Salah satu akun baru-baru ini memakan korban. Gara-gara kepincut kontennya, lantas kopi darat. Kemudian peristiwa miris terjadi. Si Tata Chuby tewas ditangan pemakai jasanya sendiri.
Akun medsos radikal alias Rara Gadis Nakal, gampang ditemui di dunia maya. Selain di fesbuk juga di twitter. Isinya, tak lebih dari upaya transaksi dan jual beli.
Fesbuk mesum sudah ada sejak zaman dulu. Juga forum-forum cabul. Sejak dulu pula kita mahfum (kita, loe aja kaleee), situs-situs itu dioperatori bandar untuk memperluas jangkauan pasar.
Para "tante cantik" di fesbuk itu gemar memajang fotonya gratisan. Tapi bukan karena mereka suka berderma apalagi berbagi kesenangan. Karena yang gratis tapi seklumit itu, cuma "sample". Kalau mau full version ya bayar.
Tapi jangan salah terka. Tubuh-tubuh indah dalam foto-foto itu tak kerapkali seindah aslinya. Pelayananannya juga tak semenarik promosinya. "Jutek dan maunya cepat-cepat," kata Rio, si pembunuh Tata Chuby. Persis cerita kawan saya, yang sudah lama malang melintang dunia begituan.
Ya iyalah. jangan berharap ada ketulusan di sana. Yang ada hanya uang, uang, dan uang. Ada uang abang (pura-pura) kusayang. Tak ada uang jangan harap mereka mau bergoyang.
Tak Bisa Ditutup
Bisakah situs-situs radikal (rara gadis nakal) itu ditutup. Kata AKBP Hilarius Duha, Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Poldam Metro Jaya, tidak bisa. "Prostitusi online tidak diatur dalam udang-undang kita. Baik dalam KUHP maupun UU ITE," katanya pada Detik.com.
Jadi ada "kekosongan hukum". Karenanya, tidak bisa disanksi. Termasuk diblokir atau ditutup misalnya. Lha, wong tidak ada aturannya hukumnya. Saya jadi teringat Hakim Sarpin yang mengatakan, pengadilan tak boleh menolak upaya mencari keadilan dengan alasan tidak ada hukum yang mengatur.
Menurut Pak Polisi, yang diatur dalam KUHAP itu pergermoan. Kalau ada germonya, baru bisa dijerat. Yah, okelah kalau begitu.
Itu baru pendapat polisi. Bagaimana pendapat Menteri Komunikasi dan Informatika, yang lebih berkompeten soal pemblokiran? Belum tahu, kayaknya belum ada tanggapan Pak menteri terkait hal itu. Kayaknya juga, media nggak menjadikannya sebagai agenda setting.
Kata Psikolog, Berbahaya
Masih menurut Detik, situs pornografi itu berbahaya. Sosiolog UI Devie Rachmawati mengatakan, kecanduan pornografi mengakibatkan kerusakan bagian otak yang membuat orang menjadi lebih emosional dan agresif.  "Efek kecanduan pornografi sangat luar biasa dan berbahaya. Lebih parah dari kecanduan narkoba dan konten kekerasan," katanya.
Tapi tampaknya, pemerintah dan aparatnya tak berdaya. Lha mau gimana lagi, wong aturan hukumnya tidak ada.
Begitulah, karena aparat negara tutup mata, justru membuat saya tak bisa menutup mata pada situs tersebut. Janganlah. Eman-eman, katanya lagi fakir bandwith?