Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

ATM Baru Milik Mira

28 Januari 2010   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:13 353 0



Mira adalah seorang karyawan perusahaan keramik yang berlokasi di Balaraja – Tangerang. Perempuan yang hanya lulus SMP ini satu perusahaan dengan saya. Hanya, memang, berbeda divisi. Makanya jangan heran bila perempuan asli Pekalongan, Jawa Tengah ini, tidak neko-neko dalam menjalani hidup. Baginya, bisa menyekolahkan kelima anaknya hingga lulus SMA sudah cukup.

“Mendingan dibayar tunai seperti biasanya, kalau pakai ATM ribet,” ujar Mira, menanggapi informasi yang berkembang bahwa perusahaan kami akan merubah system pembayaran gaji karyawan. Dimana yang semula dilakukan secara tunai, dirubah melalui rekening masing-masing karyawan yang dibuat secara kolektif.

“Benar, mendingan kalau gajinya besar. Lha wong gaji cuma sejuta kok mau diambil pakai ATM,” yang lain menimpali. “Mana tiap bulan kena potongan lagi.”

Saya mendengar percakapan itu di kantin, saat makan siang. Hal yang biasa terjadi dimana saja sebenarnya, dimana ketika ada kebijakan baru, selalu ada yang menanggapi dengan sikap pro dan kontra. Bagi karyawan bagian produksi yang kebanyakan ibu-ibu itu dengan pendidikan rata-rata lulusan SMP, alasan penolakan system baru ini sebenarnya cukup simple. Ia masih belum familiar dengan ATM, dan lagi pula, biasanya, ketika gaji diterima, langsung digunakan untuk membayar kontrakan, keperluan sekolah anak, bayar hutang di warung sebelah, beli beras, sesudah itu habis perkara. Dan semua itu tidak perlu dilakukan dengan antri di depan ATM yang selalu ramai saat gajian tiba.

Kekhawatiran itu terbukti. Saat gajian tiba, ada beberapa orang di perusahaan kami yang kartu ATM-nya tertelan Mesin ATM. Sebabnya bermacam-macam. Ada yang salah memasukkan nomor PIN, ada juga yang kartu ATM-nya tidak bisa keluar ketika bermaksud mengganti PIN lama ke PIN baru. Pada intinya, semua itu disebabkan karena mereka belum familiar menggunakan ATM. Tidak melakukan sesuai dengan tatacara yang benar.

Tentu saja, kecerobohan itu menjadi bahan tertawaan di perusahaan kami. Apalagi ketika beberapa hari kemudian, belasan orang yang kartu ATM-nya tertelan diantar oleh Staff HRD ke Kantor Cabang menggunakan mobil perusahaan untuk mengambil ATM yang tertelan itu. Tokoh yang saat ini kita bicarakan, Mira, merupakan salah satu diantara mereka.

Kendati Mira berhasil mendapatkan ATM-nya kembali, tetap saja ia trauma. Betapa tidak, kejadian itu hari Jum`at sore, sehingga Mira harus menunggu setidaknya 3 hari untuk mendapatkan ATM-nya kembali. Gajian Mira tertunda. “Mana yang punya warung sudah nagih lagi,” ujar Mira saat bercerita.

Belajar dari kesalahan itu, Mira mempunyai cara yang unik agar cepat mahir menggunakan ATM. Caranya, Mira memilih waktu yang sepi ketika bermaksud mengambil uangnya. Ini membuatnya tidak perlu merasa terburu-buru karena antrian panjang di belakang. Pertama, ia mengambil 100 ribu. Setelah selesai, Mira mengulangi kembali proses itu dari awal, dan mengambil lagi 100 ribu. Proses ini diulangi beberapa kali, hingga saldo yang tersisa sampai berada pada batas minimal. Hhmmm, cara belajar yang efektif (meski terkesan kampungan dan norak). Benar kata orang bijak, bahwa kita bisa karena biasa.

Saat ini, jangan ditanya, Mira sudah bisa dikatakan mahir dalam menggunakan ATM. Tidak hanya melakukan penarikan, tetapi juga mentransfer sejumlah uang rekening lain. Bahkan sekarang ia membayar listrik dan membeli pulsa melalui ATM. Begitu juga ketika berbelanja di Alfamart dan Indomart yang berada dekat dari tempat tinggalnya.

Bila dulu Mira beranggapan bahwa berhubungkan dengan perbankan itu merepotkan, saat ini ia memiliki pandangan lain. ATM telah membuat kehidupannya menjadi praktis, tidak perlu lagi membawa dompet tebal ketika hendak berbelanja. Bagi Mira, produk dan jasa perbankan telah membuatnya merasakan kehidupan modern. Memang ia tidak bisa lagi menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ditabung semenjak menggunakan ATM, namun ia sudah cukup lega memiliki ‘kartu pintar’ yang di kampungnya tidak banyak dikenal orang.

Dulu, sekedar mengenang, Mira biasa menyisihkan sekitar 50 ribu dari gajinya untuk ditabung. Namun semenjak ia memiliki ATM, kebiasaan baik itu sudah lama ditinggalkannya. Alasannya, di saat mengambil uang, di dalam rekening Mira harus tersisa minimal 50 ribu. Uang sebesar itu, yang dahulu biasa ia simpan untuk mengantisipasi kebutuhan mendadak, mengendap di rekening. Ini sebenarnya bukan alasan yang tepat untuk tidak menabung, sebab yang sebenarnya terjadi adalah Mira sudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Ia selalu tergoda untuk terus berbelanja, saat teringat di ATM-nya masih tersisa sejumlah uang.

Namun cerita Mira tidak hanya berhenti sampai disini. Beberapa minggu yang lalu, ia datang ke pabrik sambil menangis. Masih berhubungan dengan ATM. Pasalnya, seseorang baru saja menelponnya dan memberitahu kalau Mira mendapatkan hadiah undian sebesar 50 juta. Laki-laki yang mengaku sebagai salah satu Head Manager sebuah stasiun televisi swasta nasional itu meminta Mira untuk mentransfer sejumlah uang sebagai syarat agar dana 50 juta itu bisa segera ditransfer ke rekening Mira.

“Uang itu untuk membayar pajak pemenang ke Dinas Sosial,” ujar Mira menirukan penelpon.

Kontan saja, mendengar berita kalau akan mendapatkan uang sebesar 50 juta, Mira tidak bisa lagi berfikir rasional. Selama ini ia tidak berani membayangkan bakal memiliki uang sejumlah itu. Tapi sekarang, seseorang dengan gaya menyakinkan menawari uang sebesar itu. Tidak akan lama lagi. Langsung ke rekeningnya.

Sore itu, sepulang kerja Mira mampir ke ATM, hendak mentransfer ‘pajak pemenang’ yang diminta oleh sang penelpon. Tepat berada di depan pintu, Mira masih sempat memberitahu kalau dirinya sedang mentransfer uang yang besarnya hampir mendekati gajinya dalam sebulan.

Mira tahu, kalau suaranya bergetar saat memberikan informasi itu. Ia sendiri bimbang dan ragu. Namun seperti ada kekuatan yang memaksanya untuk memencet tombol-tombol di mesin ATM, memindahkan uang yang dimilikinya ke rekening orang lain, yang tidak dikenalnya sama sekali.

Sejam kemudian, sesuai dengan yang dijanjikan penelpon, Mira mengecek saldo tabungannya. Tidak ada perubahan, kecuali bahwa gajinya bulan ini sudah berpindah rekening. Dadanya mulai bergetar hebat, tapi ia masih menaruh harap bahwa angka yang tertera dalam saldo tabungannya akan berubah menjadi 50 juta.

Dua jam kemudian, keadaannya masih seperti semula. Mira bertambah panik ketika telpon orang itu tidak bisa lagi dihubungi. Dan ketika keesokan harinya uang yang dijanjikan itu belum juga diterima, Mira baru menyadari 100% kalau dirinya telah tertipu.

Hari itu ia masuk kerja dengan mata merah karena habis menangis. Gajinya bulan ini habis, bahkan sebelum sempat diambilnya. Beruntung, beberapa kawan memiliki inisiatif untuk menggalang dana solidaritas dari seluruh karyawan yang hasilnya disumbangkan untuk Mira yang malang. Memang, hasilnya tidak sebesar yang telah berpindah ke tangan orang, namun setidaknya itu bisa membantu menutup kebutuhan belanja bulan ini.

Setelah peristiwa ini, saya dengar Mira kembali berkomentar bahwa gajian bulan depan lebih baik dibayar secara tunai! (*)

Tulisan ini juga bisa dibaca disini: http://kaharscahyono.wordpress.com/2010/01/27/atm-baru-milik-mira/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun