Gerakan non-tunai di Kenya dipelopori Vodafone, perusahaan telekomunikasi asal Inggris. Inisiasinya dimulai sejak tahun 2003 pada pertemuan World Summit for Sustainable Development di Johanesburg, Afrika Selatan.
Saat itu, Susie Lonie, petinggi Vodafone, menawarkan pengunaan jaringan telekomunikasi untuk memperluas financial inclusion. Kala itu (2003), akses masyarakat ke perbankan masih sangat rendah. Paling tidak, dua miliar orang dewasa belum tersentuh perbankan. Mayoritas berada di negara berkembang dan dunia ketiga.
Kenya dipilih sebagai ujicoba pertama. Alasannya mendasar: 70% warga dewasa negara itu tak memiliki akses ke perbankan. Serta penetrasi Vodafone di negara itu relatif tinggi.
Pada 2015, Vodafone (melalui anak perusahaannya Safaricom),meluncurkan M-Pesa. Suatu integrasi layanan komunikasi seluler dengan transaksi perbankan. Untuk melakukan transaksi keuangan: pengguna cukup berkirim pesan pendek (sandek).
Sandek dari Sadaricom bisa digunaka untuk beragam transaksi: transfer uang ke bank, membayar beragam tagihan dan abonemen, belanja, bahkan membayar angkutan umum. Yang lebih revolusioner, dana bisa dicairkan di konter-konter penjual pulsa.
Untuk melakukan transaksi, pengguna tak harus memiliki rekening bank. Nomor telepon dan ponsel itulah sebagai "nomor rekening" dan "buku tabungan". Konsep ini sangat memudahkan warga dalam melakukan transaksi keuangan.
Gerakan ini menuai sukses besar. M-Pesa sebagai konsep pertama branchless banking kemudian diadopsi secara luas di lebih dari 100 negara. Sejumlah modifikasi dilakukan, tetapi intinya sama: branchless banking dan minimalisasi penggunaan uang tunai. Â
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, gerakan branchless banking sudah diinisiasi oleh Bank Indonesia sejak 10 tahun silam. Start-nya relatif tak berselang lama dibanding Kenya. Tetapi barangkali, finish atau hasilnya berbeda.
Melalui program Bank Indonesia, kita sudah memiliki uang elektronik berbasis pulsa telepon seluler (ponsel) ponsel sejak tahun 2007. Di antaranya, Telkomsel dengan program T-Cash, kemudian Indosat dengan Dompetku, serta XL Axiata dengan program XL Tunai.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna gagdet terbesar di dunia. Secara teori, mestinya penetrasi branchless banking dan gerakan non-tunai lebih berhasil. Namun realitanya tidak selalu paralel. Bank Indonesia harus berkerja lebih keras. Karena memang tak mudah menginisiasi program baru bagi masyarakat Indonesia. Apalagi bila program tersebut menyangkut transaksi keuangan.
Salah satu faktor barangkali, sebagian masyarakat lebih tergiur keuntungan jangka pendek. Pun dalam hal gerakan non-tunai. Sebagian lebih berharap adanya keuntungan yang bersifat jalan pintas.
Pada tahun 2010 misalnya, jumlah orang dewasa di Indonesia yang sudah memiliki rekening bank baru mencapai 19,6 persen. Jumlah yang sama dengan Kenya pada lima tahun sebelumnya! Untuk meningkatkan angka "melek bank", Bank Indonesia meluncurkan program TabunganKu. Pada 2013, program tersebut menambah jumlah rekening hingga 4,7 juta akun. Cukup besar tetapi barangkali belum optimal.
Mayoritas masyarakat enggan ke bank dengan alasan klasik: ribet, jauh, tak sempat, dan alasan lainnya. Bagaimana jika akses ke perbankan dipermudah melalui ponsel? Dalihnya tetap: ribet. Inilah yang membuat pelaksanaan gerakan branchless banking dan non-tunai relatif lebih berat di Indonesia.
Kendala ini juga terjadi pada bidang lain: betapa sulit menjalankan program non-tunai. Misalnya program parkir berlangganan dan lainnya.
Sindrom Pak Ogah
Masyarakat sering lebih ngarep "stimulus tunai" dari program pemerintah. Kalau ada sosialisasi program baru, masyarakat berharap memperoleh yang seketika (langsung). Kalau ikut program ini dapat apa? Kalau mengikuti sosialisasi nanti mendapat apa? Kalau tidak dapat "apa-apa", maka bubar jalan.
Sindrom Pak Ogah dalam sinema boneka Si Unyil, agaknya mewabah di negara kita. Jika diajak maju atau menjalankan program, maka akan bertanya: cepek dulu dong (meminta imbalan).
Perilaku ini agaknya juga menghinggapi birokrasi. Jika diminta melakukan inisiasasi suatu program, tak jarang bertanya: ada anggarannya atau tidak? Kalau tidak ada anggarannya atau dana mirim, mereka cenderung menjalankan program secara asal-asalan. Sehingga hasilnya kurang optimal.
Inilah satu satu tantangan yang menghadang gerakan non-tunai yang digulirkan Bank Indonesia. Meskipun, tantangan tersebut tidak bersifat karasteristik, melainkan merupakan fenomena umum di Indonesia.
Capek Dulu Dong!
Dengan adanya tantangan tersebut, Bank Indonesia harus bekerja lebih keras. Karena mengubah pola pikir itu tidak mudah. Gerakan non-tunai sangat baik dan sangat memudahkan masyarakat.
Para penulis (kontibutor maupun freelancer) sudah sangat merasakan manfaat gerakan non-tunai. Honor tulisan biasanya dikirim secara non-tunai. Jadi tanpa "disuruh" membantu sosialisasi pun, para penulis akan dengan senang hati melakukan.
Masyarakat umum akan sangat terbantu jika gerakan non-tunai sudah menjadi budaya. Transaksi keuangan sehari-hari bisa lebih mudah, aman, lancar, dan praktis. Tetapi sosialisasi harus dilakukan secara gencar untuk menghapus hambatan seperti diurai di atas.
Untuk mengajak masyarakat memahami (dan melaksanakan) gerakan non-tunai, perlu dilakukan penyadaran secara kontinu. Sosialisasi melalui lomba blog dan saluran literasi lain sangat efektif. Karena melalui tulisan, masyakat bisa lebih mudah disadarkan.
Jika masyarakat sudah menyadari manfaat gerakan non-tunai, maka mereka dengan senang hati melakukannya. Agar kondisi ini tercapai, semua pihak harus bekerja keras. Ingin gerakan non-tunai sukses? Capek dulu, dong!...