Ia mengambil dompetnya dan ketika ia membukanya, ternyata isi dompetnya kosong. Ia lupa bahwa ia baru saja membelajakan uang terakhirnya di salah satu toko kebutuhan pokok. Tolstoy menoleh kepada pengemis itu dan berkata, "Maaf saudaraku, tetapi saya tidak punya apa-apa lagi untuk bisa kuberi"
Pengemis itu tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa. Anda telah memberi kepada saya lebih daripada yang saya minta. Anda telah memanggil saya Saudara." Tolstoy tertegun dengan ucapan pengemis itu kemudian berlalu dengan perasaan bahagia. Dia senang walau tidak bisa memberikan uang namun bisa memberikan rasa penghargaan diri kepada pengemis tersebut.
Berkaca dari kisah Leo Tolstoy ini, kita bisa belajar bahwa ternyata uang belum tentu bisa membahagiakan orang lain. Uang tidak bisa membeli rasa persaudaraan. Uang bersifat semu bila digunakan untuk menghargai seseorang. Rasa dihargai sebagai manusia seutuhnya itu yang menjadi kepuasan bagi orang-orang yang terlupakan atau mereka yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita masih bersaudara denga orang-orang yang terlupakan tersebut? Mungkin saja saat ini dalam diri kita tumbuh sifat egois dan mulai lupa bahwa kita sesama manusia adalah saling bersaudara. Kita mulai acuh tak acuh dengan saudara kita, bersikap tak peduli, menganggap diri paling benar, dan tidak lagi bertegur sapa dengan mereka.
Belajar dari pengalaman Leo Tolstoy, menyadarkan saya bahwa masih ada banyak saudara yang mungkin merasa diasingkan oleh masyarakat. Bisa saja mereka tidak membutuhkan uang saya. Mereka hanya membutuhkan perhatian dan kasih sayang. Mereka membutuhkan sebuah pengakuan bahwa kita masih saling bersaudara. Setidaknya itu bisa menjadi tetesan embun bagi jiwa mereka yang kosong.
Salam. Semoga kita bersaudara selalu.