Kegiatan yang diadakan di Ruang Meeting, Hotel Rembele, Bener Meriah, Rabu, 6 Oktober 2021 itu, untuk menyikapi berbagai tantangan penanganan hukum anak korban kekerasan seksual dengan tujuan utnuk mendapatkan masukan penting dari berbagai pihak untuk kebutuhan penyusunan naskah akademik perubahan Qanun Jinayat.
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Aceh (KPPAA), Firdaus Nyak Idin, mengatakan ada beberapa pasal dalam Qanun Jinayat yang beresiko apabila diterapkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak.
"Pilihan utama kita untuk dicabut atau hapus sama sekali pasal 47 dan pasal 50. Sehingga secara otomatis penanganan kekerasan seksual terhadap anak akan kembali ke UU Perlindungan Anak," kata Firdaus.
Kemudian, lanjutnya, rekomendasi tambahan pasal lain terkait anak yang perlu dicabut, pasal 34, pasal 63 ayat 3 dan pasal 64 ayat 3.
Firdaus menjelaskan alasan pasal 47 dan 50 dicabut karena hukuman cambuk dalam kedua pasal tersebut sering sekali gagal dilaksanakan karena alasan pelaku sakit, naik darah atau berusia lanjut dan lain-lain. Akibatnya pelaku harus dipulangkan sementara ke rumah yang notabene kembali dekat dengan korban.
"Korban tentu akan semakin trauma dan depresi, diteror dan mengalami kekerasan berulang," ungkap Firdaus.
Sementara, kalaupun hukuman cambuk jadi dilaksanakan, maka setelah itu pelaku dapat kembali ke komunitas dimana akan bertemu korban kembali. Tentu ini sangat buruk bagi korban.
Firdaus juga menyampaikan pasal selanjutnya seperti pasal 34, pasal 63 ayat 3 dan pasal 64 ayat 3 dalam Qanun Jinayat yang juga diminta untuk cabut karena, dalam pasal tersebut kasus zina, sodomi dan lesbian dianggap dilakukan dengan rela. Menafikan adanya kemungkinan di awal terjadinya kekerasan pada anak.
"Sehingga pelaku hanya dihukum cambuk. Tanpa ada kewajiban rehab mental pelaku dan anak. Secara psikologi pelaku dan anak berisiko mengulangi," ujarnya.
Kemudian, anak juga berisiko dianggap sebagai pelaku yang akan mendapat hukuman cambuk.
Sementara itu, Akademisi, Sri Wahyuni, mengatakan negara wajib membuat peraturan yang lebih memperhatikan anak. Qanun Jinayat bertujuan untuk melindungi hak anak namun yang bermasalah qanun itu sendiri.
"Sesuatu dalam Qanun Jinayat itu harus komprehensif. Jadi, tidak ada salahnya kita kita merujuk kepada hal yang memang baik, meskipun itu dari luar sekalipun," tutur Wahyuni.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) Bener Meriah, Suhaini, menegaskan agar beberapa pasala dalam Qanun Jinayat yang bermasalah itu segera dicabut. Kemudian untuk pasal yang masih bisa dilakukan revisi untuk segera direvisi.
"Jika melihat Qanun Jinayat tidak ada pembahasan yang memberikan efek jera yang sebenar-benarnya. Untuk perlu segera qanun itu dicabut atau direvisi," tegas anggota DPRK Bener Meriah Komisi A dari Partai Gerindra itu.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Keluarga Berencana (PPPA dan KB), Susnaini, mengatakan saat ini Bener Meriah merupakan penyumbang kasus kekerasan seksual tertinggi untuk tahun 2021. Melingkupi kekerasan seksual terhadap anak dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Forum seperti ini sangat penting untuk terus dilaksanakan, saya sangat setuju untuk beberapa pasal di Qanun Jinayat direvisi atau dicabut," tutur Susnaini.
Ketua Komunitas Perempuan Cinta Damai, Bener Meriah, Dwi Handayani, menjelaskan kekerasan seksual terhadap anak harus mendapat kejelasan hukum yang pasti.
"Situasi di Bener Meriah sangat memprihatinkan karena adanya geng anak kandang disini yang sangat meresahkan," ujar Dwi.