Melihat gegap gempitanya pesta Demokrasi Indonesia yang katanya media asing sebagai pesta demokrasi paling demokratis dan terbesar di dunia. Mengilhami saya untuk menulis opini ini dari sudut orang yang hidup di desa, yang mana gotong royong dan musyawarah mufakat masih di lakukan.
Begitu antusiasnya para caleg menjajakan dirinya memohon agar dipilih yang seakan-akan memohon sebuah pekerjaan, sehingga bukan lagi sebuah bentuk pengabdian bagi Bangsa ini. Berseliweran wajah-wajah asing tanpa kita ketahui latar belakangnya, bahkan dengar namanya pun tidak, ini adalah pesta judi terbesar di dunia, yang membutuhkan pertaruhan yang terbesar se dunia. Â Seluruh Bangsa Indonesia adalah taruhannya yaitu Saya anda beserta seluruh keluarga dan kerabat kita.
Suatu ketika saya mengikuti sebuah kegiatan arisan di desa, dimana biasanya para warga yang sudah berkeluarga mengirimkan perwakilannya untuk mengikuti arisan tersebut. Arisan ini diadakan sebulan sekali. Begitu pentingnya pertemuan ini hingga setiap Kepala Keluarga di beri undangan.
Momen arisan ini dijadikan sebuah ajang untuk membicarakan sebuah masalah atau ide bagi warga, dan disinilah terlihat jelas peran ketua RT dan pemuka agama/tetua mengarahkan apa yang terbaik bagi warga bahkan memberi solusi yang jitu bagi segala permasalahan yang ada. Ini adalah sebuah bentuk pengamalan Pancasila sila ke 4, KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAH KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN/PERWAKILAN. Sebuah musyawarah untuk mufakat yang terpimpin. Coba kalau sebuah masalah atau ide menggunakan voting, akan ada banyak kepentingan pribadi yang muncul yang pada akhirnya akan menjadi sebuah perpecahan dan pertengkaran.
Melihat kepemimpinan ketua RT, kita semua tahu bahwa ketua RT pasti dipilih dari orang yang terbaik, paling sabar, paling sakinah kelurganya dan paling bijak diantara warga tersebut. Memilih seorang RT sangat mudah karena beliau adalah tetangga kita, tentu kita sangat mengenal beliau. Dan lagi jadi ketua RT jelas adalah sebuah pengabdian, karena saya sendiri pasti berpikir banyak untuk mengiyakan dijadikan ketua RT. Hal ini sangat kontras dengan memilih seorang anggota dewan.
Dari hal diatas saya jadi berpikiran alangkah baiknya sebuah pemilihan para pemimpin bangsa dilakukan secara musyawarah mufakat oleh para perwakilan yang sebenarnya, yaitu dengan cara para ketua RT bermusyawarah untuk mufakat memilih diantara mereka ketua RW, lalu para ketua RW melakukan hal serupa untuk memilih dukuh, para dukuh menentukan Kades, begitu seterusnya hingga para Gubernur bermusyawarah untuk mufakat memilih diantara mereka menjadi Presiden.
Dengan langkah ini tidak hanya ongkos demokrasi yang sangat murah dan tentu benar-benar menghasilkan sosok pemimpin yang penuh pengabdian dengan konsep pelayanan dan sosoknya secara moral budi pekerti sudah tidak perlu ditanyakan lagi karena seorang Presiden merintis kepemimpinannya dari seorang ketua RT. Seorang pemimpin bangsa harus bisa membuktikan dirinya bisa memimpin lingkungan terkecil, dari memimpin keluarganya dulu, lalu memimpin warga disekitarnya. Bagaiman bisa memimpin lebih dari 300 juta bangsa Indonesia sedangkan memimpin anak dan istrinya saja tidak mampu, alih-alih memberikan suri tauladan. Sebagaimana kita tahu ketua RT adalah sosok yang paling ideal diantara lingkungan RT.
Konsep one man one vote, kurang cocok bagi bangsa ini, seperti tulisan saya sebelumnya, mengenai Pancasila, karena bangsa Indonesia atau Nuswantara terdiri dari banyak suku bangsa dan agama, belum lagi perbedaan kemampuan masing-masing individu, dan tentunya nilai suara anak berumur 17 tahun, tentu berbeda dengan orang dewasa yang berumur 40 tahun, belum lagi faktor-faktor lainnya seperti intelektualitas, mentalitas, pengalaman, moral, dan sebagainya, karena itulah diperlukan sebuah perwakilan. Inilah menurut saya konsep demokrasi terpimpin, atau yang disebut dalam Pancasil sila ke-4.
Begitulah opini sederhana saya mengenai praktek demokrasi ala amerika, yang menyebabkan saudara-saudara sebangsa setanah air menjadi orang yang mengejar kekuasaan belaka, memperkaya diri, menjual jiwa dengan nilai ratusan ribu, tidak adanya kesantunan, budi pekerti yang makin luntur, saudara yang kini terpecah-belah dengan warna bendera masing-masing. Padahal bendera kita cuma satu Merah Putih, lagunya pun sama Indoesia Raya, dan satu Ibu Pertiwi.
Salam,
Kali Yuga
Pinggir kali Mahardhika