Ia menghembuskan nafas, menghasilkan uap dalam prosesnya. Ditatapnya butiran air yang membasahi kaca bening jendela. Dihirupnya secangkir kopi, lalu dirapatkannya winter coat. Jangankan hujan, di musim panas saja hawa Lucerne lumayan menusuk!
Wanda Ayuningtyas Sadewi, si orang Indonesia keturunan Jerman, menatap arlojinya sejenak, kemudian mendesah dongkol. Sudah hampir satu jam ia menunggu di sini, dan kawannya, Liberty, belum juga datang. Ke mana sih anak itu?! Jangan bilang ketinggalan tram! Eh tapi tidak mungkin juga, berhubung tram di Lucerne datang dalam hitungan menit.
"Are you waiting for someone, Miss?"
Wanda mendongak, kemudian tersenyum tipis. Sejak pertama kali ia memesan makanan di kafe ini dalam Bahasa Inggris, pelayan-pelayan selalu menyapanya dalam bahasa itu. Padahal Wanda sebetulnya lumayan bisa Bahasa Jerman, walau nggak jago-jago amat.
"Yes," tukasnya, melemparkan senyum. Dirogohnya saku, dan diambilnya selembar uang 5 Franc, dan diberinya si pelayan uang itu. Biasa, uang tip kalau ia kelamaan nunggu di kafe.
Akhirnya dengan tidak sabar, dikeluarkannya ponsel, kemudian menekan nomor Liberty, teman seapartemennya. Cewek Amerika tulen yang kalau ngomong suka seenak jidat dan agak childish, tapi luar biasa baik hati. Kadang Liberty memang suka ngabisin sabar, tapi dia satu-satunya orang yang dapat Wanda andalkan.
"Halo, Liberty? Di mana kau?" tanyanya dalam Bahasa Jerman, pelan-pelan.
"English, okay? This rain is so heavy, I must stay at my class. My teacher begged me to help her, I'm sorry Wanda... halo?"
Memaki dalam kejengkelan, diletakkannya ponsel dengan kasar ke atas meja, kemudian buru-buru menghabiskan kopinya. Kalo tau begini ngapain dia bengong kayak sapi ompong di kafe? Mana rugi lima franc pula! Huh, dasar!
Wanda berdiri, mengancing pullover-nya walau sebenarnya winter coat sudah cukup menghangatkan. Ia keluar dan anehnya, hujan berhenti. Tinggal berupa gerimis kecil yang tidak mengganggu. Dihirupnya aroma hujan, salah satu bau yang disukainya. Hujan di Lucerne selalu menyisakan pemandangan indah yang simpel. Sayang untuk dilewatkan.
Tadinya Wanda berniat untuk naik tram, tapi apartemennya toh nggak begitu jauh, dan sekarang masih pukul sepuluh. Sambil bersiul kecil, ia berjalan menyusuri deretan pub dan kafe di Old Town, kemudian menyeberangi Chapel Bridge yang merupakan landmark kota Lucerne. Setiap kali melewati jembatan kayu yang dibangun tahun 1300-an itu, Wanda selalu terpikat pada lukisan-lukisan segitiga di setiap rangka jembatan, menceritakan sejarah dua pelindung Lucerne.
Udara yang mulai menghangat membuatnya memberanikan diri untuk membuka winter coat, kemudian kembali berjalan santai. Terkadang ia menjepret pemandangan Lucerne dengan kamera HP-nya dan dikirim ke ponsel Niken, adiknya di Indonesia yang memiliki ketertarikan besar terhadap Eropa. Biar kata kakak-beradik, tapi penguasaan Bahasa Jerman Niken jauh lebih baik, dan adiknya juga cerdas dan kritis. Apalagi kenyataan bahwa cewek itu lebih sering main-main daripada belajar, membuat Wanda terkadang menaruh iri padanya.
Wanda kembali menghembuskan nafas, kemudian mempercepat langkahnya. Dan sialnya, karena terburu-buru, ia tak sengaja menabrak seorang perempuan berambut pirang bermuka judes.
"Ah, maaf," ucapnya dalam Bahasa Jerman.
"Hati-hati dong, Mbak! Mbak punya mata, kan?" omel si pirang ketus, kemudian asal menyambar tas Louis Vuitton. Ketika ia berjalan di depan, Wanda baru sadar tas mereka sama.
Mengedikkan bahu, Wanda bangkit dan berjalan sampai ke apartemennya, lalu menjatuhkan diri ke atas kasur. Ia baru saja akan memejamkan mata ketika tiba-tiba ponselnya berbunyi. Dari ibunya di Indonesia.
"Halo, Ma? Iya, alhamdulillah Wanda sehat.... Niken udah balik? Oh, ya, ya, syukur deh. Apa? Tas yang waktu itu?" Wanda memukul keningnya sendiri. "Iya, deh, iya, iya. Mungkin Sabtu besok kali, Wanda sih udah beli tiket ke Changi, nanti baru ke Jakarta. Oke, Ma, nggak kok, belinya nggak jauh."
Menonaktifkan handphone, Wanda bangkit dan meraih tasnya. Sialan, kenapa dia lupa membeli tas pesanan ibunya? Tanpa mengganti pakaian, Wanda keluar dan berlari-lari kecil.
Untunglah toko tempat ia membeli tas yang diirikan ibunya tidak terlalu jauh, jadi dia nggak perlu boros-boros pass ticket untuk tram. Dan untung juga, tas yang diinginkan ibunya itu masih ada dua. Bersenandung kecil, dibawanya tas tersebut ke kasir.
"190 franc persis," kata si kasir.
Wanda mengangguk, kemudian membuka tasnya. Sejurus kemudian ia mulai panik karena dompetnya tidak ada! Begitu pula buku catatan kuliah dan paspornya!
Panik, ditumpahkannya semua isi tas. Barang-barang di dalamnya tidak ada yang satu pun ia kenali. Kotak kosmetik, alfalink, dan foto berbingkai, foto seorang wanita pirang sedang mengecup pipi seorang laki-laki berambut hitam.
Wanita pirang itu! Wanita yang tadi ditabraknya!
Seketika Wanda pucat. Ditutupnya tas itu kembali, dan ia tersenyum meminta maaf pada si kasir. Buru-buru ia menyingkir ke luar toko, mengutuki diri sendiri. Kenapa ia bisa begitu bodoh?!
Tapi kalau dipikir-pikir, bukan Wanda yang salah, tapi si pirang genit itu! Dia yang langsung menyambar tas Wanda tanpa dilihat dulu isinya. Merengut dan menggerutu, Wanda berjalan, kembali menyeberangi Chapel Bridge.
Semua barang pentingnya ada di sana. Nilai-nilai mata kuliah maupun catatan-catatannya, dompet, dan yang terpenting... paspornya! Bagaimana ini? Dia sudah memesan tiket untuk balik ke Indonesia, dan kalau paspornya hilang, gimana caranya dia bisa balik, coba?
Lagi-lagi ponselnya berbunyi, dan Wanda segera mengangkatnya. Dari nomor yang sama sekali tidak ia kenal. Ia mengangkatnya.
"Halo? Apa ini Wanda Ayuningtyas?"
Wanda mengernyit, menyadari orang itu bicara dalam Bahasa Indonesia. Siapa dia?
"Ya, saya Wanda. Siapa ini?"
"Saya Gibran, di Lucerne. Mmm, apa Mbak Wanda salah bawa tas, ya? Soalnya tas Mbak Wanda ada di sini."
Nyaris melonjak, Wanda mengangguk. "Iya, tas saya ketuker! Mas sekarang di mana? Kapan kita bisa ketemu? Aduh, dokumen penting saya di situ semua soalnya."
Laki-laki di seberangnya tertawa. "Ya, saya ada di restoran di depan Jesuit Church, Mbak Wanda tahu?"
Wanda mengangguk. "Iya, tahu. Oke, saya akan segera ke sana. Makasih ya, Mas."