Seperti telah diperkirakan sebelumnya oleh banyak kalangan, kebijakan pemerintah menaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada bulan Juni tahun lalu telah memperburuk kondisi kemiskinan.
Data perkembangan kemiskinan terbaru, yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal bulan ini (2 Januari) menyebutkan, jumlah penduduk miskin pada bulan September 2013 mencapai 28,55 juta orang atau sekitar 11,47 persen dari total penduduk Indonesia. Angka ini menunjukkan kenaikan jumlah penduduk miskin sebanyak 0,48 juta orang bila dibandingkan dengan kondisi pada bulan Maret tahun 2013.
Kenaikan jumlah penduduk miskin yang diwartakan BPS ini nampaknya semakin mempertegas, target tingkat kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun ini, sebagaimana telah dicanangkan dalam Rencana Pembagunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014 hampir dipastikan bakal gagal direngkuh. Ini tentu sangat disayangkan karena, anggaran yang telah dihabiskan pemerintah untuk berbagai program penanggulangan kemisikanan sepanjang tahun 2013 sudah mencapai 100 triliun lebih.
Parahnya, selain terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin, kondisi kehidupan ekonomi penduduk yang tetap miskin juga kian sulit. Hal ini tercermin dari perkembangan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) yang mengalami kenaikan bila dibandingkan kondisi pada bulan Maret.
Kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan, tekanan hidup yang dihadapi penduduk miskin semakin berat. Melambungnya harga-harga (inflasi)—utamanya bahan makanan—yang diakibatkan kenaikan harga BBM telah menggerus daya beli penduduk miskin, dan di sisi lain tingkat pendapatan mereka begitu-begitu saja. Kombinasi daya beli yang menurun dan pendapatan yang stagnan menjadikan penduduk miskin kian terpuruk. Alhasil, kondisi serba kekurangan yang mereka alami kian dalam dan semakin parah.
Untung ada BLSM
Salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah tingginya proporsi penduduk hampir miskin (near poor). Mereka memang tidak terkategori miskin namun tingkat kesejahteraannya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin. Dalam kehidupan sehari-sehari, secara ekonomi kondisi kehidupan mereka seringkali sulit dibedakan dengan penduduk miskin.
Penduduk hampir miskin sangat rentan untuk jatuh miskin karena pengeluaran/pendapatan mereka dalam sebulan berselisih tipis dengan garis kemiskinan. Dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka berada di ambang kemiskinan. Sehingga, sedikit saja terjadi gejolak dalam perekonomian—yang mendorong inflasi—bakal menyebabkan mereka terjerembap ke dalam jurang kemiskinan. Dan, inilah yang terjadi sepanjang bulan Maret hingga September tahun lalu. Kenaikan harga BBM yang memicu inflasi telah mengakibatkan sekitar 480 ribu penduduk hampir miskin jatuh miskin.
Untungnya, pemerintah memberi kompensasi kepada penduduk miskin dan hampir miskin yang terkena dampak kenaikan harga BBM. Total kompensasi yang diberikan mencapai 29,05 triliun atau sekitar 75 persen dari total anggaran negara yang bisa dihemat melalui pengurangan subsidi BBM. Salah satu bentuk kompensasi yang memegang peranan penting dalam meredam lonjakan jumlah penduduk miskin adalah bantuan langsung (unconditional cash transfer) dalam bentuk Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp150.000 per bulan yang diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga selama empat bulan. Seandainya pemerintah tidak mengucurkan BLSM, lonjakan jumlah penduduk miskin bakal lebih tinggi.
Pendek kata, terlepas dari segala motif politik yang menyertainya, BLSM terbukti cukup bermanfaat dan efektif dalam meredam dampak kenaikan harga BBM terhadap kondisi kemiskinan. Namun demikian, BLSM sejatinya hanyalah tindakan darurat, sangat tidak direkomendasikan sebagai program penanggulangan kemiskinan jangka panjang. Karena seperti diketahui, program-program seperti ini miskin dimensi pemberdayaan. (*)