Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Beranikah KPU Menampik Media Partisan?

5 April 2015   17:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:30 62 0
Menurut Walter Lippmann dalam bukunya Public Opinion, demokrasi sejak lahirnya sudah cacat. Pasalnya, persepsi publik akan suatu pilihan, telah teracuni oleh realitas semu hasil konstruksi media (pers). Makanya jangan heran jika rakyat terkecoh oleh "pencitraan".

Andai pers bersikap netral pun, mereka memiliki kelemahan. Yakni karena adanya bias tak sengaja, stereotipe, maupun kelemahan dalam sistem kerja pers itu sendiri.  Itu jika pers-nya netral. Bagaimana jika pers sengaja "memiliki niat buruk", menunggangi jurnalisme untuk kepentingan ekonomi-politik? Apa tidak tambah bubrah?

Apalagi pula, jika pers partisan itu digandeng KPU dalam menyiarkan tahapan pemilu. Apa tidak semakin memprihatinkan?

Sikap partisan pers sudah kita lihat pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Banyak pemberitaan tidak proporsional. Beberapa terang-terangan menjadi corong dari salah satu kubu (Prabowo maupun Jokowi).

Menurut elemen dasar jurnalisme ala Bill Kovach, pers tak boleh selingkuh. Kesetiaannya hanya kepada kepentingan publik. Kudu independen dari kepentingan politik, penguasa, bahkan pemasang iklan.

Sekarang, kita akan menghadapi pilkada serentak. Pertanyaannya, apakah pers partisan berhak menjadi mitra KPU dalam menyiarkan tahapan pemilu? Atau harus dimasukkan ke dalam kotak, jangan dijadikan "official partner" dalam siaran debat calon?

Perkara ini penting. Mengingat calon dilarang beriklan mandiri. Biaya iklan di media massa (cetak maupun elektronik) ditanggung negara melalui KPU.

Negara juga mendanai kampanye penyebaran bahan  (poster, selebaran), alat peraga (baliho, spanduk), serta debat kandidat melalui televisi. Ketentuan tersebut termaktub dalam Undang-undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-undang.

Dengan begitu, KPU menjadi penentu utama dalam memilih media. Adapun calon bupati/gubernur justru dilarang beriklan mandiri.

Pura-pura Netral
Memang sih, tidak mudah menengarai suatu media partisan atau tidak. Kerapkali, ketidaknetralan itu "tersembunyi" di balik framing dan agenda setting.

Pada agenda setting, media partisan memaksakan berita (untuk dimuat atau malah diblokir). pers pura-pura tidak tahu, mana berita yang "bermakna" dan mana yang remah-remah.

Ketika seorang capres "masuk ke dalam got" misalnya, kemudian dilakukan konstruksi sedemikian rupa bahwa capres tersebut "sederhana" dan prorakyat. Atau sebaliknya, seorang capres dikesankan secara terus menerus sebagai "boneka".

Ketidaknetralan kian nyata terlihat pada framing. Yakni pada kebijakan kuantitas (berita tertentu tayang ulang berkali-kali, berita lain disembunyikan). Kemudian pemilihan angle (sudut pandang), serta pemilihan narasumber (yang itu-itu saja).

Perlu Digandeng?
KPU sebagai penyelenggara pemilu sebaiknya tegas. Media yang tak netral, idealnya jangan dilibatkan dalam tahapan resmi. Di antaranya uji publik dan kampanye. Ini sebagai upaya disinsentif.  Diharapkan, langkah ini bisa menghambat kekuatan kapital dan politik yang membajak jurnalisme untuk kepentingan ekonomi-politik.

Jangan justru malah menggunakan media pendukung masing-masing kandidat sebagai partner. Dengan alasan, agar adil dan berimbang, misalnya. Karena secara behavioristik justru akan mendorong pers untuk berpihak. Lantaran berharap adanya “jatah” yang melekat pada masing-masing calon.

Apalagi, demokrasi bukan milik kandidat tetapi tapi milik rakyat. Sehingga pemilihan media harus mengedepankan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan kandidat.

Jika pers netral, kita berharap demokrasi semakin sehat. Jika ada pers tidak netral, ya biarkan saja. Tapi harus ditampik partisipasinya dalam tahapan pilkada.

Kita tunggu, sejauh mana keberanian KPU. Apakah mereka berani menampik pers yang bersipa partisan?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun