Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Merebut Anggaran Publik*

6 September 2014   05:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29 58 0
*Dimuat di RADAR TEGAL edisi Senin, 25 Agustus 2014

Belakangan ini publik Kabupaten Tegal disuguhi polemik Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) tahun 2014 antara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tegal Periode 2009-2014 dan Bupati Tegal. Anggota legislatif menyampaikan aspirasi agar ada porsi dana hibah dan bantuan sosial (bansos) yang perlu dialokasikan dalam APBD-P tahun 2014. Aspirasi tersebut ditentang oleh Bupati Tegal Enthus Susmono karena tidak memenuhi prosedur. Namun Bupati menjanjikan akan mengakomodasi aspirasi itu pada APBD-P tahun 2015 (Radar Tegal, 19-20 Agustus 2014).

Betul bahwa prosedur penganggaran dana hibah dan bansos pada APBD-P Kabupaten Tegal tahun 2014 tidak terpenuhi karena tidak diajukan sebelum sidang paripurna sehingga mendapat tentangan dari Bupati. Mengapa pengajuan aspirasi tersebut dilakukan setelah sidang paripurna?.

Hal yang juga perlu mendapat sorotan adalah urgensi dari alokasi dana hibah dan bansos yang diinginkan anggota legislatif. Anggota legislatif berargumen bahwa dana hibah dan bansos adalah bagian dari pokok-pokok pikiran DPRD yang tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya (baca: partai). Fenomena yang sering mengemuka tentang dana hibah dan bansos tidak lain adalah mengenai penyelewengan dalam penggunannya.

Anggaran Milik Publik

Masih segar dalam ingatan kita mengenai beberapa anggota DPRD Kabupaten Tegal periode 2004-2009 yang menjadi tersangka korupsi dana bansos penggemukan ternak sapi. Kita tentu tidak ingin kasus serupa terulang kembali. Keterlibatan anggota DPRD dalam kasus korupsi memang bukan hal baru. Indonesia Corruption Watch (ICW) baru-baru ini merilis temuan terbaru mengenai pejabat yang paling banyak melakukan korupsi di pemerintahan pusat dan daerah. Dari data itu ditemukan 6 (enam) pejabat yang selama ini dianggap kerap melakukan korupsi yaitu pegawai pemda di kementerian (42,6%), direktur/komisaris pegawai swasta (18.9%), kepala dinas (8,6%), anggota DPR/DPRD (7,5%), direktur komisaris BUMD (5,1%), dan kepala daerah (3,7%).

Pengalaman berbicara bahwa dana hibah dan bansos kerap menjadi pintu masuk korupsi baik melalui pemotongan oleh anggota legislatif maupun penggunaan dana yang sering tidak sesuai peruntukan oleh penerima. Modus yang biasa digunakan adalah lembaga penerima fiktif, lembaga penerima alamatnya sama, dana hibah dan bansos disunat, penerima dana tidak jelas, dan dana dialirkan ke lembaga milik keluarga atau kroni anggota legislative.

Menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif, biasanya terjadi tren peningkatan alokasi dana hibah dan bansos di daerah. Setelah proses pemilihan berakhir, proses pengalokasian dana hibah dan bansos biasanya juga meningkat. Jika menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilihan legislatif dana hibah dan bansos banyak diselewengkan untuk mendanai kampanye calon petahana (incumbent), pasca pemilihan dana hibah dan bansos diselewengkan untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan selama kampanye. Maka tidak heran jika dikatakan bahwa dana hibah dan bansos sangat kental nuansa politis.

Publik perlu sadar bahwa fenomena penyelewengan dana hibah dan bansos merupakan fakta bahwa APBD yang seharusnya milik publik malah menjadi bancakan politisi yang duduk di legislatif dan eksekutif. Fakta ini juga menjadi catatan bagi publik bahwa pemerintah yang dipilih langsung oleh publik melalui prosedur demokratis tidak otomatis menjadi representasi publik yang diharapkan dapat membawa kepentingan publik.

APBD dan perubahannya merupakan kesepakatan tertulis antara eksekutif dan legislatif dalam bidang keuangan untuk keperluan pembangunan daerah dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar publik. Mengingat pentingnya APBD bagi publik maka alangkah baiknya jika proses APBD didorong untuk melibatkan publik dan diawasi agar implementasinya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan publik. Proses pengawasan terhadap APBD dapat menjadi instrumen publik agar eksekutif dan legislatif bertanggungjawab dan menekankan akuntabilitas atas penggunaan uang publik. Kegiatan memantau dan mengawal proses penganggaran sama pentingnya dengan menjaga agar pelaksanaan pembangunan daerah dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kepentingan publik.

Tuntutan adanya partisipasi publik dalam penganggaran (participatory budgeting) sejatinya merupakan konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah. Kebijakan ini sudah seharusnya dapat dimanfaatkan oleh beberapa pihak yang berkepentingan untuk melibatkan partisipasi publik, misalnya melalui forum-forum deliberatif sebagai upaya penguatan kapasitas partisipasi publik dan penciptaan ruang-ruang publik untuk menyambungkan relasi antara masyarakat sipil dengan pemerintah (Joshua Cohen, 1989).

Kesan yang mencuat selama ini adalah bahwa proses penganggaran hanya menjadi domain legislatif dan eksekutif. Publik hanya menjadi objek pelengkap penderita yang seringkali hanya mendapat porsi kecil dari APBD. Maka niatan Bupati Tegal agar sidang-sidang perlu diketahui, dipublikasikan, dan atau melibatkan publik di dalamnya patut mendapat apresiasi. Bahkan ada rencana agar setiap rapat paripurna dan badan anggaran dapat disiarkan melalui radio dan direkam sebagai dokumen. Bupati pun tidak ingin APBD dibahas setengah kamar. (Suara Merdeka, 19 Agustus 2014)

Komitmen Pemerintah

Pada akhir bulan Agustus ini anggota legislatif terpilih Kabupaten Tegal akan dilantik. Publik Kabupaten Tegal tentu menaruh harapan besar kepada wajah baru dan (mungkin) kepada wajah lama yang akan duduk di kursi dewan periode 2014-2019. Ekspektasi publik ini seiring dengan apa yang juga mereka harapkan dari wajah baru eksekutif Kabupaten Tegal di bawah kepemimpinan Bupati Enthus Susmono dan Wakil Bupati Umi Azizah yang telah berjalan selama kurang lebih 8 (delapan) bulan. Sinergi yang terbangun antara legislatif dan ekeskutif Kabupaten Tegal sangat diharapkan demi terwujudnya good government dan clean governance yang mendukung pencapaian visi dan misi pemerintah Kabupaten Tegal yang telah dicanangkan.

Kasus korupsi dan penyelewengan anggaran yang sudah banyak dipertontonkan ke hadapan publik semoga tidak terulang. Penyalahgunaan APBD yang disinyalir terjadi secara terstruktur dan sistematis dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Publik tentu tidak ingin ada lagi pejabat preman, meminjam istilah Busyro Muqoddas salah satu petinggi KPK, hadir di tengah-tengah Kabupaten Tegal. Sudah cukup beberapa anggota legislatif dan Bupati terdahulu yang masuk bui. Kelemahan sistemik APBD yang hanya disusun berdasarkan asumsi, tidak disusun berdasarkan cara yang demokratis, dan tidak akademis harus disudahi oleh wajah-wajah baru legislatif dan eksekutif agar anggaran daerah yang ada benar-benar menjadi milik publik Kabupaten Tegal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun