Tono setiap hari nge-pit. Ke sekolah, ke pasar, membantu pekerjaan orang tuanya, dolan ke rumah teman selalu nge-pit. Nge-pit baginya sudah menjadi rutinitas, begitu melekat. Tidak ada pilihan selain nge-pit. Paling banter naik bus atau angkutan umum jika tujuannya memang tidak bisa dicapai dengan sepedanya. Tragisnya lagi, jika sepedanya rusak tidak ada pilihan kecuali mlaku alias jalan kaki. Nge-pit baginya kebutuhan, bukan kemewahan
Lain lagi dengan Tarno yang senang pit-pit-an. Baginya pit-pit-an hanya opsi yang tidak harus dipilih. Setiap hari dia nyetir mobil mewahnya. Ke kantor, mengantarkan istrinya belanja ke pasar/mall, berlibur ke luar daerah bahkan hanya untuk beribadah ke masjid sebelah pun membawa mobil. Saat senggang saja Tarno naik sepeda, misalnya hari Minggu. Pit-pit-an baginya kemewahan, bukan kebutuhan.
Lain ladang lain belalang, lain kemewahan lain pula menempatkan sepeda. Antara nge-pit dan pit-pit-an sebetulnya sebuah kegelisahan teman saya, tatkala mencermati berita. Menurutnya media seakan tidak adil mengekspos kasus-kasus yang tengah terjadi di masyarakat. Media selalu saja hanya mengambil kejadian yang sifatnya “hiasan”, tidak yang benar dan tengah terjadi berlangsung lama. Namun, tulisan ini tidak akan menyoroti selera media yang memang sifatnya bagaikan angin lewat itu, tetapi menyoroti masalah anatara nge-pit dan pit-pit-an, dua kata kerja yang beda makna dan tujuannya.
Dua paragraf pertama sengaja saya tulis untuk mengilustrasikan dan memudahkan memahami nge-pit dan pit-pit-an. Sebab, antara nge-pit dan pit-pit-an tentunya akan beriplikasi perlakuan sang empu terhadap sepedanya.
Sebetulnya, nge-pit dan pit-pit-an mempunyai arti yang sama yaitu naik sepeda. Nge-pit, dalam Bahasa Jawa, artinya naik sepeda. Begitu pula dengan pit-pit-an, artinya juga naik sepeda, namun seperti ada kata sifat di dalamnya. Seakan kata “pit-pitan” mengandung dualisme makna dalam satu aktivitas. Saya akan memberikan contoh misal kalimatnya. “Bapak Saya, jika pergi ke sawah biasanya nge-pit”. Bandingkan dengan kalimat, “ayo, besok Hari Minggu pit-pit-an ke alun-alun”.
Mari kita tukarkan kedua kata tersebut: “Bapak Saya kalau ke sawah biasanya pit-pit-an”, dan “ ayo, besok Hari Minggu nge-pit ke alun-alun”. Bagaimana menurut anda, lucukan?. Kata pertama menunjukkan bapak malah tidak serius berangkat ke sawah, bahkan cenderus merusak tujuan beliau bekerja dengan pit-pit-annya atau malah dapat menyebabkan kerusakan tanaman sebab bapak bersepeda di tengah sawah. Sedangkan kata kedua, masih memungkinkan digunakan sebab, siapa tahu kalau memang tidak ada kendaraan untuk dipakai ke alun-alun, sehingga pilihanya hanyalah “nge-pit”.
Sepeda bagi Tono, tentunya akan berbeda bagi Tarno. Sepeda Tono merupakan kendaraan satu-satunya yang dimiliki, boleh dibilang sepedanya merupakan alat tranportasi cepat yang dimiliki setelah kaki. Pilihan Tono hanya berkutat pada kaki-sepeda-angkutan umum, pinjam atau minta diantarkan teman dengan sepeda motor/mobil temannya.
Sepeda bagi Tarno, berbeda lagi fungsi dan perannya dengan sepedanya Tono. Sepeda Tarno semacam barang antik, yang kegunaannya hanya waktu-waktu tertentu (temporer Bahasa Londo-nya). Tarno akan memakai sepeda jika merasa bosan naik mobil atau sepeda motornya. Dapat juga Si Tarno akan nge-pit jika perlu hidup sederhana, sok merakyat. sepeda bagi Tarno adalah klangenan, seperti kebiasan orang-orang ningrat jawa yang menempatkan burung perkutut.Burung perkutut bagi ningrat jawa merupakan tiga dari simbol kebanggaan, yakni kukilo, turonggo dan wanito. Terserah hendak ditafsirkan bagaimana soal wanito, namun setidaknya itulah simbol lelaning jagat jika memiliki kukilo (hewan piaraan yang umumnya perkutut atau pusaka, misalnya keris), turonggo (kuda alias kendaraan).
Tarno punya banyak pilihan dengan turonggonya itu. Dia bisa naik mobil, naik sepeda motor, naik sepeda sebagaimana gaya orang parlente atau bahkan jalan kaki, sekedar mereduksi kebosanan dengan turonggo yang dimiliki.
Sepeda dari jaman ke jaman mengalami evolusi arti. Zaman mudanya Bapak Saya, sepeda onthel itu layaknya kendaraan bermotor di zaman sekarang. Sepeda onthel adalah barang mewah, sebab masih banyak yang tidak memiliki sepeda onthel. Umumnya masyarakat waktu itu jalan kaki, yang naik sepeda hanyalah para doro, guru atau raden. Saat menikah, karena ingin memiliki sepeda, Bapak Saya harus menjual sapinya hanya untuk mendapatkan sepeda onthel “unta” merek Hero. Sungguh mahal sekali.
Kini sepeda onthelnya tersebut mangkrak di dapur, jadi pangkringan (tempat tidur)-nya ayam di malam hari. Sepeda onthel seharga sapi itu kini tiada arti, teyengen (korosi), sebab digantikan motor. Hanya waktu-waktu tertentu sepeda onthel digunakan khususnya pas waktu panen ketela. Sebab kalau mengusung ketela pakai motor terlalu sayang.
Zaman bapakku terus berlalu, sepeda bagaikan rongsokan saja tiada arti. Kendaraan bermotor merambah hebat. Motor bukan hanya milik orang kota, tetapi juga orang desa. Berduyun-berduyun mereka membeli motor. Sawah disigar (bahasa orang desa merujuk pada kata “menjual”), ternak miliknya dijual. Anak-anak remaja pedesaan semakin tersirep dengan mode motor yang bak perawan yang selalu berubah penampilan tetapi masih satu body tubuh. Tidak peduli apa yang dijual, tekadnya hanya satu memiliki motor. Meski belum tentu mereka dapat mengendarainya. Motor jadi barang mewah, sepeda menjadi barang nomor sekian.
Abad motorisme tidak terbendung, hingga menyebabkan kemacetan lalu lintas. Munculnya berbagai problem lingkungan terus menggelinding. Krisis bahan bakar, polusi udara menjadi perbincangan hangat di media massa, forum ilmiah, perkuliahan. Kesimpulan dari obrolan ilmiah itu adalah mengurangi penggunaan kendaraan ke motor, salah satunya adalah dengan kembali memakai sepeda.
Di Kota Yogyakarta ada istilah “Segosegawe” yang dicetuskan oleh Bapak Walikota (waktu itu Hery Zudianto). “Segosewe” tidak lain akronim dari “sepeda kanggo sekolah lan mergawe” (sepeda untuk sekolah dan bekerja). “Segowosegawe” tidak lain bentuk ajakan nge-pit bukan pit-pit-an. Tetapi bagaimana kenyataannya? Ya namanya himbuan, dapat ditebaklah realitasnya.
Bakul-bakul sayur, pedagang gerabah keliling memang “segosegawe”, tidak disuruh pun mereka tetap dan akan menggunakan sepeda karena sepeda-lah yang dimiliki. Para pejabat, dosen, karyawan atau yang biasa mobilasi dengan motor/mobil tetap setia dengan kereta tak berkuda tersebut. Bahkan kalau diamati, Yogyakarta semakin macet dengan kehadiran motor-motor. Di parkiran mall, kampus, dan perkantoran yang terlihat hanyalah kereta tak berkuda.
“Segosegawe” yang niatnya, mungkin, mengajak nge-pit ternyata menjadi pit-pit-an. Buktinya, malam hari lewat jam sepuluh, anda kalau keluar jalan-jalan di Yogyakarta akan melihat fenomena pit-pit-an, dengan sepeda yang bagus-bagus, konon namanya pixy (bukan jenky), lampu aksesoris yang berwarna-warni. Sepeda ini harganya rata-rata satu juta ke atas. Harga yang cukup mengasyikkan untuk pit-pit-an, bukan nge-pit. Pengendaranya pun bukan tipe nge-pit, tetapi memang terlihat tampang pit-pit-an.
“Ealah, bocah-bocah ini kok malam-malam malah nge-pit, kenapa kok ‘gak pas siang, pas ramai-ramainya kendaraan supaya mengurangi kemacetan”, celutuk Mbok Dhe Nem, saat dia pergi ke pasar berjualan sayur. Mbok De Nem tidak sadar kalau bocah-bocah ini sebenarnya bukan lagi nge-pit seperti dirinya, melainkan lagi pit-pit-an.
Bagaimana dengan tempat anda, masih banyak yang nge-pit atau pit-pit-an?
kaha.anwar@gmail.com