Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Kinerja Jokowi dalam Angka

30 Maret 2014   17:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:17 2287 0

Persoalan pelik yang tengah dihadapi Jakarta dewasa ini bukan hanya banjir dan macet, tapi juga kemiskinan kota yang kronik. Fenomena kemiskinan dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, seperti bantaran kali, pinggiran rel kereta api, dan kawasan kumuh lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam setahun terakhir, perkembangan kemiskinan di Jakarta belum menunjukkan kemajuan yang mengesankan. Persentase penduduk miskin bahkan mengalami peningkatan dari 3,70 persen pada September 2012menjadi 3,72 persen padaSeptember 2013. Itu artinya, kinerja Jokowi dalam soal pengentasan kemiskinan di ibu kota belum maksimal.

Celakanya, bukan hanya kemiskinan yang menjadi masalah serius di ibu kota, Kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin juga semakin melebar. Data BPS menunjukkan, Jakarta adalah salah satu provinsi dengan kesenjangan ekonomi yang paling buruk di tanah air. Hal ini ditunjukkan oleh rasio gini Jakarta yang mencapai 0,433 poin pada September 2013. Angka ini tertinggi nomor 4 dari 33 provinsi di Indonesia.

Rasio gini sebesar 0,433 menunjukkan, kemajuan ekonomi yang terjadi di ibu kota tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Boleh jadi yang diuntungkan hanyalah kelompok penduduk kelas menengah dan kaya, bukan wong cilik!

Sebetulnya, persoalan kemiskinan adalah masalah nasional, bukan hanya fenomena khas ibu kota.Faktanya, masih banyak provinsi yang potret kemiskinannya lebih parah dibanding Jakarta.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja pemerintah dalam pengentasan kemiskinan boleh dibilang sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh perkembangan kemiskinan yang terus menurun.

Namun demikian, penurunan yang terjadi belum seperti yang diharapkan. Faktanya, meski anggaran untuk penanggulangan kemiskinan terus ditingkatkan hingga hampir mencapai 100 triliun pada tahun lalu, laju penurunan jumlah penduduk miskin cenderung lambat.

Data BPS menunjukkan, pada September 2013, jumlah penduduk miskin mencapai 28,55 juta jiwa atau sekitar 11,47 persen dari total penduduk. Angka ini masih jauh dari terget yang telah dipatok pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2009-2014, yang menargetkan persentase penduduk miskin sebesar 8-10 persen.

Menurut para ahli, penyebab hal ini adalah berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan selama ini lemah dalam implementasi, monitoring, dan evaluasi. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak berkualitas meski mencatatkan angka yang tinggi.

Pertumbuhan ekonomi lebih ditopang oleh sektor jasa (non-tradable) yang sama sekali tidak memberi nilai tambah ekonomi pada kelompok penduduk miskin. Sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup penduduk miskin justru melempem.

Secara faktual, kemiskinan masih berpusat di sektor pertanian. Sekitar 63 persen penduduk miskin ada di desa, dan itu di sektor pertanian. Karena itu, kinerja penanggulangan kemiskinan amat bertalian erat dengan kinerja sektor pertanian.

Sayangnya, dalam sepuluh tahun terakhir, sektor ini tidak pernah tumbuh di atas empat persen, kecuali pada 2008 tumbuh 4,8 persen. Revitalisasi sektor pertanian yang digaungkan selama ini hanya sekedar wacana.

Karena itu, jika nanti Jokowi terpilih sebagai presiden. Pengentasan kemiskinan harus menjadi agenda utama. Hal ini merupakan bukti bahwa Jokowi dan PDIP memang memperjuangkan nasib wong cilik. Indonesia hebat hanya pepesan kosong bila jumlah penduduk miskin masih tinggi.

Revitalisasi sektor pertanian juga harus menjadi agenda utama. Karena hanya dengan memajukan sektor pertanian dan meningkatkan kesejahteraan petani, pengentasan kemiskinan akan maksimal. Dalam soal ini, Jokowi harus membuktikan bahwa ia seorang “sukarnois”. Sejarah bangsa ini menunjukkan, hanya Soekarno satu-satunya presiden negeri ini yang betul-betul memperjuangkan nasib petani. (*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun