“Mei, berbeda dengan kita. Kita orang Jawa, ia orang Cina, lagi pula agama kita berbeda, Le... “ Aku baru mendengar ibu berkata begini. Aku merasa perkataan ibu jadi aneh. Aku hendak menolaknya, tapi..., hatiku enggan mengatakannya. Apakah beda agama bisa menjadi biang malapetaka dan kehancuran persahabatan? Bukankah Raden Katong dengan Ki Ageng Kutu pernah berselisih paham karena agama.
Aku tak pernah mengerti kenapa agama menjadi alat perbedaan seperti itu. yag kumengerti semakin memahami agama maka kita makin menyayangi manusia. jika karena agama aku dipisahkan dengan Mei, tentu hatiku tak terima. Mei adalah satu-satunya anak yang menemani hari-hari sepiku di kala tak ada satupun anak mau menemaniku. Lagipula aku tak percaya, jika berbeda agama kita tak boleh berteman. Soal suku atau ras, bukankah Mei lahir di sini? Ia tak bisa berbahasa Cina. Dia seperti aku bahkan terkadang bahasa Jawanya lebih halus. Aku juga tak percaya karena perbedaan ras dan suku kita tak boleh berteman. Bukankah di sekolah kita diajari untuk toleran dan tak membeda-bedakan SARA?. Serta menyatu dalam kebudayaan nasional: Indonesia! Apakah Bhineka Tunggal Eka hanya kata-kata kosong sehingga dalam keseharian kita tak memakai prinsip itu? (hal.108).
Cinta, memang asyik untuk diperbincangkan oleh siapa saja. cinta tidak didominasi oleh golongan tertentu. Cinta telah mengambil sebagaian besar hidup manusia, maka tidak mengherankan jika cinta memang sesutu yang serius untuk didiskusikan. Cinta memang hadir dari perasaan, namun ketika cinta itu diwujudkan, maka keberadaannya tidak bisa berdiri sendiri. cinta akan bergumul dengan lingkungan sang pecinta. Cinta akan bertababrakan dengan sosiokultural masyarakat sang pecinta. Hingga tak ayal kadang cinta harus berdiaolog untuk diterima eksistensinya. Namun juga, banyak juga yang berkonflik sehingga ada yang kandas di tengah jalan atau keluar sebagai pemenang sehingga diakui masyarakatnya.
Begitu pula dengan Hargo (tokoh sentral dalam novel ini) harus mengalami benturan-benturan dengan masyarakat soal cintanya itu. bahkan sang ibunya melarang Hargo melanjutkan cintanya pada Mei, gadis keturunan Tionghoa. Alasannya karena Mei anak Cina dan berbeda agama. Bagi ibunya, yang dibesarkan di lingkungan yang masih memegang kepercayaan “liyan” itu mengangggap cinta beda agama dan kerununan masih hal yang tabu, sesuatu yang dilarang.
Inilah yang tidak bisa diterima hati kecilnya Hargo. Dia mempertanyakan portal-portal yang menghadang cintanya. Bukankah Mei adalah gadis yang menemaninya di kala sepinya. Bahkan Hargo sendiri tak mempercayai kalau agama menjadi tembok pembatas pertemanan antara dirinya dengan Mei. Apa yang dikatakan ibunya, masyarakatnya soal agama tak lain hanya bentuk kebencian terhadap rasnya Mei, kebencian yang dasarnya tak kuat. Hargo mempercayai agama tak pernah mengekang pertemanan dengan siapa saja: “lagi pula, aku ingat dan percaya akan kata-kata Mbah Basir. Guru ngajiku dulu. Bahwa Kanjeng Nabi Muhammad mengayomi umat Yahudi dan pemeluk agama lain. serta suku-suku yang demikian banyak dengan Piagam Madinahnya. Sebagai pemimpin, beliau menegakkan kebebasan beragama dan perlindungan dagang. Bukankah aku sebagai muslim harus meniru dan menjunjung ajaran Baginda Rasul?”, keluh Hargo.
Akhirnya Hargo mempertanyakan tentang ajaran Bhineka Tunggal Eka yang diterimanya di bangku sekolah. Semboyan yang mengakui bahwa keragaman yang ada di Nusantara ini bukan menjadi batu sandungan tetapi menyatukan semua elemen anak bangsa, tetapi kenyataannya semboyan itu hanya sebatas semboyan, masyarakat kita masih asyik mempergunakan perbedaan untuk saling menyalahkan, melenyapkan bahkan tidak menerima keberadaannya sebagai anak negeri hanya karena “dia” keturunan nonpribumi meskipun lahirnya di Nusantara.
Novel yang ditulis Hans Gagas ini merupakan novel yang memotret segala sendi kehidupan masyarakat. Meski mengambil setting zaman dahulu, namun jalan cerita, amanat yang terkandung di dalamnya masih kita temui di zaman sekarang ini. Antara cinta, unsur budaya, kepercayaan mistik disulamnya menjadi rajutan novel yang mengkritik keadaan masyakat kita, meski jalan ceritanya terkadang meloncat sana-sini.
Judul:Tembang Tolak Bala
Penulis:Hans Gagas
Penerbit:LkiS Yogyakarta
Tahun Terbit: 2011
Tebal:xiv + 214 halaman
Harga:Rp. 25.000;00
kaha.anwar@gmail.com