“Kasih saja saja 2 pound. Sewanya biasanya seperti itu” kata abang saya.
Siang itu saya masih menunggu sandal saya yang masih dijahit oleh tukang sol sepatu yang ada di pinggir jalan, depan Universitas Afrika, Khartoum. Untung abang saya itu memberi tahu berapa sewanya karena dari tadi saya bingung berapa yang harus saya bayar. Dua pound Sudan kira-kira sama dengan 8000 rupiah Indonesia.
Melihatnya kerjanya yang cekatan dan sabar, dalam hati saya sudah berniat mengasihnya 5 pound (sekitar 20.000 rupiah). Uangnya sudah saya siapkan.
Ketika mau bayar, saya kasih uang 20 pound ke tukang sol sepatu itu yang tampaknya usianya masih sangat muda. Kalau bayarannya 2 pound, mestinya dibalikin 18 pound, tapi yang dibalikin hanya sepuluh pound. Berarti dia ngambil 10 pound. Saya pun ngotot minta kembalian karena dia mengambil lebih banyak dari haknya dan saya pun masih butuh uang. Setelah ngobrol dan berbasa-basi akhirnya ia mau mengembalikan sisanya. Ujung-ujungnya dia mendapatkan seperti apa yang saya niatkan tadi, tapi caranya jadi berbeda. Ada sedikit kekesalan juga yang tersisa di jiwa. Dalam hati saya berbisik lain kali saya tidak akan datang lagi ke orang ini.
Di Kairo, saya punya dua kawan yang sama-sama cerdas, enerjik, pandai bicara, dan luas wawasan. Mereka berdua selalu membuat semarak suasana setiap hadir di sebuah perkumpulan. Informasi dan simpanan pengetahuan yang mereka miliki memaksa kawan-kawan lain turut diam dan mendengar.
Hanya saja kawan yang pertama tidak pernah membicarakan tentang dirinya sendiri. Ataupun kalau harus menyebut dirinya, dia sampaikan itu dengan biasa tanpa ada sisipan pujian kepada diri sendiri. Kawan-kawan audiensnya yang akhirnya memberikan penghargaan kepadanya. Walaupun dia tetap merendah dan mengelak dari setiap pujian itu, orang-orang tetap mengakui kualitas dirinya.
Sementara kawan yang kedua, selalu saja ada sisipan pembicaraan tentang dirinya dalam setiap omongnya. Ada saja pujian tak terduga di setiap keberhasilan-keberhasilan yang ada; baik itu terjadi pada dirinya atau pada orang-orang dekatnya. Atau paling tidak dia memuji diri atas pengetahuan yang dia punya. Kadang memang tujuannya untuk melucu saja, tapi sering memang sepertinya ingin adanya pengakuan eksistensi.
Seandainya saja dia diam dan tidak membicarakan dirinya, maka saya dan kawan-kawan sudah siap untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya. Tapi karena itu sudah dia ucapkan sendiri, maka pengakuan itu tidak jadi kami sampaikan, berganti dengan sebuah perasaan lain di dalam hati yang tidak bisa kami tolak.
O ya, saya jadi ingat dengan peristiwa yang terjadi pada Sayidina Ali.
Dalam kitab ’La Tahzan’ diceritakan, suatu hari ketika mau shalat, Sayidina Ali menitipkan keledai tunggangannya kepada seorang pemuda yang berada di depan mesjid. Dalam hati Sayidina Ali sudah berniat akan memberi orang ini uang satu dinar seusai shalat nanti.
Ketika Sayyidina Ali kembali dari masjid, ternyata si pemuda tersebut sudah tidak ada. Keledainya masih ada, tapi cangkang keledainya sudah tidak ada. Sehingga Sayyidina Ali berprasangka, jangan-jangan si pemuda yang dititipi keledai tersebut malahan bukan menjaga keledai, melainkan mencuri cangkang keledai. Lalu Sayyidina Ali pun memanggil seorang temannya untuk pergi ke pasar mencari pemuda yang dimaksud. Sayyidina Ali menitipkan satu dinar kepada temannya itu untuk membeli cangkang keledai tersebut dari pemuda yang dimaksud.
Ketika temannya Sayyidina Ali itu pergi ke pasar, ternyata benar, ia menemukan pemuda tersebut sedang menjual cangkang keledai yang dimaksud seharga satu dinar. Lalu temannya Sayyidina Ali itu pun membeli cangkang keledai itu dari pemuda tersebut. Ketika temannya Sayyidina Ali itu kembali menghadap Sayyidina Ali, ia pun menceritakan apa yang sudah ditemuinya di pasar, bahwa benarlah apa yang disangkakan oleh Sayyidina Ali.
Mendengar ini, Sayyidina Ali berkata, “Subhanallah, ternyata pemuda tersebut memilih untuk mendapatkan satu dinar yang haram dibandingkan satu dinar yang halal.”
Jika si pemuda tersebut sabar sedikit saja, tentunya ia akan mendapatkan satu dinar yang halal. Namun karena ia tidak sabar, maka ia mendapatkan satu dinar yang haram. Pertanyaannya, apakah rezekinya itu bertambah? Ternyata rezeki yang ia dapatkan dari cara yang haram tersebut tidak bertambah. Memang sudah dari sananya mendapatkan rezekinya sebanyak itu, maka sebanyak itu jugalah yang akan ia dapatkan, walau dengan cara apapun ia lakukan.
Karena tidak bersabar akhirnya dia mendapatkan jumlah uang yang sama, namun dengan jalan yang haram, dan reputasi dirinya juga menjadi buruk.
Ketidaksabaran memang sering melalaikan kita dari banyak hal.
Seorang pejabat amanah dan menjaga dirinya dengan penuh kesabaran tentulah dia akan beroleh rezeki yang baik berkah, penghargaan dari masyarakat, mendapatkan reputasi yang baik di mata atasannya, dan posisi yang mulia di sisi Allah. Hanya karena kurang sabar, akhirnya rezeki yang ia dapatkan menjadi haram melalui jalan korupsi dan suap, reputasinya buruk, namanya hancur, dan di hadapan Allah ia tercatat sebagai hamba yang durhaka.
Seorang pemuda yang kurang sabar akhirnya jatuh ke lembah dosa padahal dia bisa mendapatkan rezekinya itu melalui jalan yang halal.
Dalam Al Quran Allah sudah menegaskan:
“Sesungguhnya hanya orang-orang sabar akan diberikan pahala tanpa batas” (Q.S. Az Zumar: 10)
Rasulullah juga pernah bilang:
“Barangsiapa yang meninggalkan suatu hal karena Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik dari apa yang ia tinggalkan” (HR. Ahmad)
Kesabaran itu adalah keterampilan menahan diri. Sesaat saja proses menahan diri itu, maka hasilnya akan luar biasa. Tapi ternyata itu pun tidak mudah. Perlu latihan dan kemauan yang kuat.