“Keadaan zaman negara waktu sekarang sudah semakin merosot. Keadaan tata negara telah rusak, karena sudah tak ada yang dapat dijadikan panutan, sudah banyak yang meninggalkan petuah-petuah serta aturan-aturan lama, orang cendikiawan telah terbawa arus zaman gemblung, suasananya sangat mencekam, karena dunia penuh dengan kerepotan”.
Keadaan di mana “sebenarnya raja yang baik, patihnya juga cerdik, semua anak buahnya berhati baik, pemuka-pemuka masyarakatnya juga baik, namun, segalanya itu tak menciptakan kebaikan, oleh karena daya zaman kalabendu...hidup di dalam zaman gemblung memang repot, akan mengikuti tidak sampai hati, tetapi kalau tidak mengikuti geraknya zaman tak mendapat apa pun juga, akhirnya dapat menderita kelaparan, namun sudah menjadi kehendak Tuhan, walaupun orang yang lupa itu bahagia, namun, masih lebih bahagia bagi orang yang senantiasa ingat dan waspada”.
Zaman edan alias zaman gemblung seolah-olah hadir terus di sepanjang perjalanan waktu. Menghiasi setiap untaian sejarah peradaban manusia. zaman di mana kegilaan menjadi kegemaran. Nafsu nista menjadi sesembahan yang terus dipuja. Ketidakwakwarasan perilaku dianggap hal yang lumrah, bahkan lebih tragisnya lagi jika sikap waras, sikap jujur dipandang bagaikan barang rongsokan, sesuatu yang usang dan hanya menjadi tontonan dikala pesta pora para manusia sambil tertawa terkekeh-kekeh. Inilah zaman yang pernah diramalkan oleh pujangga besar, Ki Ageng Ranggawarsita. Ramalan sekaligus teriakan hati sang pujangga tatkala menghadapi zamannya yang penuh kecurangan, tipu menipu, saling menjegal tumbuh subur di setiap sudut kehidupan yang dia temui.
Ramalan, yang sebetulnya mirip dengan pemberontakan terhadap keaadaan zamannya itu seakan goresan penanya yang terus hidup dan diamini sepanjang sejarah, tak lekang oleh panas dan tak lapuk hujan. Kegilaan zaman tidak cukup berhenti disaat itu juga, namun terus berevolusi terus sampai sekarang meski dengan wajah berbeda tetapi masih satu wajah yaitu zaman gila.
“bila zaman edan datang, banyak pemimpin akan berhati jahat, bicaranya ngawur, dan tak bisa di bicara. Banyak perempuan yang kehilangan rasa malu. Banyak peperangan yang melibatkan penjahat. Banyak perampokan, pemerkosaan, dan pencurian. Alam pun akan ikut terpengaruh. Banyak terjadi gerhana matahari dan bulan. Gunung-gunung meletus, menurunkan hujan abu dimana-mana. Gempa bumi, banjir, angin ribut, hujan badai, dan salah musim kerap terjadi. Banyak terjadi kerusuhan tapi tak diketahui penjahatnya. Negara tidak memiliki kewibawaan. Semua tata tertib dan aturan telah diporak-porandakan...”ujar lelaki tua itu. Ia lalu melepaskan capingnya.
Perkataan itu kini hadir di hadapan kita. Semua ramalan yang benar-benar terbukti adanya, mulai “wong nduwuran” sampai “wong ngisoran” terangkum dalam tuturnya. Banyak pemimpin, baik dalam skala kecil hingga yang besar, bicara banyak yang tidak ditata, tidak dirasa terlebih dahulu apakah empan papan atau tidak, asal pandai ber-orasi, memutar kata menjadi pemenangnya. Perkataan “raja” kini hilang wibawanya, hilang “idu geni”nya. Kejahatan merajalela dimana-mana, setiap hari bejatnya moral menjadi hiasan media massa. Undang-undang, peraturan bak bagaikan tulisan yang hanya dibukukan kemudian disyahkan, namun semua itu diingkari sendiri. hal yang kecil dianggap penting, namun permasalahan besar semakin luput dari perhatian. Hukum negara terlalu kecil, sehingga tidak tajam tatkala berhadapan dengan orang-orang besar. Maling besar melenggang kangkung kemana-mana dengan pengawal bayarannya, maling kecil berjuang mengerang nyawa karena hukum massa menghajarnya.
Alam pun ikut meramaikan nestapa bangsa. Banjir yang siaga setiap musim penghujan datang. Angin ribut sekarang bukan menjadi berita dari luar negeri, sebab dalam negeri pun kini ramai diterjang si puting beliung. Gunung-gunung api dalam keadaan siaga dan waspada, kehidupan umat manusia bingung menghadapinya karena tidak ada tawar menawar antara alam dan manusia. gempa meretakkan lapisan bumi, merobohkan bangunan-bangunan yang berdiri pongah.
Rasa malu tinggal cerita di masa dulu. Menutup aurat bukan lagi hal yang sangat perlu, sebaliknya memamerkan aurat menjadi trend yang merebak. Semua asyik membicarakan besar-kecilnya aurat, bagaimana menampakkan keindahannya sehingga menimbulkan decak kagum di kalangannya. Perempuan hilang rasa malunya sedangkan yang laki-laki hilang kewibawaannya (wong wadon ilang malune wong lanang ilang kawibawane). Manusia banyak linglung di zaman gemblung, tidak ikut gemblung takut tidak mendapatkan apa pun. Sehingga berduyun-duyun banyak orang yang meng’gemblung’kan diri dengan tujuan dapat mereguk manisnya zaman. Sayangnya, sikap “manut” itu hanya kamuflase, bagaikan fatamorgana saja. ibarat air laut yang diminum tidak dapat mengobati dahaga.
Inilah novel yang menyajikan karyanya sang pujangga besar, Ranggawarsita. Novel yang tidak hanya menyuguhkan cerita yang direka-reka namun sebaliknya mirip sebagai pengejawantahan buku yang sudah terkenal yaitu “Ramalan Ranggawarsita”. Selain itu novel ini tidak cuma menghadirkan ramalan sang pujangga namun juga menyuguhkan perjalanan hidup yang penuh hikmah dalam mengarungi kehidupan mulai kecil sampai menjadi orang yang waskita. Semoga buku ini menjadi kaca benggala bagi kita yang tengah hidup di zaman kalatidha ini.
Judul:Zaman Gemblung
Penulis:Sri Wantala Achmad
Penerbit:Diva Press Yogyakarta
Tahun terbit:Mei 2011
Tebal:372 halaman
kaha.anwar@gmail.com