“Uang. Sekali lagi uang! Mengapa uang dapat melapangkan dan menyempitkan kehidupan manusia? Bukankah dulu ia diciptakan sebagai alat penukar ? Mengapa ia berkembang menjadi simbol nilai-nilai benda dan jasa manusia, dan akhirnya menjelma menjadi sebuah kenyataan yang berupa kemerdekaan ?” Pertanyaan-pertanyaan lirih seorang Muhammad Zuhri dalam “Lantai-lantai Kota” yang seolah hendak menunjukkan sekaligus menyadarkan kita tentang adanya takhayul baru. Acap kali kita merasa aneh bin geli kala melihat orang-orang yang memuja pohon, membakar dupa dan meninggalkan seonggok makanan lengkap di depannya. Kita merasa heran dengan perilaku orang-orang tua yang mengadakan ruwatan, percaya dengan adanya hari baik, hari sial, sedekah bumi, dan sebagainya. Namun pada saat yang sama, kita menganggap biasa dengan perilaku orang-orang yang memuja uang. Kita anggap wajar saja dengan kondisi diri yang merasa tak hidup kalau sedang tak memegang uang. Kini kita anggap biasa dengan perilaku masyarakat yang gila seluler, gandrung gadget. Wajar saja dengan perilaku kebanyakan yang merasa belum eksis kalau tak memiliki barang-barang itu.