Seorang Ibu dengan prihatin menulis sebuah email yang sangat panjang. Intinya ia menceritakan bagaimana kehidupan putra dan puterinya tergerus globalisasi. Sesuatu yang sangat wajar sebenarnya. Dan tidak akan mampu kita hindari. Namun dalam ceritanya itu, sang Ibu memiliki sebuah kesedihan panjang, bahwa kita menjadi miskin nilai. Kita menjadi anonim. Yang membuat kita gamang dan akhirnya menjadi mudah dipengaruhi. Sang Ibu mencontohkan kita ini ibarat sebuah baju putih yang kotor dan merindukan deterjen. Sebelum ia mengakhiri emailnya, sang Ibu bertanya -- "Apakah kita butuh sebuah Sumpah Pemuda yang baru ?"
KEMBALI KE ARTIKEL