Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mari Belajar Tentang Filosofi Sumpit

27 Juli 2011   08:59 Diperbarui: 4 April 2017   18:31 2933 8
Beberapa waktu yang lalu ketika menghadiri pesta pernikahan teman, saya mendapatkan sebuah souvenir yang cantik berupa sumpit kayu dengan ukiran nama kedua mempelai di atasnya. Mungkin anda juga pernah mendapatkan souvenir yang sama dengan saya. Tergoda dalam diri saya untuk mencari tahu, kenapa sumpit ‘bisa’ dijadikan souvenir untuk pernikahan. Pasti ada filosofinya. Dan ternyata begitu mencari tahu di internet, ada begitu banyak filosofi yang bisa diambil dari sepasang sumpit, khususnya dalam filosofi yang berkaitan dengan rumah tangga. Tetapi menurut saya filosofi sumpit tidak hanya diperuntukan untuk rumah tangga saja antara suami dan istri, tetapi bisa juga digambarkan untuk unsur-unsur kehidupan bermasyarakat seperti, presiden dan rakyat, majikan dan karyawan, tua dan muda, atasan dan bawahan dan seterusnya.



Asal muasal dan pemakaian sumpit

Sumpit sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sebutan untuk sumpit adalah fai ji, yang secara harafiah berarti bocah-bocah gesit dan tangkas Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC) sejalan dengan perkembangan ajaran Confusius. Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karena itu mereka lebih memilih menggunakan sumpit.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun