Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Kerajaan Atau Republik: Sama Saja!

19 September 2011   06:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:50 515 0

Judul:Kerajaan Indonesia

Penulis:Emha Ainun Nadjib

Penerbit:Progress Yogyakarta

Tahun terbit:Cetakan Pertama, Januari 2006

Tebal:382 halaman

Tatkala masih duduk di bangku sekolah dasar, bahkan sampai sekarang juga masih, saya tidak paham apa bedanya antara rakyat dipimpin seorang raja dengan seorang presiden? Bahkan pertanyaan itu terus berlanjut, apakah rakyat yang dipimpin ini tahu bedanya, landasan dasarnya, implikasinya jika suatu negara itu dipimpin oleh seorang raja atau seorang presiden? Jika ternyata rakyat ini tidak tahu sama sekali, lalu untuk apa guna sorak-sorak menganai sistem negara? Dengan entengnya jika ada yang menjawab,”Alah mas, mau republik kek, mau kerajaan kek, mau sistem tekek sekalian “miwon sasa” alias sami mawon sama saja, yang penting hidup ini enak, adil dan sejahtera”.

Saya harus mengakui tentang keterbatasan mengenai sistem-sistem untuk mengatur negara ini. Meski setiap kali saya masuk ke jenjang sekolah (juga kuliah) materi sistem penyelenggaraan negara selalu diberikan. Namun, ya itu, tadi tetap saja gak dong. Yang ada dalam benak saya mengenai perbedaan ini hanyalah kulit luarnya saja. Sistem kerajaan berarti dipimpin oleh seorang raja dengan kuasa mutlak, siapa yang tidak sendiko dawuh, maka raja berhak menjatuhkan hukum padanya. Selain kekuasaan yang mutlak tersebut, yang membuatku bermimpi menjadi raja, adalah banyaknya istrinya. Seorang raja berarti juga lanange jagad, di mana-mana punya lubang pelampiasan. Belum selir-selirnya yang berjibun, teng kruntel di istanya..wuih enak tenan. Segala putusan ada di tangannya, nasehat kerajaan hanyalah abange lambe saja. Omangannya adalah idu geni sehingga tak ada yang berani memperbincangkannya, takut kewalat. Belum lagi mitos-mitos yang sengaja diciptakan supaya lebih memantapkan kekuasaannya. Sehingga rakyat terhegemoni, kalau seorang raja benar-benar makhluk langit yang menjelma manusia.

Sedangkan “republik”, seperti Republik Indonesia Raya ini, yang menyeruak dalam alam pikiranku adalah negara dipimpin oleh presiden dengan cara demokratis. Presiden tidak punya kuasa mutlak untuk mengadili seseorang, melainkan ada ritual yang harus dilalui untuk menjatuhkan hukuman. Begitu pula masalah istri: cukup satu saja, jangan kebanyakan pasalnya hanya akan melambungkan anggaran negara. Ucapannya tidaklah sedahsyat ucapan raja. Rakyat pun ada yang patuh juga ada juga yang tidak, bahkan sebagian lagi rakyat ada yang berani menginjak dan membakar gambar presiden. Tidak ada mitos kuwalat di negeri republik, tidak ada konsistensi “sabdo pandito ratu tan keno wola-wali”. Karena bukan ratu/raja yang memimpin negara ini sehingga apa yang ditetapkan bisa ditarik ulur, bisa wola-wali. Biar pun telah meludah segalon pun jika ternyata ludah tadi lebih enak, menguntungkan, menyelamatkan tak apalah jika direguk kembali...mak cleguk.

Semua itu hanya teorinya yang tertulis dalam paragraf-paragraf buku-buku sekolah. Sekarang realitanya dapat kita lihat. Toh, seorang presiden masih saja berperilaku seolah raja. Untuk menjadi presiden seseorang juga perlu menciptakan semacam mitos, bahasa sekarang image, pencitraan diri. Berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk menciptakan bahwa dirinya yang pantas, cakap memimpin negeri ini. Banyak gambar diri calon pemimpin yang terpasang di sudut-sudut kota dan negeri, dengan pose lagaknya seorang yang bersahaja. Masalah istri: ya satu, itu yang terlihat, tetapi jika kenyataannya ada “istri gaib” apakah anda akan tetap mengatakan jika sudah gak jamannya istri banyak. Lha wong kemarin saja pak Marzuki Alie pernah berujar kalau anggota dewan boleh beristri dua kok. Bukankah ini membuktikan kalau sebenarnya masalah istri itu memang enak diperbincangkan dan dilaksanakan. Toh seumpama kalau benar-benar ada keputusan yang membolehkan seorang pejabat mempunyai istri lebih dari satu, bukanah ini menguntungkan dan mengasyikkan. Bagaimana tidak menguntungkan? Lha dalam hidupnya dibiayai negara, belum lagi anak-anaknya yang mendapat jaminan hidup. Wah-wah dan wuih-wuih...

Soal kekuasan. Boleh saja kekuasan presiden terbatas, itu yang terlihat namun apa kita tahu sebetulnya kekuasan presiden juga tak terbatas. Presiden hanya penjelmaan lahiriah, tetapi di sekiling presiden ada “tangan-tangan raja” terselubung yang bergelayutan memerankan kekuasaan mutlak. Menyetir kebijakan-kebijakan negara demi kepentingan pribadi dan golongan. Serta memutuskan abang-ijonya permasalahan seseorang.

Memang harus ada sikap optimis dari seluruh elemen bangsa bahwa cita-cita mendirikan negara adalah untuk membangun keadilan. Keadilan merupakan konsep yang bersifat filosofis atau etis. Inti dari keadilan adalah distribusi hak dan kewajiban yang diatur oleh konsep persamaan (equality) dan timbal balik. Keadilan juga dinyatakan sebagai suatu prinsip atau nilai yang universal. Jelaslah bahwa keadilan merupakan sumbu orientasi berdirinya negara.

Keadilan tidak tegak hanya akan melahirkan kekacuan-kekacuan. Rusaknya rasa pekewoh, hilang kebersamaan dan semakin merajalelanya kriminalitas. Setiap hari berita di media selalu tak absen mengenai kriminalitas. Pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, ayah perkosa anak kandungnya, istri potong anunya suami. Lantas kita bertanya: gejala apa ini? Apa ini efek semakin tercerabutnya keadilan di negeri ini?

Kalau jawaban Islam, Tulis Cak Nun, karena ‘Arsy sudah tidak disangga lagi oleh kemanusiaan. ‘Arsy itu metabolisme penciptaan Tuhan sudah dipotong-potong ekosistem kosmos ini. Itu sudah tidak dipatuhi oleh manusia, sudah tidak disanggah. Kita hidup ini untuk menyangga keseimbangan. Sekarang, kita banyak mengurus lain-lain yang tidak penting. Sehingga terjadi kekejaman yang luar biasa tapi kita tidak tahu dan tidak mengerti itu adalah kekejaman. Akhirnya muncul kekejaman yang vulgar semacam itu. Sebenarnya sih, soal laki-laki dipotong anunya itu sudah lama. Semua laki-laki Indonesia mengalami itu semua. Tapi karena kita tidak pernah merasa maka Tuhan mengingatkan, “ini lho, dipotong benar.” Sebenarnya pembunuhan kejam sudah berlangsung sejak lama. Pembunuhan aspirasi, pembunuhan hak asasi, pembunuhan nilai-nilai, segala macam. Tapi karena kita tidak mau tahu, akhirnya ditunjukkan yang paling vulgar.

Lalu, kalau keadilan tidak terwujud dan keganasan manusia telah melebihi binatang buas, apalah artinya kika sekarang ini mempertanyakan: “Negara kita ini sebetulnya Republik, kerajaan atau apa?” kalau toh pada akhirnya penyelenggaraan pemerintahan dalam bentuk apa saja, ujung-ujungnya hanya berposisi sebagai “panitiapenyelenggara” pasar bebas? Kabinet-kabinet negara yang tak ubahnyasebagai “karyawan perusahaan” yang bernama Indonesia yang semakin sibuk mencari dan mencuri laba dari tanah air ini?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun