Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Naik Motor Karya Orang Asing

29 Agustus 2014   16:11 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11 142 0
Pagi hari, saat orang-orang sudah sampai di tempat kerjanya masing-masing. Di sepanjang jalan beraspal mulus itu. Di sepanjang kanan kiri jalan, berjajar deretan pemandangan sawah yang hijau ranau, aku melaju dengan sebuah motor Honda Beat keluaran terbaru buatan orang jepang. Aku bergumam dalam hati “pintar sekali orang-orang jepang ini, bisa membuat kendaraan senyaman ini. Seandainya bangsaku bisa membuat motor seperti ini, pastilah aku sangat bangga memakai motor buatan bangsaku sendiri.”  Akupun terus melaju, menikmati karya terbaik anak-anak didikan orang Jepang. Orang-orang Jepang pastilah sangat bangga karyanya bisa bermanfaat untuk jutaan orang di seluruh dunia.
Di sepanjang jalan tak lupa aku membaca sholawat sambil berdoa agar selamat sampai tujuan. Mudah-mudahan ini bukan terakhir kalinya aku naik motor, karena aku sangat menikmati suasana ketika berada di jalan seperti ini. Jalanan yang sepi tak kenal macet. Sesekali ada motor bahkan mobil yang menyalipku dengan kencang. Aku lihat motor dan mobil itu semua buatan orang Jepang. Aku santai saja sambil sesekali melirik kanan kiri menikmati indahnya alam ciptaan Tuhan. Di Jepang, pastilah ada pemandangan yang Indah seperti ini, tapi aku yakin tidak seluas di negeriku ini. Makanya orang jepang pernah berseloroh ingin menukar negaranya dengan salah satu pulau di Indonesia. Mungkin karena orang Jepang lebih tahu kekayaan apa yang ada di pulau itu. Atau karena terkesima oleh keindahan alamnya, aku tidak tahu.

Aku masih melaju dengan kecepatan 50km/jam, kecepatan rata-rata yang bisa mentolelir pandangan mata untuk terus bisa menikmati alam sekitar. Tiba-tiba di depan ada mobil sedan yang melaju kencang mengagetkanku karena menyalakan lampu jauhnya sambil menyalip mobil di depannya. Rupanya pengemudi mobil ini tak mau mengalah karena aku juga langsung menyalakan lampu jauhku. Dalam hati aku berteriak “ini bukan jalan nenek moyangmu, ini jalanku juga, minggir!” mobil itu semakin dekat dan lebih kencang dari sebelumnya, sepertinya pengemudinya berniat menghabisiku. Jika diteruskan bisa gawat akibatnya. Dengan tanpa pikir panjang aku berbelok sedikit kearah kiri sampai turun dari badan jalan. Mobil itu hampir meyerempetku sambil melaju sekencang-kencangnya. Ditelingaku seakan-akan ada suara “nguinnng,” jantungku berdetak kencang, astaghfirullahal adhim, selamat, selamat, Alhamdulillah, aku masih selamat. Sebelum itu aku sempat melihat bagian depan mobil itu tertera logo berbentuk mirip huruf T, mobil buatan jepang juga.
Aku tak henti-hentinya bersyukur atas peristiwa yang barusan terjadi. Aku juga tak henti-hentinya mengutuk diri sendiri atas kekonyolan yang aku lakukan. Bagaimana mungkin aku bisa menantang mobil sedan yang lebih besar dari motor yang aku tumpangi. Jika egoku tidak aku turunkan sedikit saja, mungkin aku sudah masuk rumah sakit dan dikerumuni orang-orang  berbaju putih. Sekarang aku sedikit berhati-hati karena masuk jalan raya yang kanan kirinya berderet rumah-rumah penduduk. Tapi aku tidak berhenti bertanya dalam hati, bagaimana orang-orang Jepang bisa membuat mesin-mesin yang hebat seperti yang aku tumpangi ini, juga mesin mobil sedan yang hampir merenggut nyawaku? Kenapa bukan dari bangsaku yang pandai membuat mesin-mesin yang canggih ini? Kali ini aku berbelok ke jalan alternatif yang agak sempit sehingga jika ada mobil bersimpangan salah satunya harus berhenti. Jalan beraspal tapi banyak lubang disana sini. Pemandangan sawah-sawah kembali menyapaku. Aku melaju dengan sedikit lambat demi menghindari lubang-lubang di jalan, walaupun sesekali aku tak bisa memilih lagi mana jalan yang tidak berlubang, maka aku ikuti saja jalan itu, tetapi guncangan akibat jalan berlubang seperti tidak terasa karena lagi-lagi berkat motor buatan orang Jepang.

Di sepanjang jalan berlubang itu aku tak berhenti berfikir, apakah yang disebut “orang asing” itu diciptakan Tuhan hanya untuk bangsanya sendiri? mengapa mereka rela teknologinya dinikmati orang asing yang bukan dari bangsanya? Aku terus menerawang dan sesekali ingat peristiwa yang barusan terjadi. Tapi aku segera menemukan jawaban saat ingat ungkapan seseorang yang mengatakan orang Jepang pandai membuat mesin-mesin yang canggih demi menunjang hidupnya dan bangsanya. Mereka tak berhenti belajar sampai berhasil. Jika mereka tidak membuat mesin-mesin itu, akan memberi makan apa untuk bangsanya? tanah dan airnya sedikit, sumber daya alam terbatas, maka mereka memutar otak untuk terus bisa menghidupi bangsanya. Cerita lain yang kudengar, pernah suatu ketika ada peneliti dari jepang yang meneliti di Indonesia dengan tujuan membuat orang-orang Indonesia sehat dan sejahtera. Maka salah satu orang Indonesia bertanya, “untuk apa kalian lakukan ini? Mengapa anda melakukan pekerjaan yang nyata-nyata akan menguntungkan orang-orang yang bukan dari bangsa anda?” peneliti itu menjawab, “kalau orang-orang Indonesia banyak yang sakit, kalau orang-orang Indonesia tidak hidup sehat dan sejahtera, bagaimana mereka bisa membeli mobil-mobil kami, bagaimana bisa membeli motor-motor, mesin-mesin yang kami buat? Jika begitu, dari mana kami bisa makan jika bukan hasil dari menjual mesin-mesin itu?” Sejenak aku termenung, iya juga ya, orang yang disebut ‘asing’ itu ternyata juga membutuhkan makan, jika bukan dari kita, lalu dari mana lagi, padahal kitalah salah satu bangsa pengguna terbanyak mesin-mesin itu. Lalu pikiran egosentrisku muncul, biarkan mereka membuat motor-motor, mobil-mobil, mesin-mesin dengan keringat bangsanya, toh yang menikmati kita juga, tanpa capek-capek, tanpa pegal linu, bisa memakai produk bangsa jepang yang berkualitas, dengan begitu kita sudah memberi makan mereka, sepadan kan?

Rupanya Tuhan memang maha mengatur segalanya. Orang Jepang pandai membuat mesin, kita sebagai pemakainya. Orang Jepang memiliki sumber daya alam terbatas tapi diberi kelebihan oleh yang maha kuasa. Sedang kita diberi anugerah tanah air yang luas dan sumber daya alam yang melimpah, sehingga seorang petani sekalipun dengan mudah membeli mesin-mesin buatan Jepang hanya dari sebagian hasil panen mereka.

Maka para pemuja nasionalisme buta, para penggagas wacana-wacana senewen akan berkoar-koar tentang dominasi kaum asing atas bangsa kita. Mereka tak henti-hentinya berwacana untuk mengajak sebanyak-banyaknya orang untuk mengambil alih dominasi asing itu, tanpa memberikan solusi bagaimana melakukannya. Tanpa sadar mereka sedang menggunakan pengeras suara buatan asing, Berangkat kerja sehari-hari naik mobil buatan asing, bahkan baju yang dipakainya dijahit menggunakan jarum yang dibuat orang-orang asing. Sepatu mereka mengkilap karena disemir dengan minyak khusus buatan asing, bajunya rapi bermerek buatan asing, jam tangan mahal yang dibuat oleh orang asing.
Aku terus melaju dengan motor baru buatan Jepang. Kali ini aku berbelok masuk ke jalan yang lebih lebar. Sejenak kemudian aku sampai di jalan yang baru diperbaiki. Jalan diperlebar dengan aspal mulus yang disebut aspal korea. Lagi-lagi aku menggunakan fasilitas yang mempunyai embel-embel asing. Aku mencoba ngebut dengan kecepatan 80km/jam, ternyata motor yang aku tumpangi masih terasa nyaman. Angin menerpa helmku sehingga masuk ke sela-sela lubang dan mengenai mukaku. Karena ingat peristiwa sedan dengan logo “T” tadi, seketika aku pelankan motor sampai kecepatan 50km/jam. Aku kembali membaca sholawat dan do’a, karena disini banyak mobil-mobil besar yang melaju kencang, dari yang mengangkut semen dan pasir sampai mengangkut sayuran hasil petani-petani desa yang hampir semua buatan orang Jepang. Sesaat kemudian aku sudah masuk perkampungan dimana aku dilahirkan. Sampai bunyi terakhir mesin motor buatan Jepang yang aku tumpangi. Rupanya aku sudah sampai di rumah. Alhamdulillah, aku tiba dengan selamat.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun