*
Aku masih seorang pemuda berseragam biru tua ketika pertama kali ayah menyampaikan "wasiat keramat" itu. Aku ingat benar hari itu, aku sedang lelah betul sepulang sekolah. Matahari sedang tak ingin bersembunyi, ia gagah diatas sana, membiarkan aku seperti terbakar kepanasan. Aku kayuh cepat sepedaku, sampai dirumah, masih dengan sepatu terpasang, aku terlelap pulas. Ayahku tersenyum melihatku ketika terbangun, dan wasiat keramatnya meluncur cepat ketika aku berkata lelah.
**
Usiaku sudah bukan lagi kepala dua ketika menuliskan catatan kecil ini. Aku sudah tak lagi berseragam biru tua. Bahkan, kau sekarang, anakku, sudah memakai seragam abu.
Tak hendak aku bercerita tentang aku atau kau, anakku, tapi aku ingin memberitahumu soal nasehat ayahku, tentang kata-kata yang seringkali diucapkan ayahku dulu, bahwa aku lelaki, aku tak boleh mudah mengeluh, apalagi mengeluh lelah. Pernah sekali waktu aku bertanya kepadanya, mengapa memangnya lelaki tak boleh mengeluh? Namun ia malah mengulang lagi kata-katanya, bahwa kelak, aku akan mengerti sendiri, kenapa lelaki sepertiku dan sepertimu tak boleh mudah mengeluh lelah.
Dan aku seringkali teringat kata-katanya, justru ketika aku sedang lelah, atau banyak masalah.
Aku tahu benar, ia bukan hanya ingin mengolok-olokku, atau memberikan semangat padaku. Dari kecil ia hendak mempersiapkanku sebagai lelaki yang bertanggung jawab. Sedari kecil ia mengingatkanku, menjadi lelaki takpun mudah.
Kalau seorang lelaku begitu mudah mengeluh lelah, begitu mudah menyerah, bagaimana keluarganya, bagaimana istrinya, bagaimana anaknya?
Kalau seorang lelaki begitu mudah menyerah, bagaimana yang dipimpinnya akan mampu bangkit dan maju, ialah tonggak keluarganya, ialah pimpinan dan teladan mereka.
Jika sebagai seorang ayah, aku mengikuti rasa lelahku, mungkin aku sudah tidur-tidur saja dirumah, bagaimana nasib istri dan anak-anakku?
Aku tahu, tiap butir tetes keringatku ketika bekerja yang kuniatkan untuk menafkahi keluargaku, adalah nilai sempurna yang tak bisa terganti, ketika aku melihat mereka tersenyum bahagia. Rasa lega yang tak bisa terungkap. Aku tahu bahwa aku harus selalu siap sebagai seorang yang mampu mereka andalkan, karena akulah lelaki mereka, aku seorang suami dan aku seorang ayah. Aku tak boleh berhenti begitu saja, aku tak boleh mengikuti lelahku, aku tak boleh menyerah.
Ketika lelah inilah, kata-kata ayahku dulu menjelma seperti pompa semangatku, membuatku malu kalau ingin mengeluh lelah, membuatku malu kalau ingin menyerah. Aku tahu, inilah alasan ia mengulang-ulang kalimatnya dulu, ia hendak menanamkan kuat-kuat padaku hal itu.
Dan ini, aku menuliskannya lagi untukmu, sekedar berbagi semangat dan pengingat, bahwa kau, anakku, juga lelaki, sama seperti ayahmu ini. Dan kelak kau akan menbgerti dengan sendirinya nasehat ini.
Jangan pernah menyerah walaupun kau merasa lelah, jangan pernah mengeluh, karena kau lelaki kuat, kau mampu mengalahan segalanya.
Kelak, ketika kau dewasa, kau akan benar-benar mengerti pada akhirnya.
-k&-