Malam terasa dingin. Embusan angin seolah ingin menyiksaku. Di halaman rumah, aku masih duduk seorang diri, menikmati secangkir kopi hangat. Memandangi daun-daun yang masih menari dengan gemulai. Dan, tak lupa menikmati alunan musik favorit yang sedari tadi kuputar.
Ribuan bintang nampak berjejer di langit. Kerlap kerlipnya terlihat indah, hampir saja membuatku terhipnotis. Tapi, aku tidak ingin lagi kehilangan kesadaran sebab terlalu lama menikmati keindahan bintang yang tiada duanya.
Aku masih setia memandangi bintang, sembari menyesap seduhan kopi yang mulai terasa dingin. Dan sepertinya, secangkir kopi ini sedang memberiku hukuman, rasanya sangat pahit. Atau, memang aku yang lupa memasukkan satu sendok gula? Ah entahlah! Aku hanya ingin menikmati malam tanpa memikirkan racikan kopiku yang salah.
Kedua mataku masih asik menelusuri sudut-sudut bangunan tua di seberang jalan. Bangunan yang sudah puluhan tahun tidak dihuni. Entah mengapa tiba-tiba rasa penasaran ini kembali bermunculan. Padahal, sudah sangat lama aku tidak menolehnya sama sekali, terhitung sejak pertama kali aku dimarah oleh ibu karena memasuki halaman rumah tua itu tanpa permisi.
Lingsir wengi sliramu tumeking sirno
Ojo Tangi nggonmu guling
Awas jo ngetoro
Aku lagi bang wingo wingo
Lagu lingsir wengi terdengar sangat jelas. Suaranya berasal dari halaman rumah tua itu. Dan, sepertinya lagu itu dinyanyikan oleh seorang wanita. Suaranya terdengar sangat lembut, tapi menggema. Iringan gamelan dan suling pun terdengar saling bersahutan. Anehnya, aku tidak melihat siapapun di sana.
"Dina, hati-hati! Jangan berikan pikiranmu pada mereka."
"Nenek?" Aku memekik.
Bulu kudukku berdiri, sekujur tubuhku terasa dingin. Nenek telah meninggal lima tahun yang lalu. Dan tidak mungkin jika aku salah mengenali wajah nenek kandungku sendiri saat ini.
Sosok perempuan yang kukenali sebagai nenekku pun segera menghilang begitu saja setelah aku memandangnya dengan tatapan kosong. Pikiranku mulai kacau. Padahal, nenek menginginkan agar aku tetap menjaga pikiran ini. Tapi, aku masih tidak mengerti apa makasud dari kalimat itu.
Embusan angin semakin menusuk kulit, dingin. Daun-daun yang sebelumnya menari dengan gemulai pun kini telah berhenti, seperti terhipnotis oleh lagu lingsir wengi.
Nyanyian itu tetap terdengar, meski aku sudah berusaha menutup telinga. Anehnya, aku masih saja tidak melihat satu orang pun di sana. Tapi, penglihatanku tidak pernah salah. Tiba-tiba aku melihat sehelai kain putih yang melintas berulang kali di teras rumah itu. Lintasan yang sangat cepat, nyaris tak terlihat oleh mata.
Suara gamelan dan seruling yang semula mengalun lambat, pun telah berubah menjadi sangat cepat. Seolah ingin mengiringi tarian sehelai kain putih itu. Detak jantungku mulai tak beraturan. Ini adalah hal yang tidak wajar. Sepertinya aku harus masuk ke dalam rumah.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan secangkir kopi ataupun bintang. Yang kuingin hanyalah pergi dari teras rumahku ini. Namun saat aku berdiri, tiba-tiba saja pandanganku menangkap sosok wanita bergaun putih sedang berdiri tepat di depan gerbang rumah tua itu.
Wanita dengan gaun putih yang terlihat sangat lusuh. Rambutnya panjang, menjuntai hingga ke tanah. Wajahnya berwarna hitam. Tangannya hanya tinggal sebelah. Dia menatapku dengan tajam. Aku tidak mungkin salah memperhatikan kedua bola matanya yang nyaris keluar dari tempatnya.
Keadaan yang seperti inilah yang membuatku lemah. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan jika dihadapkan dengan sosok wanita mengerikan itu. Tapi, aku harus mengingat pesan nenek, untuk menjaga pikiranku.
Brukh,
Aku mendengar suara benda yang terjatuh di belakangku. Hendak menoleh, tapi aku tak kuasa untuk menahan takut. Namun rasa penasaranku begitu kuat. Dan akhirnya, aku pun menoleh dengan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
"Apa maumu!" Aku menjerit histeris.
Sosok wanita berwajah hitam itu sudah berada di hadapanku. Dia berdiri memataung, menatapku dengan tajam. Wajahnya terkoyak, kulit kepalanya terkelupas dan meneteskan nanah. Tubuhnya mengeluarkan bau busuk yang menyengat. Wanita itu perlahan mendekatiku, mengarahkan kuku-kuku hitamnya pada ulu hatiku.
"Jangan! Aku tidak bersalah," lanjutku padanya.
Dia masih mematung dengan jemari yang telah siap merobek tuntas perutku. Jaraknya dengan tubuhku hanya tujuh centi meter. Aku dapat melihat pakaian lusuhnya dengan jelas. Pun dengan kakinya yang tidak menapak pada tanah. Belatung, cacing, dan hewan melata lainnya satu persatu keluar dari lubang-lubang kecil di wajahnya. Hewan-hewan itu perlahan berjatuhan ke bawah, kemudian merayap di tubuhku.
Aku ingin sekali lari dan meninggalkan wanita ini sendirian, tapi aku tak kuat lagi untuk melangkahkan kaki. Wanita berwajah hitam ini kembali menyanyikan lagu lingsir wingi di hadapanku. Rambutnya yang sangat panjang bergerak, menari seiring dengan alunan lagunya. Helaian demi helaian rambut itu pun menggerayangi tubuhku. Melilit lengan dan kakiku, sampai aku tak mampu lagi untuk menggerakkannya.
"Kalian pembunuh!" Ucap wanita itu di sela-sela nyanyiannya. Suaranya menggema, membuat benda-benda tumpul di sekelilingku beterbangan. Seduhan kopiku pun tumpah, menyiram tubuhku sendiri. Kursi bambu dan juga ranting-ranting kayu yang sudah kering berputar-putar di atas kepalaku. Sepertinya aku akan mati tertimpa dan tertancap benda-benda ini.
"Kamu tidak akan mati sebelum tahu kebenarannya, bodoh!" Lanjutnya dengan tatapan yang semakin tajam.
Wanita itu seolah mengerti isi hatiku. Dan kini dia menyeretku dengan rambutnya. Menyumpal mulutku dengan jemarinya yang hitam. Dia membawaku ke halaman rumah tua itu. Aku di dudukkan tepat di ambang pintu utama yang entah sejak kapan sudah terbuka.
Tiba-tiba pandanganku buram. Aku hanya melihat cahaya kecil di seberang jalan, cahaya dari teras rumahku. Tidak lama kemudian, aku melihat seorang wanita muda berparas cantik. Di belakangnya ada seorang lelaki tua yang menggandeng istrinya. Mereka bertiga berjalan dengan santai, memasuki rumah tua yang kini kutempati.
Canda tawa mulai terdengar dari ketiganya. Suasana yang sangat hangat dirasa. Sepertinya mereka adalah keluarga yang bahagia. Tapi, tidak lama kemudian datanglah seorang wanita tua yang menyembunyikan kedua tangannya di balik punggungnya. Wanita itu mengetuk pintu rumah tua ini tanpa jeda. Sampai akhirnya wanita muda berparas cantik itupun keluar untuk membukakannya.
"Siapa?" Tanyanya dengan sopan.
Namun yang didapat adalah sebuah goresan di pipi. Goresan dari sebilah pisau yang digenggam oleh wanita yang baru saja bertamu pada keluarganya.
Dari kejauhan terdengar teriakan-teriakan warga. Mereka berbondong-bondong datang ke kediaman wanita cantik itu. Masing-masing dari mereka menggenggam berbagai macam benda. Baik dari benda tajam maupun benda tumpul.
"Kalian harus mati!" Ucap wanita tua yang berdiri menantang di ambang pintu.
Wanita muda itu menangis sesenggukan. Ia menyembunyikan ayah dan ibunya yang sudah lanjut usia di dalam gudang. Sedang dia sendiri berusaha menghadapi amukan warga.
"Tolong hentikan! Ada apa sebenarnya?" Wanita itu bertanya dengan air mata yang berlinang.
"Diam! Dasar keluarga pemuja pesugihan!" Ucap salah seorang lelaki paruh baya yang datang dengan membawa balok kayu di genggamannya.
Seluruh warga yang datang akhirnya mendorong gadis itu sampai ia tersungkur. Mereka pun menerobos masuk ke dalam rumah untuk mencari ayah dan ibunya. Tapi, ketika ia hendak mencegah, tiba-tiba sebilah pisau yang digenggam oleh wanita tua itu menghujam ulu hatinya berulang kali. Dan, ketika ia telah terkulai lemas, tangan kanannya pun dipukuli dengan balok kayu oleh beberapa warga.
Wanita itu tak dapat lagi menahan siksa dari warga. Akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya. Sedangkan ayah dan ibunya, mereka membawa keduanya ke halaman belakang. Mengikatnya di bawah pohon mangga, dan menyiramnya dengan minyak tanah. Keduanya mati terbakar tanpa sisa.
Sejak saat itu, rumah tua ini tidak ada lagi yang menghuni. Dan, aku adalah satu-satunya gadis yang berani menginjakkan kaki di rumah ini.
Tiba-tiba aku tersadar. Aku telah kehilangan pikiranku sendiri beberapa menit yang lalu. Nafasku terasa sangat sesak. Detak jantungku semakin cepat. Kukira, wanita berwajah hitam nan muram itu telah meninggalkanku sendiri. Nyatanya, dia masih berada di hadapanku. Matanya berwarna putih. Dia memelototiku, dan nyaris membuat matanya sendiri keluar daei tempatnya.
"Dia adalah nenekmu! Tukang fitnah keji!" Wanita itu menggeram.
Aku menggeleng tak percaya. Tidak mungkin nenekku tega melalukan hal sekeji itu. Tapi, apa yang kulihat adalah sebuah kisah nyata. Dan, tidak mungkin wanita ini memberikan cerita bohong hanya untuk membalaskan dendamnya.
Embusan angin tiba-tiba terasa sangat kencang. Aku melihat bayangan hitam di belakang tubuh wanita ini.
"Nenek?" Aku seolah mendapatkan harapan untuk hidup saat melihat nenek berada di hadapanku.
"Aku memang nenekmu. Tapi bukan salahku karena telah menumbalkanmu sebagai ganti atas kekejian yang kulakukan selama hidupku. Aku ingin terlepas dari bulan-bulanan setan di alamku!"
Aku terdiam seketika, senyumku hilang. Kupikir, nenek akan menolongku.
"Kamu tidak bisa menjaga pikiranmu sendiri. Dengan melihat masa lalu itu, sama halnya kamu ikut melakukan pembunuhan itu, bodoh!" Lanjut nenek sembari meninggalkanku.
Perkataan nenek untuk yang terkahir kalinya sangat menyakitkan hatiku. Aku pasrah atas apa yang akan terjadi padaku. Wanita berwajah hitam ini pun telah bersiap untuk membunuhku. Dia telah menggerayangi leherku sejak beberapa menit yang lalu. Matanya masih menatapku. Hewan-hewan melata dari wajahnya, masih merayap di sekujur tubuhku. Dan kini, jemari hitam wanita ini telah bergeser turun, menyentuh ulu hatiku.
"Berisaplah! Kau akan mati!" Ucapnya sembari tertawa girang.
"Tidaaaaaaak!" Aku pun menjerit sembari memegangi perutku.
"Cut! Aktingnya bagus! Silahkan istirahat," suara bapak berkumis tipis itu membuat hatiku lega. Akhirnya aku bisa beristirahat setelah berdrama cukup lama!