Nama Desa Ngadas berasal dari banyaknya tumbuhan adas yang dahulu tumbuh subur sebelum daerah ini menjadi permukiman. Tumbuhan adas ini digunakan sebagai jamu dan bumbu masakan oleh penduduk setempat.
Desa ini memiliki tiga tempat ibadah utama: vihara, pura, dan masjid. Mayoritas penduduknya beragama Buddha, dengan satu keluarga beragama Kristen. Pendidikan formal di Ngadas hanya tersedia hingga tingkat SMP, sehingga siswa yang ingin melanjutkan ke SMA harus pergi ke Tumpang.
Desa Ngadas dikenal dengan berbagai upacara adatnya. Upacara Karo merayakan tahun baru masyarakat Tengger, sedangkan upacara Unan-Unan yang diadakan setiap lima tahun bertujuan untuk memohon keselamatan dan kesejahteraan. Ada juga budaya pete'an, kontrol tiga bulanan pada wanita untuk mencegah kehamilan di luar nikah, yang dipercaya jika dilanggar dapat membawa wabah penyakit di desa.
Penduduk Desa Ngadas memakai pakaian adat yang khas, terutama kain tenun goyor. Sarung memiliki makna filosofis yang mendalam, digunakan sebagai panduan hidup agar tidak tersesat. Cara mengenakan sarung juga unik; diselempangkan di bahu. Bagi wanita, posisi ujung sarung menandakan status pernikahan mereka---di bahu kanan untuk yang belum menikah dan di depan untuk yang sudah menikah.
Pak Muji, Kepala Desa, mengatakan, "Masyarakat Tengger biasanya selalu mengenakan sarung ke mana pun mereka pergi, dan jika tidak memakainya rasanya ada yang kurang." Selain sebagai identitas, sarung berfungsi untuk menghangatkan tubuh dan dikenakan sebagai selendang di acara pernikahan.
Pakaian adat Desa Ngadas juga dilengkapi dengan udeng, atau ikat kepala, sebagai simbol pengendalian diri. Segitiga pada udeng melambangkan kejujuran, sementara tali angsul berbentuk tunas kelapa melambangkan harapan bahwa adat istiadat di Desa Ngadas akan terus dilestarikan oleh generasi muda.