Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money Artikel Utama

Relevan - Karma Marketing yang Baru

26 Januari 2014   13:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 1366 11

Dari sejumlah diskusi tertutup yang dilakukan organisasi kami disejumlah kota dengan para mahasiswa dan mahasiswi yang memiliki hak pilih di pemilu tahun 2014, lebih dari 50% responden memberikan jawaban bahwa mereka tidak peduli dengan pemilu 2014. Sebagian dari mereka ketika ditanya apakah akan menggunakan hak pilihnya di pemilu - menjawab dengan tegas "Ngak Ngaruh". Artinya mereka berpendapat bahwa apakah mereka ikut dan tidak ikut - hasilnya tidak akan mempengaruhi masa depan mereka. Itu sebuah alarm yang buruk. Bahwa selama 15 tahun reformasi, pemerintah yang berkuasa gagal memperbesar harapan anak-anak muda terhadap masa depan. Malah mereka secara sistimatis menghapusnya dengan sejumlah prestasi yang sangat buruk lewat korupsi dan berbagai kejahatan politik. Walaupun Indonesia dipuji gigih melawan korupsi, tetapi didalam negeri, kita kalah mengadakan perlawanan. Budaya korupsi seperti sudah baku dan menjadi standar para politikus.

Ketika kami bertanya kepada mereka yang mau menggunakan hak pilihnya di tahun 2014, tentang tokoh yang akan mereka pilih, maka jawaban populer mereka "Ngak Paham". Artinya mereka tidak mengenal tokoh politikus yang akan maju menjadi calon presiden 2014. Malah ketika ada satu mahasiswi yang kami tanya soal pilihan-nya, ia menjawab sekenanya saja, "Saya pilih dia, kayaknya cuma dia yang sayang binatang". Tidak ada kriteria ekonomi, visi dan program kerja. Jawaban mereka serba sepele. Dan tidak relevan.

Seorang psikolog yang ikut kami ajak berdiskusi soal hasil diskusi kami dibeberapa kota itu, hanya tertawa terbahak. Ia mengeritik tajam 15 tahun reformasi itu. Menurutnya, reformasi itu mestinya harus menjadi titik balik terpenting dalam sejarah moderen Indonesia. Karena saat itu telah terjadi klimaks dimana rakyat Indonesia menginginkan sebuah perubahan yang sangat masif. Andaikata ada pemimpin yang jeli dan bisa membaca situasi itu, maka Indonesia bisa melesat kedepan bagaikan panah sakti Pasopati milik Arjuna. Tetapi kita gagal memanfaatkan momentum itu. Semangat yang menggebu-gebu dan bergelora, akhirnya perlahan-lahan surut. Mereka yang berusia 5 - 10 tahun pada tahun 1998 ketika awal reformasi, kini seharusnya menjadi generasi muda penerus reformasi. Namun mereka tidak mendapat asupan politik dan kebangsaan yang sesungguhnya. Sehingga mereka menjadi sangat apatis. Dan yang menyebabkan ramalan bahwa tingkat partisipasi pemilu tahun 2014 akan berada dikisaran 60% atau lebih rendah.

Teman saya sang psikolog mengatakan, dalam 15 tahun reformasi, budaya Korea lebih populer daripada budaya Indonesia. Semua anak muda tergila-gila dengan budaya K-POP. Selama 15 tahun jumlah band Indonesia aseli dan film Indonesia aseli, gagal maju signifikan. Mereka hanya tumbuh secara marjinal mengikuti pertumbuhan populasi secara demografis. Anak-anak muda kita tidak tergila-gila dengan semua yang serba Indonesia. Sayang kita telah kehilangan kesempatan itu. Jadi jangan heran, kalau anak muda jaman sekarang hanya butuh "wi-fi" dan head-phones. Bila keduanya terpenuhi mereka akan tenang dan tenggelam dan dunia mereka sendiri-sendiri.

Lalu apa solusi-nya ? Jawaban-nya cuma satu - Relevan ! Barangkali relevan adalah karma marketing yang terbaru. Sebuah kalkulasi penentu yang paling jitu. Dahulu kita secara fisik selalu melihat produk dan harganya. Kalau produk dan harganya secara fisik tidak menarik, kita cenderung tidak tertarik untuk membelinya. Dua elemen sisanya cenderung cuma mengungkit emosi kita. Yaitu tempat dimana kita membeli atau mengkonsumsi dan promosinya. Ini cenderung sebuah pilihan yang lebih emosional. Skenario-nya dulu bisa seperti ini. Misalnya kita memilih "ngupi" di tempat tertentu karena memang kopinya enak dan harganya murah. Dan ketika ritual "ngupi" telah menjadi kebiasaan atau langganan kegiatan kita, maka kita beranjak ke jenjang yang lebih tinggi. Secara emosional kita akan cenderung memilih tempat "ngupi" tertentu. Yang misalnya memiliki tempat lebih nyaman. Lebih sepi. Supaya enak ngobrol dan mungkin tempat duduknya lebih banyak sofanya. Terkadang secara emosional kita juga terbawa dengan bujukan promosi yang unik dan menarik.

Itu skenario klasik. Kopinya enak. Murah. Tempatnya nyaman. Dan promosinya unik. Tetapi kemarin ketika saya diajak rapat bersama teman-teman di suatu sore, mereka memilih tempat ngupi bukan berdasarkan 4 kriteria diatas. Tetapi berdasarkan 1 unsur saja. Yaitu unsur yang paling relevan. Mereka memlih tempat "ngupi" tertentu karena semata-mata "wi-fi" ditempat itu paling kenceng "speednya". Artinya kita rapat membutuhkan "wi-fi" dan ini yang relevan. Sisanya ngak penting !

Hal yang sama dialami oleh industri telpon seluler. 20 tahun yang lalu kriteria kita untuk memilih sebuah telpon seluler barangkali didasari oleh kualitas suara, dan fungsi. Lalu harga. Sisanya faktor emosi seperti desain dan promosinya. Tapi lihat saja iklan-iklan telpon seluler jaman sekarang. Karena budayanya sudah sangat bergeser. Kita sudah berada di fenomena budaya baru yaitu "status", "share" dan "selfie". Apa-pun yang terjadi dengan kita selalu kita umumkan keseluruh antero dunia. Menjadi "status" ditelpon seluler kita. Dan sebelum kita makan, seringkali kita foto makanan kita dan kita "share" di telpon seluler kita dan kita kirim keseluruh dunia. Tak jarang kita merasa diri kita ganteng dan cantik, maka kita memotret diri kita sendiri (selfie) lalu juga kita "share" dengan semua teman-teman kita. Maka fungsi telpon seluler kita yang terpenting bukan lagi kualitas suara melainkan kamera fotonya. Ini faktor yang paling relevan.

Tak heran apabila produsen telpon seluler, tidak lagi mengiklankan kualitas suara telpon seluler mereka tetapi mereka ramai-ramai mengiklankan kemampuan kamera di telpon mereka. Ini yang relevan, dan ini yang menjadi penentu konsumen membeli sebuah telpon seluler.

Lalu apa yang relevan bagi generasi muda kita ? Kebanyakan dari mereka tidak mengatakan langsung tetapi menyiratkan secara samar bahwa memiliki pasangan hidup yang pas, lalu keluarga dan hidup yang layak adalah faktor relevan yang paling utama. Kelihatannya sangat klise. Namun kalau kita gali lebih dalam, ternyata hal-hal yang relevan menjadi sangat banyak. Abad internet saat ini, memang memberikan mereka kenyamanan bahwa mereka memiliki banyak teman. Tetapi sesungguhnya sangat berbeda. Mereka boleh punya 5.000 teman di internet, tetapi sehari-hari mereka hanya punya segelintir teman yang sesungguhnya. Mereka juga khawatir dengan kelanggengan keluarga. Percaya atau tidak infotainment ditelevisi yang kebanyakan membahas perselingkuhan dan perceraian menjadi echo atau gema yang sangat berpengaruh. Konon data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI tahun 2010 melansir bahwa selama 2005 sampai 2010, atau rata-rata satu dari 10 pasangan menikah berakhir dengan perceraian di pengadilan. Dari dua juta pasangan menikah tahun 2010 saja, 285.184 pasangan bercerai. Dan tingginya angka perceraian di Indonesia yang kita dapati, notabene tertinggi se-Asia Pasifik.Hampir 70 persen perceraian yang terjadi adalah cerai gugat. Dengan kata lain, lebih banyak perempuan yang mengajukan gugatan perceraian daripada lelaki yang menceraikan istrinya. Alasan mereka adalah ketidak harmonisan dalam keluarga.

Kehidupan yang layak secara ekonomi, pasangan yang harmonis, dan kebahagian keluarga menjadi "benchmark" jaminan hidup berbahagia yang paling relevan. Itu adalah kesimpulan yang kami dapati dari diskusi keliling kami diberbagai kota. Kelihatan sepele tetapi memiliki dimensi yang sangat kompleks dan mengakar dalam setiap perasaan generasi muda di republik ini.

Seorang mahasiswi tingkat akhir, bercerita dengan sangat jujur kepada saya. Ia merasa tidak cantik. Tubuhnya juga tidak sexy malah cenderung gemuk. Ia mengaku masih perawan dan tidak punya pacar sejak jaman SMA. Tetapi ia sekarang menjadi part-timer menjual properti. Hasilnya sangat lumayan. Ia mandiri secara ekonomi. Ia bercerita, ia masih kumpul dengan teman-teman-nya di akhir pekan. Makan dan bergaul seadanya. Tetapi ia berhenti mencari pacar. Dunianya sederhana. Mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Jalan-jalan ke luar negeri. Mencoba berbahagia. Itu dunianya. Itu yang paling relevan. Ia mengaku sangat realistis soal menikah dan punya keluarga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun