chris tepat di pipi kanan. Tidak perduli ada salah atau tidak. Setiap Caruso sedang sakit perut, sedang kesal, atau sedang biasa-biasa saja, tonjokan akan selalu mendarat di pipi Chris.
Hampir semua siswa di sekolah takut pada Caruso. Hingga suatu sore, secara tidak sengaja Chris melihat Caruso dan kawan-kawannya dihabisi oleh Yao, siswa dari sekolah yang sama. Ciaaat…ciaat ...ciaat!!! Caruso pun lumpuh. Chris mengira bahwa Yao akan menjadi ‘preman’ baru di sekolah. Saat bertemu muka dengan Yao, Chris otomatis memberikan uang jajannya pada Yao.
YAO: What’s this?
CHRIS: My lunch money. I always pay on time, and I don't even mind tossing in a few extra bucks around the holidays.
YAO: What is wrong with you? I don't want your money.
CHRIS: But after what you did to Caruso, we figured you were taking over.
YAO: I'm not taking over anything. I just got tired of him picking on me. That's why I took karate.
Ahh, seandainya Chris bisa karate, pasti ia terbebas dari Caruso sejak dulu. Tapi Chris hanya anak biasa dari keluarga pas-pas-an. Jangankan ambil les karate, bisa dapat uang jajan tiap hari aja, sudah syukur. Itu pun dipalak Caruso, kasiaaan.
Selama beberapa hari, Chris pergi sekolah dengan perasaan lega campur aneh. Lega karena tidak ada yang malakin lagi, walaupun aneh karena ia tidak biasa pergi ke sekolah tanpa bertemu masalah. Caruso tiba-tiba menjadi anak pendiam, berhenti mengerjai siapapun. Dan Yao tidak berminat menjadi preman baru di sekolah.
Tiba-tiba pada suatu hari, seorang siswa mengerjai Chris, mendorongnya dan menguncinya dalam loker sekolah. Siswa ini mengangkat dirinya menjadi preman baru. Dan seperti virus menular, siswa-siswa lain juga mengangkat dirinya sebagai jagoan baru. Sekolah pun kacau dengan perkelahian di mana-mana. Semua saling memalaki dan bertengkar. Semua mengklaim dirinya sebagai yang paling berkuasa dan disegani. Caruso-Caruso baru bermunculan. Siswa-siswa tidak berdaya seperti Chris ketakutan.
Otak Chris pun berpikir. Bagaimana caranya untuk mengatasi kekacauan ini. Dalam pikirannya yang baru seumur jagung, lebih baik di-preman oleh satu orang (Caruso) daripada oleh banyak preman. Chris pun berniat untuk mengembalikan kekuasaan Caruso. Chris mendatangi Caruso, membujuknya untuk duel dengan Yao lagi. Ia juga mendatangi Yao, memaksanya untuk pura-pura kalah, demi kebaikan bersama. Caruso setuju, begitu juga dengan Yao.
Rencana berhasil. Sekolah pun berjalan dengan kekuasaan hanya di tangan Caruso lagi. Tonjokan mampir kembali di muka Chris. Uang jajannya pun dipalak lagi oleh Caruso. Tapi Chris merasa lega.
Episode ini membuat saya tersenyum mikir, teringat letusan-letusan konflik di tanah air. Indonesia pada zaman order baru berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin tegas, Soeharto. Sayangnya, sang pemimpin kebablasan tegasnya.
Saya masih ingat waktu SMA, saya memiliki teman yang baru kembali ke Indonesia setelah bersekolah di luar negeri. Saat kami sedang di angkot bersama, ia berbicara tentang Soeharto dan keluarganya, bahwa negara lain melihat Soeharto sebagai diktator dan koruptor. Ia berbicara lantang tanpa risih dan khawatir didengar orang lain.
Sebaliknya, saya berkali-kali memintanya untuk merendahkan suaranya dan mengganti subjek pembicaraan. Saya takut bahwa ada intel yang mendengar dan mungkin akan menculik kami. Ia heran dengan ketakutan saya. Sebaliknya, saya heran dengan gaya bicaranya yang bebas dari rasa takut. Kini, saya tidak percaya bahwa saya pernah hidup di bawah ketakutan semacam itu.
Ketakutan terhadap Soeharto tercermin pada ketakutan Chris dan sekolahnya terhadap Caruso. Tidak ada yang berani berbuat macam-macam. Letupan-letupan tersembunyi rapat di bawah karpet.
Saat Soeharto tidak berkuasa lagi, karpet seperti terkibas tinggi. Konflik bermunculan di mana-mana. Dimulai dari konflik berlatar belakang agama di Ambon, hingga yang terbaru: konflik Ahmadiyah, konflik yang dipicu FPI, kerusuhan di Ampera-Jakarta dan konflik antar suku di Tarakan-Kalimantan. Banyak orang merasa lebih berkuasa dari lainnya, merasa berhak menindas atas nama suku, agama, atau bahkan untuk sebuah ego.
Sebagian orang mulai berpikir bahwa hidup di bawah pemerintahan zaman Soeharto adalah lebih baik. Walaupun ia diktator, tapi (paling tidak) aman dari ‘diktator-diktator’ lainnya. Mirip pemikiran Chris akan Caruso. Apalagi Tommy Soeharto kini kabarnya sedang siap-siap menjadi pengganti sang ayah. Dan, jika banyak warga Indonesia yang berpikiran seperti Chris, bukan tidak mungkin, Tommy bisa terpilih menjadi presiden.
Kita semua pasti setuju bahwa untuk selamat dan aman bukan berarti harus berlindung di bawah pemimpin bertangan besi. Sangat miris kalau untuk hidup damai ditentukan oleh dua pilihan saja: hidup dengan satu penindas atau banyak penindas. Yang kita mau adalah tidak ditindas, oleh siapapun. Siapa yang berani menindas, akan diadili. Sehingga orang-orang biasa seperti Chris (termasuk saya) dapat hidup dengan tenang tanpa rasa takut. Tapi apakah mungkin? Well, kalau ada sekolah yang bisa bebas dari jagoan macam Caruso, seharusnya ada juga negara yang bisa bebas “preman”.
- Kamellia Soenjoto Smith-