Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Tasbih Cinta dari Pulau Dewata

17 Januari 2014   23:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 132 0

Ini adalah cerita yang kuangkat dari kisah nyata cinta sejati ibuku (Seorang Mualaf dari Bali) kepada keluarga balinya, keluarga suaminya, suaminya, anak-anaknya, dan cintanya pada semua lingkungan yang ia kenal...

Bagian 1

Gadis  Bali

Wajah putih. Berjerawat. Tubuh agak tambun. Celana jeans bermerk. Kaos lengan pendek biru. Rambutnya diikat ke belakang kucir kuda. Sebagian wajah manisnya tertutup topi agak usang, tapi tetap topi bermerk. Tangannya sibuk meraih ranting pohon. Kakinya sigap merangkak naik. Hap.. hap.. Hap.. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke pucuk pohon cengkeh. Alunan merdu suara khas Betharia Sonata vavorit anak muda pada masa itu, era 80-an, pas sekali menyatu dengan suasana asri kebun cengkeh Badingkayu yang lebih menyerupai hutan.

Di bawah sana, seoarang gadis yang beranjak remaja berteriak memanggilnya.

“Mbok Ngah..!  mbok Ngah...!”

Wajahnya mencari sumber teriakan itu. Ditengoknya ke bawah dari pucuk pohon cengkeh sana. Dari jarak kurang lebih delapan meter, wajah manis hidung bulat khas Bali terlihat jelas dibalik topinya. Ia pincingkan dahinya. Matanya menemukan sosok gadis berperawakan mungil di bawah sana.  Ia segera mengenali wajah gadis tersebut. Wayan. Sahabatnya.

“Ada apa Yan?”

“Mbok Ngah sudah tahu belum kalau di rumah pak Kepala Desa sekarang ada TKS-nya?”

“TKS??”

“Iya!!”

“He...?” Ia tidak mengerti.

“TKS itu lho yang suka mbantu-mbantu ngajar di rumah mbok ayu!”

Gadis  di atas pohon itu berfikir sejenak. Dan tak lama kemudian Ia nampak mengerti sesuatu.

“Tenaga  Kerja Sukarela maksudmu Yan?”

“Emmm... Iya. Iya iya mbok.. itu maksudku.”

“Terus apa hubungannya denganku Yan?” Ia terlihat tak tertarik sama sekali. Ia kembali sibuk memetik cengkeh-cengkeh siap petik di sekelilingnya, wajahnya memburu dengan jeli. Tangannya tak berhenti menggapai-memetik, menggapai-memetik, begitu seterusnya. Di bawah sana Wayan garuk-garuk kepala, tidak berhasil membuat sahabatnya tertarik untuk melihat rombongan TKS yang sedang pindahan di rumah pak Kades. Hilang sudah harapannya. Kalau sudah cuek begitu, pasti mbok Ngah tidak akan tergoyahkan lagi. Mau seribu cerita-pun tetap saja mbok Ngah lebih tertarik memetik cengkeh-cengkehnya. Itulah yang terngiang-ngiang di kepalanya.

“Tapi mbok....” belum sempat Wayan menyelesaikan ucapannya, Sukarin sudah memutusnya.

“Sudah sana... Kalau kamu mau liat sama bli Tampi saja atau siapa gitu... Aku sibuk Yan. Kamu tidak lihat ni banyak cengkeh yang harus ku petik hari ini..?!” sambil menunjuk ke arah bunga-bunga cengkeh yang menguning kemerah-merahan.

Wayan masygul demi mendengar jawaban sahabatnya.

“Ya sudahlah..” Wajahnya pasrah. Ia sekarang sibuk memperhatikan Sukarin memetik cengkeh. banyak cengkeh yang bejatuhan ketika dahan-dahannya tertiup angin atau beroyang-goyang akibat gerakan Sukarin meraih ranting. Sahabatnya memang memiliki tipikal pekerja keras. Ia jarang tertarik dengan hal-hal yang dianggap masyarakat layak dijadikan sebuah tontonan. Seleranya cukup tinggi. Tidak semua tontonan bisa dengan mudah mencuri perhatiannya. Tidak seperti kebanyakan orang pada umumnya. Selera fashionnya pun begitu. Tipikal pemilih. Mahal sedikit tidak apa. Yang penting barangnya bagus dan enak dipakai. Meme-nya (ibu dalam bahasa Bali) sering mengeluh dengan seleranya yang tinggi. Pernah suatu ketika Ia membeli sepasang sandal jepit yang harganya tiga kali lipat dari sendal yang biasa digunakan warga di situ. Atau selera celana jeans-nya yang harganya berlipat-lipat dari kepunyaan teman-teman sebayanya. Gadis ini memang berbeda. Ia bernama Nengah Sukarin.

Dan tiba-tiba...

“Aduh..!” satu dompol cengkeh jatuh dari ketinggian delapan meter  tepat di pipi Wayan. Wayan manyun sambil  memegang pipinya, Wajahnya mendongak ke atas hendak protes pada Sukarin.

“Sakit tau...!”

“Salah sendiri melamun disitu! Untung aku Cuma metik cengkeh. Coba kalau aku metik buah kelapa, pasti kamu butuh operasi plastik!” Sementara yang di bawah sana menggerutu perihal ketidak tertarikannya melihat rombongan TKS itu, sambil mengelus-elus pipinya yang masih menyisakan rasa sedikit perih-pedas. Sukarin cuek saja dengan gerutuan sahabatnya. Baginya target memetik cengkeh tua yang harus selesai hari ini lebih penting dan menarik dari pada sekedar melihat rombongan orang jawa yang sedang pindahan.

Wayan tambah manyun. Ia memandang tanah di sekitar pohon. Banyak dedaunan kering berserakan. Banyak juga cengkeh tua yang berjatuhan. Ia ambil salah satu cengkeh di dekatnya. Lalu satu lagi. Satu lagi. Satu lagi. Sampai genggaman tangan kirinya penuh cengkeh.

“Mbok Ngah.. Aku minta yang jatuh-jatuh ini  ya..!” Serunya pada Sukarin sambil menunjukan cengkeh di tangan kirinya.

Sukarin menoleh lagi kebawah.

“Hemmm ya boleh...”

Wajah Wayan merona tanda bahagia, langsung terbayang di depan matanya uang hasil  menjual cengkeh angsakan itu. Hendak kubelikan celana jeans baru ah... begitu batinnya. Senyumnya mengembang kembali. Lalu iapun sibuk celingukan kiri kanan memburu cengkeh tua yang berserakan di tanah, kadang kakinya mengais untuk menyibakkan daun kering dengan harapan ada cengkeh dibaliknya. Harga cengkeh musim ini memang sedang baik. Perkilonya bisa mencapai Rp.15.000. Jadi, hasil cengkeh angsakan-pun jika dikumpulkan berhari-hari hasilnya lumayan. Bisa dibelikan baju, celana, atau bahkan perhiasan emas-pun bisa terbeli. Dua sahabat inipun hanyut dalam kesibukan masing-masing. Ebit GAD bersenandung melewati speaker radio tua di gubuk kebun cengkeh menggantikan suara Betharia Sonata. Sukarin sesekali bergumam mengikuti syair-syairnya... Wayan masih terbayang celana jeans baru di matanya. Semangatnya terbakar berkobar-kobar. Melihat aksi Wayan, Sukarin geleng-geleng kepala, ia bisa menebak pasti ada rencana dibalik semangat Wayan ini. Hemmm dasar Wayan.... Namun cengkeh tua memang sedang jadi mesin pencetak uang di Badingkayu. Desa kecil dan nyaman di salah satu pegunungan pulau Bali. Bagaimanapun juga, setiap rumah di sana akan tercium aroma cengkeh musim ini. Dan itu artinya ada mesin uang di sana... ada harapan pertumbuhan ekonomi.

***

Ah.. melelahkan. Sukarin duduk berselonjor di gubuk tua yang terletak di kebun cengkehnya. Melepaskan penat dan rasa capek yang menyerangnya. Keringatnya terus bercucuran. Ia rebahkan tubuhnya yang agak tambun diatas gubuk tua itu. Sambil tangannya sesekali memutar-mutar chanel radio mencari lagu-lagu yang ia suka.

Di Badingkayu. Fisik seorang wanita memang luar biasa. Kuat. Gempal. Kekar. Tak kalah dengan laki-laki. Wanita-wanita perkasa serba bisa. Mencangkul? Oke. Memanjat? Ahli. Menyunggi? Sudah adatnya, aib kalau sampai tidak bisa. Tipe wanita perkasa giat kerja. Pekerja keras sejati. Lain halnya dengan urusan masak-memasak. Kalau ini, laki-laki  di sana lebih jago. Sedangkan ibu-ibu kalau memasak bumbunya adalah bumbu magenep (bumbu komplit) yang benar-benar plit-plit-pliiiit.. alias semua bisa masuk. Dan yang terpenting, bumbu rempah yang bernama “Kencur” harus ada diantara bumbu yang lain. Wajib hukumnya. Hohoho... seperti apa rasanya? Banyangkan sendiri ya. Belakangan setelah adanya para TKS dan PKK barulah masakan mereka mulai terarah dan jelas apa judulnya. Seru ya kalau membicarakan masakan. Mari kita lanjutkan kisahnya.

Wayan menghampiri Sukarin. Ikut hanyut dalam lagu Titik Sandora. Ia taruh cengkeh angsakannya di samping tubuhnya yang sudah nimbrung rebahan di sebelah Sukarin. Radio tua itu berada di antara keduanya. Huuuuhh.. ia mendengus seolah ingin mengeluarkan rasa capek dari tubuhnya. Ia ambil kipas yang terbuat dari anyaman bambu di sampingnya. Ia kibas-kibaskan demi mengumpulkan semilir angin berusaha mengusir panas dan dahaga yang menimpanya.

“Ada air tuh.. Minum saja Yan. Lumayan untuk menghilangkan haus dan panasmu.” Sukarin menawarkan bekal air minumnya sambil menunjuk botol air mineral di salah satu sudut gubuk itu.

“Ah iya mbok.. Matur Sukseme ya..” wajahnya girang. Senyumnya mengembang. Sambil berguling demi menggapai botol air itu. Dan hap. Dapat. Matanya berbinar. Segera Ia buka tutupnya, dan “Glek, glek, glek” nampak seperti pengembara padang pasir yang baru saja menemukan air setelah berhari-hari kehausan. Sukarin lagi-lagi geleng-geleng kepala.

Ah sahabatnya yang satu ini memang unik. Usianya yang terpaut dua tahun lebih muda darinya memang nampak jelas dari perbedaan sifat mereka. Wayan terkadang lebih seperti adiknya. Meskipun Sukarin anak ragil di keluarganya, namun jika sedang bersama Wayan, Ia seolah menjelma menjadi tiga tahun lebih dewasa. Mungkin karena menyesuaikan diri. Memposisikan dirinya sebagai anak yang lebih tua dari Wayan. Sukarin berumur lima belas tahun, sedangkan Wayan tiga belas tahun. Seharusnya Ia duduk di bangku SMP kelas tiga. Namun meme-nya melarangnya masuk melanjutkan sekolah tingkat SMP. Khawatir anak gadisnya akan masuk dalam dunia bebas. Di Badingkayu belum ada SMP. Jadi kalau mau melanjutkan sekolah ke tingkat SMP harus pergi ke kota. Dan kebanyakan dari gadis-gadis yang pegi ke kota melanjutkan sekolahnya akan putus di tengah jalan. Mereka pulang dalam keadaan berbadan dua. Meski tidak semua. Tapi kejadian-kejadian tersebut cukup membuat rasa cinta seorang Ibu mampu melarang anaknya melanjutkan sekolahnya. Semua demi kebaikan anak gadisnya. Dan inilah salah satu cinta seorang ibu. Salah satu bentuk protektif yang lahir dari ketulusan cinta seorang ibu.

***

(bersambung...  Bagian 2 (Mase: TKS dari Jawa)

Mohon kesediaan dari teman-teman untuk berkomentar tentang bagian 1 ini, jika cukup menarik insya Allah akan saya jadikan novel.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun