Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Hari Guru; Guru Bertaruh Nyawa

25 November 2012   05:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:43 91 0



25/11/12 Hari Guru Nasional. Dunia pendidikan di sudut kepulauan Sumenep menghadiahkan dua kejadian tidak mendidik, bahkan sarat kriminal.

Kejadian pertama:

Guru Hampir Tewas dihajar Orang  Tua Siswa

Kemarin, Sabtu 24/11/12. Salah satu sekolah menengah pertama swasta mengadakan persami di dekat pantai. Menurut cerita yang beredar, dua orang siswa atau lebih melakukan keributan ketika sedang melaksanakan kegiatan keagamaan di musholla, tempat kemah berlangsung. Guru pembimbing kegiatan itu, yang sekaligus sebagai kepala sekolahnya, tidak tahan dengan ulah siswa-siswa tersebut. Sehingga diberilah “hadiah” berupa tempelengan “kecil” di pipi siswanya.

Peristiwa penempelengan rupanya berbuntut agak panjang --perlu diketahui, tindakan penempelengan di Kangean, khususnya, termasuk tindakan kekerasan disertai pelecehan stadium tinggi. Si siswa tidak terima dan melaporkan kejadian itu kepada orang tuanya. Gayungpun bersambut. Orang tua si siswa tidak bisa mentolerir tindakan si guru. Si orang tua naik pitam. Marah benar-benar sangat.

Dengan amarah memuncak, dia mendatangi si guru, sebilah kayu “osok” tergenggam erat dan gemetar di tangan kanan. Tanpa babibu, dengan sekuat tenaga kayu itu diayunkan sasarannya kepala si guru, beruntung si guru bisa mengelak, kayunya mengenai tembok. Entah bagaimana pergumulan itu selanjutnya, akhirnya si guru robek di bagian kepalanya, darah mengucur, dan si guru “kelenger”.

Polisi dan petugas medis akhirnya turun tangan. Si guru dibopong ke puskesmas, dan si orang tua digiring ke kantor polisi. Orang-orang berkerumun, keluarga korban menjerit histeris, saya yang bukan wartawan cuma melongo dan menyaksikan saja sembari pergi ke pasar beli ikan.

Kejadian kedua

Guru Nyaris diparang Siswa

Kejadiannya tidak begitu lama terpaut dari kejadian yang di atas. Cuma beberapa hari sebelumnya. Kejadiannya di sekolah tempat saya bertugas. Temanya masih sama, tempelengan kecil membuat murka.

Dari kisah yang diceritakan oleh guru teman saya, yang melihat dan terlibat langsung dalam peristiwa tersebut –ketika itu, saya tidak sedang di sekolah berhubung ada satu dan lain hal. Ada beberapa siswa yang disidang oleh guru-guru di kantor sekolah lantaran terlibat kegaduhan. Tersebutlah ada salah satu murid kelas 6, yang merupakan teman dari siswa-siswa yang disidang tersebut, berdiri terus di pintu kantor, mungkin semacam memberikan dukungan terhadap-hadap siswa-siswa yang sedang disidang. Oke, sebut saja dia AR.

Dirasa mengganggu proses sidang, AR kemudian diminta menyingkir oleh salah seorang guru, sebut saja SY. Rupanya permintaan guru SY tidak diindahkan oleh AR. Bahkan terkesan membangkang, mungkin AR merasa harus mendukung penuh teman-temannya yang disidang dengan berdiri terus di pintu kantor, ya, kira-kira semacam demontrasi seperti di tv-tv itu, bertahan dan terus bertahan. Karena terus bertahan dan ada nuansa pembangkangan, guru SY akhirnya agak memaksa AR untuk mundur, ya kira-kira seperti satpol pp meminta pendemo mundur. Nah, disinilah inti masalahnya, rupanya ketika meminta mundur itu, guru SY tanpa sengaja sedikit mendorong tepat di pipinya. Sehingga, murid AR merasa ditempeleng, padahal sebenarnya, menurut cerita yang saya dapatkan, tidak.

Karena merasa ditempeleng, AR akhirnya marah dan pulang ke rumahnya. Tidak sampai sepeminuman teh, AR kembali lagi ke sekolah dengan parang sudah di tangan. Dengan berteriak-teriak seperti mau perang, AR mengacungkan parangnya yang mengkilat kepada guru SY. Kepanikan dan kegaduhan pun terjadi. AR terus mengcungkan parangnya dan mengajak guru SY keluar untuk berduel –mungkin semacam ajakan duel kejantanan. Satu lawan satu.

Namun guru SY tidak terpancing muridnya itu. Meskipun terlihat tidak tenang guru SY mencoba bertahan dalam sekolah, bukan bersembunyi, tapi memandang si murid dengan hati yang kacau dan galau.

Kegaduhan terus berlanjut. Murid AR terus beraksi seperti kesetanan. Orang-orang kampungpun berdatangan. Beberapa orang mencoba mengambil parang di tangan si bocah ingusan itu, namun tidak ada yang berhasil. Parang itu tetap di tangan AR dan itu berbahaya. Salah seorang guru perempuan mencoba merayu, agar parang itu bisa lepas dari tangan AR. Dengan sedikit trik karate yang dimiliki si guru perempuan, akhirnya parang itu bisa dirampas dari tangan AR. Namun amarahnya belum juga reda, bahkan kian memburu.

Tak lama kemudian, nenek si siswa datang menyusul cucunya yang jagoan itu. Kemudian nenek itu bertanya, siapa sebenarnya si SY. Dijelaskanlah kepada nenek itu bahwa SY yang akan diparang cucunya adalah guru cucunya sendiri. Duh, rupanya si nenek tidak tahu bahwa cucunya mengambil parang ke rumahnya untuk terlihat jagoan di depan gurunya.

Di nenek mengelus dada. Tadinya dia menyangka bahwa SY bukan guru, sehingga membiarkan cucunya keluar rumah membawa parang dengan penuh amarah. Akhirnya nenek itu memarahi AR dengan umpatan khasnya. Lalu meminta maaf kepada guru-guru atas kelakuan cucunya –aih, jadi kalau bukan guru cucunya itu dibiarkan saja berduel mempertaruhkan maut demi sesuatu yang tidak prinsip.

Bagaimana dengan orang tua si AR, tahukah mereka kejadian itu? Mereka tidak tahu, mereka sedang mencari uang di Malaysia.

***

Saya tidak sedang ingin mengatakan bahwa kekerasan masih kerapkali mewarnai dua pendidikan kita. Tapi dua kejadian di atas semakin memberikan bukti, bahwa pendidikan kita masih jauh seperti yang diharapkan. Pendidikan kita masih belum mampu membentuk karakter anak didik menjadi baik. Lalu siapa yang salah? Haruskah mencari kambing hitam? Padahal 20% dari APBN sudah terkucur deras ke dunia pendidikan.

Tajjen, 25/11/2012

Catatan:

Cerita ini fakta. Tapi detail peristiwa perlu investigasi lebih mendalam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun