Bukan hanya anak-anak yang didampingi atau diperhatikan kesehatan mereka, namun orangtua atau perawat anak baik kakek, nenek, tante, paman atau kakaknya juga secara tidak langsung menjadi perhatian kami. Ini disebabkan karena mereka adalah orang-orang yang bersentuhan langsung dalam hidup mereka.
Kira-kira dua minggu yang lalu, ketika saya berkunjung ke rumah salah satu dampingan di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Ini adalah dampingan yang baru masuk di bulan Febuari. Sebelumnya mereka ada dalam dampingan lembaga lain, dan diperkenalkan kepada program kami karena dirasa cocok dengan pelayanan yang kami berikan khususnya untuk isue anak dengan HIV-AIDS.
Waktu itu saya mendapati ibu dari dampingan kami sedang mengalami sakit parah. Matanya tidak bisa dibuka, bicaranya tidak karuan dan badannya tidak bisa digerakkan secara normal. Spontan saya langsung mencari pertolongan dari warga setempat. Bukan bantuan yang didapat malah cibiran yang keluar dari mulut mereka.
Tidak mau ambil pusing dan menyerah begitu saja, saya langsung kontak puskesmas setempat. Puji Tuhan ada kader muda mereka yang langsung sigap memberikan pertolongan. Segera diputuskan untuk langsung dibawa ke RS daerah setempat untuk mendapat perawatan. Karena mobil ambulans sedang terpakai semua dan kalau pakai mobil dikhawatirkan akan macet parah di jalan cakung-cilincing, maka kami membawa ibu ini dengan menggunakan motor. Kami bawa dengan bonceng bertiga
Setiba di Rumah Sakit, ibu ini langsung dimasukan ke dalam perawatan unit gawat darurat. Dokter jaga segera memberikan infus dan mengukur tensi darah si ibu. Namun karena kamar sedang penuh, akhirnya ibu ini harus menunggu. Saya bersama kader puskesmas segera mengurus surat-surat administrasi untuk mendapatkan kamar secepatnya.
Singkat cerita, si ibu mendapat kamar kelas tiga. Nah, disinilah inti ceritanya. Ibu ini ternyata sering mencabut selang infus yang menempel di tangannya. Begitu juga dengan oksigen yang membantu dia untuk bernafas sering lepas entah karena sengaja atau lain hal. Tidak ada yang menjaga ibu ini. Anak pertama harus bekerja, karena dialah satu-satunya tulang punggung keluarga, anak kedua tidak bisa diharapkan ( ini akan ditulis dilain hari), sedangkan yang ketiga masih kecil (dialah yang kami dampingi).
Ketika saya mencoba bicara, dia merasa capek dengan penderitaanya. Dia capek harus urus anak apalagi anak ketiganya yang terdampak HIV-AIDS, sedangkan dirinya sendiri sakit-sakit begini. Belum anak keduanya yang suka melawan dirinya. Perlu diketahui, ibu ini mendapat 'bonus' virus dari suaminya. Sedangkan suaminya sudah meninggal terlebih dahulu. Anak pertama dan kedua berstatus negatif. Keluarga juga jauh dan tidak tahu sakit ibu ini sakit apa. Sang Ibu menutupi sakitnya dari keluarga besar. Yang tahu hanya dia dan anak pertamanya saja.
Yang saya lakukan hanya mencoba mendengarkan sambil sesekali mengingatkan dia bahwa ada tanggung jawab yang belum selesai. Hampir 2 minggu dia dirawat. Seminggu terakhir, anak pertamanya menyewa orang untuk menjaga ibunya supaya ibunya tidak macam-macam. Yang berjaga hanya sampai sore hari. Malamnya si ibu sendirian.
Terakhir, seminggu yang lalu ketika saya ke rumahnya, ibu ini tidak ada perkembangan sama sekali. Dia ngotot minta pulang. Saya ingin membawanya lagi untuk segera mendapat perawatan namun dia menolak. Tapi kader puskesmas muda yang waktu itu ikut menolong, mengatakan sabtu kemarin dia harus kontrol untuk terapi otak dan terapi lainnya. Entah dia menolak atau tidak, semoga saja tidak. Besok baru bisa diketahui. Semoga saja semangat hidupnya tidak padam. Semoga saja dia bisa melawan rasa capeknya dan bangkit kembali untuk menjadi seorang ibu yang bertanggung jawab bagi anak-anaknya. Semoga saja Tuhan juga memberikan umur panjang bagi dirinya. Amin
Salam