Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang memiliki komitmen tinggi dalam pendidikan. Komitmen tersebut dibuktikan dengan pencantuman upaya pencerdasan bangsa dalam konstitusi tertinggi negara. Sebagai manifestasi komitmen, pemerintah menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga dari mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Pemerintah mengupayakan penyelenggaraan pendidikan agar dapat berjalan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Dalam kerangka tersebut, pemerintah menyelenggarakan pendidikan yang memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada individu-individu. Warga negara normal (baca: tidak menyandang disabilitas) diberikan akses untuk mengenyam pendidikan. Pun dengan warga negara yang tidak normal (baca: penyandang disabilitas) diberikan akses serupa. Namun demikian, warga negara penyandang disabilitas belum diberi akses mengenyam pendidikan tinggi secara maksimal. Untuk itulah tulisan singkat ini menelaah tentang penyelenggaraan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas serta strategi mewujudkan kampus yang ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas.
Penyandang Disabilitas dan Perguruan Tinggi: Telaah Fakta dan Kebijakan
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas(1). Penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas diatur pemerintah melalui regulasi yang diwujudkan dalam berbagai kebijakan pendidikan dan kebijakan lain yang terkait. Bentuk pendidikan bagi penyandang disabilitas diselenggarakan dengan memisahkan penyandang disabilitas dari pendidikan reguler. Bentuk pendidikan semacam ini disebut dengan model pendidikan segregasi.
Salah satu regulasi dalam bentuk undang-undang yang ditetapkan pemerintah mengenai penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas yaitu Undang Undang (UU) No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa. Dalam UU tersebut bentuk pendidikan bagi penyandang cacat terbagi ke dalam tiga satuan pendidikan yaitu Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB), dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB)(2).
Dalam regulasi lain, sebagai bentuk afirmasi, UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat mengamanatkan pemerintah untuk menyediakan aksesabilitas pendidikan bagi penyandang cacat pada semua satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan(3).
Melalui UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah menetapkan pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. UU tersebut mengatur warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial agar berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus sendiri merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan (penyandang disabilitas) atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah(4).
Kebijakan pemerintah untuk mengakui dan menyelenggarakan pendidikan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional di satu sisi merupakan upaya yang patut diacungi jempol. Lewat kebijakan tersebut pemerintah menunjukkan kepedulian terhadap pendidikan bagi penyandang disabilitas. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa selama ini penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas hanya dilaksanakan (baca: diatur) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Tidak ada regulasi yang mengatur penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi. Pemerintah seolah menutup akses penyandang disabilitas untuk dapat mengenyam pendidikan tinggi selepas menyelesaikan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah.
Dalam UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat pemerintah secara jelas menetapkan peraturan agar semua penyandang cacat dapat mengakses pendidikan pada semua satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Namun pemerintah tidak secara tegas mengatur penyelenggaran pendidikan tinggi yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas dalam UU No. 20 Tahun 2003 pun hanya menyebutkan penyelenggaraan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dalam regulasi terbaru yang dikeluarkan pemerintah berbentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan hanya ada penyebutan mengenai kewajiban Perguruan tinggi untuk menyediakan akses bagi mahasiswa berkelainan(5). Adapun pelaksanaan pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi tidak diatur dalam PP tersebut.
Model pendidikan model segregasi pada tingkat pendidikan dasar dan pendidikan menengah meniscayakan adanya pembiayaan yang tinggi karena hampir dapat dipastikan di setiap daerah di Indonesia terdapat penyandang disabilitas yang jumlahnya tidak sedikit. Jika model pendidikan segregasi harus diselenggarakan pada perguruan tinggi, maka pemerintah juga harus menggelontorkan biaya yang tinggi khusus untuk penyandang disabilitas demi menjamin tersedianya akses pendidikan tinggi bagi mereka. Pemerintah sepertinya memandang pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas bukan merupakan hal yang penting. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas juga menjadi salah satu media pencapaian target wajib belajar 9 tahun bagi anak usia sekolah, sehingga penyelenggaraan pendidikan segregatif pada tingkat dasar dan menengah dianggap sudah cukup karena pemerintah sudah menggugurkan kewajiban.
Pada dekade terakhir ini muncul pergeseran paradigma pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pendidikan dengan model segregasi dinilai tidak memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk hidup dan mengenyam pendidikan normal seperti peserta didik di sekolah-sekolah reguler. Pemisahan mereka dari kenormalan menjadikan mereka terasing. Penyandang disabilitas merasa bahwa mereka hidup di lingkungan yang eksklusif dari kenormalan, dan merasa bahwa kenormalan yang terpisah dari mereka juga sebagai lingkungan yang eksklusif.
Dari pemikiran itu kemudian muncul paradigma pendidikan yang tidak lagi memisahkan penyandang disabilitas, namun sebaliknya menyatukan mereka dalam pendidikan reguler. Muncullah model pendidikan inklusif. Model pendidikan tersebut telah diadaptasi di banyak negara(6). Indonesia sendiri telah menetapkan kebijakan model inklusif moderat atau disebut juga mainstreaming dimana penyandang disabilitas digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja(7). Model mainstreaming ini dijadikan sebagai model pendidikan bagi penyandang disabilitas dalam rangka pemenuhan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan inklusif dinilai sebagai model pendidikan yang menjanjikan aksesabilitas tinggi bagi semua warga negara Indonesia, terutama penyandang disabilitas. Menurut data dari Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif adalah sebanyak 814 sekolah yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah siswa mencapai 15.181(8). Jumlah yang tidak sedikit ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas.
Pada tataran kebijakan pendidikan inklusif, pemerintah lagi-lagi terlihat kurang konsen – untuk tidak mengatakan tidak – dalam menggarap pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas. Dalam regulasi terbaru mengenai pendidikan inklusif dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen), tidak ada satu pasal pun yang mengatur penyelenggaraan pendidikan inklusif pada perguruan tinggi(9). Kebijakan pemerintah dalam memberikan ruang bagi penyandang disabilitas untuk dapat mengenyam pendidikan pada perguruan tinggi patut dipertanyakan.
Pada tataran wacana terkait pendidikan inklusif, penulis sendiri tidak menemukan adanya pembicaraan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas. Hampir-hampir tidak ditemukan literatur-literatur mengenai pendidikan luar biasa, pendidikan untuk penyandang disabilitas, dan pendidikan inklusif yang dilaksanakan di perguruan tinggi. Padahal pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas sudah selayaknya dimasukkan dalam grand design sistem pendidikan nasional karena mereka memiliki hak yang sama seperti orang-orang normal lain yang memiliki akses untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Tidak adanya regulasi yang mengatur pelaksanaan pendidikan di perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas ditanggapi pihak kampus dengan tidak menyelenggarakan pendidikan khusus bagi penyandang disabilitas. Jika ada pun penyelenggaraannya tidak secara optimal. Bahkan sering terjadi kasus penolakan oleh pihak kampus ketika ada penyandang disabilitas yang ingin mendaftarkan diri menjadi mahasiswa perguruan tinggi.
Kampus Ramah dan Non-Diskriminatif bagi Penyandang Disabilitas
Pendidikan tinggi yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas belum menjadi isu yang secara serius digarap baik oleh pemerintah maupun kampus. Dalam rangka mewujudkan kampus yang ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas, pemerintah harus melakukan diseminasi secara menyeluruh mengenai isu pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kebijakan-kebijakan terkait penyandang disabilitas yang kurang menyediakan ruang memadai untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi perlu untuk dirumuskan kembali. Untuk itulah, pemerintah diharapkan segera menetapkan kebijakan yang tidak setengah-setengah dalam penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas merupakan hak yang harus dipenuhi pemerintah.
Wacana-wacana mengenai isu pendidikan tinggi bagi penyandang disabilitas perlu untuk terus dikembangkan. Literatur-literatur mengenai pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi perlu disediakan. Jika memang tidak ada, maka perlu diadakan riset-riset mengenai pengembangan kampus inklusif agar dapat menyediakan akses bagi penyandang disabilitas.
Pada tingkat operasional, pelaksanaan pendidikan bagi penyandang disabilitas berbeda dengan pendidikan reguler pada umumnya. Konsep dan model pendidikan bagi penyandang disabilitas, baik segregatif maupun inklusif, memiliki perbedaan. Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam pelaksanaan pendidikan penyandang disabilitas terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola sebagai bentuk strategi mewujudkan kampus ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas.
Pertama, manajemen kemahasiswaan. Kondisi mahasiswa dalam setting pendidikan bagi penyandang disabilitas lebih majemuk jika dibandingkan kondisi mahasiswa reguler. Maka dari itu manajemen kemahasiswaan menjadi hal yang perlu diperhatikan. Tujuan dari manajemen kemahasiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan. Kampus perlu mengidentifikasi input mahasiswa sehingga dapat diketahui kebutuhan yang diperlukan mahasiswa penyandang disabilitas. Selain itu, kampus juga dapat bekerjasama dengan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan luar biasa (SLB) dan pendidikan inklusif dalam penanganan calon mahasiswa penyandang disabilitas.
Kedua, manajemen kurikulum. Kurikulum yang digunakan dalam pembelajaran mahasiswa penyandang disabilitas harus merupakan kurikulum yang tanggap terhadap perbedaan. Kurikulum harus dimodifikasi sedemikian rupa dengan tanpa menafikan kurikulum resmi. Kurikulum harus berisi Program Pembelajaran Individual (PPI) atau Individualized Education Program (IEP) agar mahasiswa penyandang disabilitas dapat terbantu dalam proses pembelajaran. Intinya, mahasiswa tidak dipaksa untuk mengikuti kurikulum yang ditetapkan, namun sebaliknya kampuslah yang harus melakukan penyesuaian dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam diri mahasiswa.
Ketiga, manajemen tenaga kependidikan. Kampus harus menyediakan dosen yang memiliki pemahaman mengenai konsep pendidikan bagi penyandang disabilitas. Dosen-dosen yang akan berhadapan dengan mahasiswa penyandang disabilitas harus merupakan dosen yang memahami kebutuhan penyandang disabilitas. Jika dibutuhkan, disediakan juga dosen khusus yang akan ditugaskan untuk melaksanakan Program Pembelajaran Individual bagi mahasiswa penyandang disabilitas yang membutuhkan.
Keempat, manajemen sarana dan prasarana. Tersedianya sarana dan prasarana yang memadai merupakan prasyarat dalam mewujudkan kampus inklusif. Fasilitas kampus dari mulai bangunan fisik hingga fasilitas di kelas merupakan hal yang memungkinkan mahasiswa penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan yang mereka butuhkan. Bangunan fisik kampus harus dibangun sesuai kondisi, misalnya, mahasiswa yang memakai kursi roda dapat masuk dan keluar kelas dengan leluasa. Kelas-kelas di kampus juga harus memiliki fasilitas yang memungkinkan pembelajaran bagi penyandang disabilitas dapat berjalan dengan lancar dan mencapai tujuan. Mahasiswa penyandang tuna netra, misalnya, disediakan buku-buku dengan huruf braille agar tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran.
Kelima, manajemen keuangan/dana. Pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas di kampus merupakan hal yang penting. Pembiayaan seringkali menjadi momok sehingga pihak kampus merasa pesimis bahkan antipati untuk menyelenggarakan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, kampus, dan masyarakat perlu melakukan koordinasi mengenai pembiayaan pendidikan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi. Permasalahan pembiayaan harus menjadi konsen bersama semua stake holder pendidikan tinggi.
Strategi dalam mewujudkan kampus ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas harus menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat, pemerintah daerah, kampus dan masyarakat. Kampus inklusif yang ramah, dan non diskriminatif dapat diwujudkan jika pemerintah, lewat kebijakan yang ditetapkan, memberikan dukungan penuh. Perguruan tinggi harus memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan bagi penyandang disabilitas. Seluruh stake holder yang berkepentingan harus memiliki komitmen tinggi dalam upaya mewujudkan kampus inklusif yang ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas.
Penutup
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait dengan pendidikan pada jenjang perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas belum dijadikan salah satu agenda pendidikan yang digarap secara serius. Pemerintah mewajibkan perguruan tinggi untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas. Kewajiban yang dibebankan kepada perguruan tinggi tersebut dirasakan tidak jelas pelaksanannya sehingga seringkali tidak dilaksanakan atau jika dilaksanakan pun tidak maksimal.
Pemerintah dan kampus harus melakukan kordinasi dalam penyelenggaraan pendidikan bagi penyandang disabilitas. Kebijakan mengenai pendidikan bagi penyandang disabilitas harus secara jelas ditetapkan. Kampus harus siap menjadi program pendidikan lanjutan bagi penyandang disabilitas yang sudah menyelesaikan pendidikan pada jenjang di bawahnya sehingga kampus inklusif yang ramah dan non-diskriminatif bagi penyandang disabilitas dapat diwujudkan.
(1) Istilah disabilitas atau dalam bahasa Inggris disability digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen. Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley&Sons, 1982), h. 27. Lihat juga AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford University Press, 1995), cet. ke-5, h. 327.
(2) Undang Undang Republik Indonesia No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa, Pasal 4.
(3) Undang Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat
(4) Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 Ayat 2, Pasal 15 dan Penjelasan Pasal 15, dan Pasal 32 Ayat 1.
(5) Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan, Pasal 131 Ayat 5. Pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh Kementrian Pendidikan Nasional juga tidak menyebutkan prosedur pelaksanaan pendidikan inklusif di perguruan tinggi. Lihat Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007.
(6) Len Barton dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change: Cross-Cultural Reflections on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007. Buku ini membahas pelaksanaan pendidikan inklusif di beberapa negara.
(7) Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” darihttp://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni 2010. Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus. Lihat George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), h. 462. Ada yang menyatakan bahwa dalam inklusi tidak terdapat adanya model. Yang perlu ditekankan dalam inklusi adalah filosofi dan semangat yang dimiliki. Dengan demikian, penerapan pendidikan inklusif di masing-masing negara akan berbeda-beda. Lihat misalnya dalam milis (mailing list) Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional. Dalam milis ini Julia Maria van Tiel mengemukakan beberapa contoh pelaksanaan pendidikan inklusif di beberapa negara. Untuk lebih jelas lihat Julia Maria Van Tiel, “Pembenahan Pendidikan Inklusif”, darihttp://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18 April 2010.
(8) Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h. 5.
(9) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasar dan/atau Bakat Istimewa.
Daftar Pustaka
B. Schulz, Jane, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, Boston: Allyn and Bacon, 1991.
Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change: Cross-Cultural Reflections on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007.
Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional.
Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” darihttp://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni 2010.
Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, Oxford: Oxford University Press, 1995, cet. ke-5.
M. Stephens, Thomas, dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John Wiley&Sons, 1982.
Maria Van Tiel, Julia, “Pembenahan Pendidikan Inklusif”, darihttp://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18 April 2010.
Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasar dan/atau Bakat Istimewa.
Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pendidikan.
S. Morrison, George, Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009.
Undang Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
Undang Undang Republik Indonesia No. 72 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Biasa.